Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERMINTAAN itu disampaikan secara terang-terangan. Saat bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pekan lalu, Perdana Menteri Australia Julia Gillard langsung menyinggung soal grasi bagi Schapelle Corby, warga Negeri Kanguru yang dipenjara karena menyelundupkan obat terlarang ke Bali. ”Saya ungkapkan bahwa pemerintah Australia mendukung sekali pemberian grasi baginya dan setelah itu kami membahas soal pertukaran tahanan,” kata Gillard kepada Tempo.
Schapelle Leigh Corby dijatuhi vonis 20 tahun penjara pada pertengahan 2005. Nona 33 tahun itu terbukti menyelundupkan 4,2 kilogram ganja melalui Bandar Udara Ngurah Rai, Bali, pada 8 Oktober 2004. Corby menumpang pesawat Australia Airlines AQ 7829 dan membawa papan selancar. Petugas bandara menemukan paket-paket ganja di dalam papan selancarnya.
Corby sudah mendapat remisi 17 bulan. Pada Juli lalu, dia mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Gillard mendukung pemberian grasi bagi Corby, ”Semata-mata demi alasan kemanusiaan.” Corby beberapa kali menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, karena sakit. Pers Australia berkali-kali juga memberitakan dia menderita depresi setelah menjadi narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Bali.
Tidak hanya terhadap Corby, Gillard pun mendukung pemberian grasi bagi kelompok Bali Nine. Sembilan warga Australia itu ditangkap pada 17 April 2005 di Denpasar setelah mencoba menyelundupkan 8,3 kilogram heroin ke Australia. Tiga dari sembilan terdakwa telah divonis hukuman mati. ”Australia tidak mendukung hukuman mati. Itu posisi kami sebagai sebuah negara,” kata Gillard kepada radio ABC News. Namun dia enggan memerinci pembicaraannya dengan Presiden Yudhoyono.
Apa yang membuat Gillard melobi Yudhoyono soal grasi Corby? Pengamat politik Peter Alford kepada The Australian mengatakan kedua pemimpin tampaknya menjadikan pertemuan bilateral pekan lalu sebagai bagian dari politik pencitraan.
Gillard berupaya mengembalikan ambisi ”mempererat hubungan Jakarta-Canberra”. Uluran tangan Gillard ini tentu saja disambut baik oleh Yudhoyono, yang lekat dengan gaya politik pencitraannya. Kesepakatan kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia-Australia menjadi langkah awal, meski masih samar-samar.
Lowy Institute’s Fergus Hanson pada awal tahun merangkum: hubungan kedua negara lebih banyak berfokus pada isu negatif masalah-masalah keamanan. Kerja sama ekonomi kurang matang dan persepsi publik pun buruk. Tanpa insentif signifikan untuk mempererat ikatan itu, hubungan Australia dengan mitra terpentingnya ini akan stagnan.
Hubungan kedua negara telah lama ditandai dengan tingginya aspirasi pada level konseptual. Kebetulan, ada permohonan grasi Schapelle Corby, vonis mati tiga anggota Bali Nine yang tertunda, serta tuduhan penganiayaan terhadap tersangka separatis di Papua Barat dan Maluku. Lengkap sudah rasa saling tidak percaya dan kesalahpahaman antara Australia dan Indonesia.
Alford mengatakan dapat mengerti minimnya harapan dari kedua belah pihak dalam kunjungan Gillard ke Jakarta. Prioritas utamanya adalah mendapatkan dukungan Indonesia terhadap pusat pengungsi di Timor Leste. Dibandingkan dengan pendahulunya, Stephen Smith dan Chris Bowen, Gillard tampaknya tidak terlalu berupaya membuat Yudhoyono antusias.
Untuk kasus Corby, selama enam tahun menjadi presiden, Yudhoyono tidak pernah meloloskan grasi bagi terpidana kasus narkotik. Dia menanggapi permintaan Gillard dengan mengatakan presiden tidak bisa ikut campur dalam urusan pengadilan, meski memiliki wewenang pengampunan sesuai dengan undang-undang. Dia hanya mengatakan Indonesia membuka pintu bagi pertukaran tahanan kedua negara.
Ninin Damayanti (The Australian, ABC News)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo