Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=1 color=#FF9900>ISRAEL</font><br />Karena Anak Gaza Bukan Perisai

Pengadilan Israel menghukum dua tentara yang menjadikan anak Palestina di Gaza sebagai perisai. Anak itu disuruh membuka ransel yang diduga berisi bom.

18 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AFAF Rabah hanya mematung tatkala dua tentara Israel merenggut Majid dari sampingnya. Ketika itu 15 Januari 2009, enam hari sebelum Israel menghentikan gempuran atas Gaza. Kedua tentara membawa bocah 9 tahun itu ke luar ruangan.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara rentetan tembakan, lalu sepi. ”Adiknya berteriak, ’Mereka membunuh Majid’.” Napas saya seperti putus saat itu,” kata Afaf, menceritakan kembali peristiwa itu kepada Ynetnews.com pekan silam. Dia baru merasa lega ketika Majid akhirnya kembali, tak kurang satu apa.

Perlakuan dua sersan Israel terhadap remaja Tel al-Hawa, Gaza, ini terkuak ke publik pada Ahad tiga pekan lalu. Cerita ini menyebar bersamaan dengan vonis Pengadilan Militer Komando Selatan Israel atas kedua tentara itu.

Kedua sersan tersebut mulai diadili pada Maret lalu atas desakan komisi PBB untuk hak asasi anak. Pelapor kasus ini adalah lembaga swadaya masyarakat internasional Defence for Children International.

Majid mengadu ke lembaga yang berkantor pusat di Jenewa itu beberapa saat setelah perang 22 hari itu berakhir. Dalam perang itu, lebih dari 1.400 orang Palestina dan 13 orang Israel tewas.

Rupanya, setelah menarik Majid dari sisi ibunya, kedua tentara Israel membawa anak itu ke kamar mandi. Menurut cerita Majid kepada Defence forChildren—kesaksian ini dibacakan dalam pengadilan—saat itu sudah ada dua tas jinjing di dalam kamar mandi. Tentara Israel menduga tas itu berisi bom dan memaksa dia membuka kedua tas tersebut.

”Tentara yang berdiri satu setengah meter dari saya menodongkan senjatanya. Buru-buru saya buka salah satu ransel dan menuangkan isinya ke lantai, uang dan kertas-kertas. Saya menoleh ke arahnya, dia sedang tertawa,” kata Majid.

Tas kedua tak bisa dia buka karena terkunci. Kedua tentara memberondong tas tersebut dengan peluru. Isinya berhamburan: paspor, uang, dan sedikit perhiasan emas. Itu tembakan yang didengar Afaf dan penghuni apartemen yang lain kala itu.

Majid mengaku sangat ketakutan. ”Saya kira mereka hendak membunuh saya. Celana saya basah,” katanya.

Transkrip proses pengadilan menyebutkan, para sersan infanteri itu bersalah karena memaksa orang lain melakukan perbuatan yang membahayakan nyawa. Mereka didakwa melanggar penetapan pengadilan tinggi yang melarang penggunaan ”perisai manusia” atau taktik serupa lainnya dalam perang.

Dorit Tuval, jaksa penuntut militer, kepada wartawan mengatakan kelakuan kedua sersan itu bertentangan dengan kode etik militer Israel. ”Para prajurit itu dihukum karena melanggar prinsip dasar yang sudah mereka pelajari sejak bergabung dengan tentara,” katanya.

Radio milik tentara mengatakan pendukung kedua sersan menuding Richard Goldstone sebagai biang keladinya. Goldstone adalah ahli hukum keturunan Yahudi asal Afrika Selatan. Dia memimpin komisi khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengevaluasi perang Israel-Palestina.

Dalam laporannya pada September tahun lalu, mereka menyimpulkan tentara kedua negara telah melakukan kejahatan perang dan harus diadili. ”Kami korban dari Goldstone,” demikian kata-kata yang tertulis di kaus serdadu Israel yang mengikuti proses persidangan.

Ilan Katz, pembela para sersan, punya pendapat lain. Menurut dia, kliennya sengaja dijadikan kambing hitam. ”Kedua tentara ini dipaksa menebus kesalahan para senior. Mereka pikir, kalau kedua orang ini dihukum, dunia akan melupakan kasus Israel,” katanya.

Namun, bagi Afaf, sang ibu, putusan pengadilan belum bisa menukar rasa sakit yang dialami dia dan keluarganya sejak dua tahun lalu. Apalagi, meski dinyatakan bersalah, kedua sersan itu belum dihukum. Hakim mengatakan hukuman bagi mereka akan diputuskan kemudian, tapi Afaf meragukan itu. ”Semoga mereka benar-benar dihukum, meski cuma sebentar,” ujarnya.

Adapun Majid kini berusia 11 tahun dan duduk di kelas tujuh. Menurut Afaf, sejak kejadian itu, Majid selalu meminta agar apartemen mereka dikunci rapat. ”Sesekali dia bertanya kepada saya, ke mana kami akan melarikan diri jika perang terjadi lagi,” katanya.

Philipus Parera (Aljazeera, Haaretz, Gulf Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus