Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AWAL Mei, yang jatuh pada hari Minggu, ini terasa istimewa. Wajah mendiang Paus Yohanes Paulus II bisa ditemukan dengan mudah di setiap sudut Kota Roma, melebihi pada hari-hari biasa. Pada lilin, kaus, poster di jendela kafe, taksi, dan bus, wajah itu terlihat tersenyum.
Hari itu Paus Benediktus XVI memimpin perayaan beatifikasi untuk pendahulunya: mendiang Paus Yohanes Paulus II. ”Mulai sekarang Paus Yohanes Paulus II akan dipanggil ‘yang diberkati’,” kata Paus Benediktus XVI di Vatikan pekan lalu.
Sejuta lebih orang dari segala penjuru dunia memadati Lapangan Santo Petrus. Beberapa perdana menteri dan pemimpin negara hadir dalam perhelatan itu, termasuk Robert Mugabe dari Zimbabwe, yang sebenarnya dilarang memasuki kawasan Uni Eropa.
Lahir dengan nama Karol Józef Wojtya di Polandia pada 18 Mei 1920, Paus Yohanes Paulus II berkuasa selama 26 tahun. Ia meninggal pada usia 84 tahun setelah berjuang melawan penyakit parkinson. Pada 1989, dia mengunjungi Indonesia.
Proses beatifikasi itu berlangsung amat cepat, bahkan lebih cepat dibanding beatifikasi mendiang Bunda Teresa dari Kolkata, India. Biarawati ini resmi mendapat beatifikasi pada Oktober 2003 semasa Paus Yohanes Paulus II sejak kematiannya pada 1997. Sedangkan Vatikan memulai proses beatifikasi Paus Yohanes Paulus II pada Mei 2005.
Ada empat tahapan penghargaan yang diberikan Vatikan kepada seseorang atas jasa dan pengabdiannya: ”pelayan Tuhan”, ”yang dipermuliakan”, ”yang diberkati”, dan yang paling tinggi gelar ”santo atau santa”. Sesuai dengan aturan, seseorang tak bisa menjadi santo atau santa sampai 50 tahun setelah kematian mereka.
Seseorang dinyatakan lulus proses beatifikasi setelah melalui pengujian serta penilikan sejarah dan karya-karyanya semasa hidup. Butuh satu mukjizat pula untuk beatifikasi. Jika ada tambahan satu mukjizat lagi, masuk kanonisasi untuk diakui sebagai santo atau santa.
Mukjizat Paus Yohanes Paulus II diakui seorang biarawati Prancis, Suster Marie Simmon-Pierre Normand. Simmon-Pierre, yang juga menderita parkinson, menyatakan sembuh setelah berdoa dengan perantaraan nama Paus Yohanes.
”Saya benar-benar sembuh. Biar gereja yang memutuskan apakah itu mukjizat atau bukan,” kata biarawati yang juga merawat Paus Yohanes Paulus II pada masa sakit hingga mengembuskan napas terakhir itu.
Simmon-Pierre pertama kali menceritakan mukjizat ini pada 2007. Ia kesulitan menggerakkan bagian tangan kirinya, kesulitan menulis, tak bisa mengendarai mobil. Sakitnya semakin parah setelah Paus meninggal. Sejak itu, Simmon-Pierre berdoa dengan perantaraan nama Paus.
Kesaksian Simmon-Pierre diperdebatkan dan diselidiki bertahun-tahun hingga, pada Februari 2011, Paus Benediktus menyetujui peristiwa itu sebagai mukjizat. Namun tak semua setuju dengan percepatan beatifikasi ini. Kalangan internal gereja dan para ahli mempertanyakan proses beatifikasi yang begitu cepat.
Kelompok ini menunjuk kegagalan Paus Yohanes Paulus II dalam menangani pelecehan seksual oleh oknum biarawan. ”Saya menentang beatifikasi ini. Di masa mendatang hal ini juga akan dipertanyakan karena Paus Yohanes mengabaikan krisis yang terjadi semenjak reformasi di dalam gereja,” kata Richard McBrien, profesor teologi di Universitas Notre Dame, Amerika Serikat.
Para penentang menunjuk kasus mendiang Paus yang terkesan melindungi Marcial Maciel Degollado, biarawan Meksiko yang dituduh melakukan pelecehan seksual. Sebaliknya, Paus Benediktus memberhentikan Maciel dan memasukkannya ke masa penitensi.
Namun para pendukung beatifikasi berpendapat mendiang Paus waspada terhadap kasus pelecehan seksual setelah pejabat komunis menggunakan tuduhan palsu untuk memojokkan biarawan Polandia.
Menurut Paus Benediktus, Paus Yohanes adalah orang yang memiliki pengaruh besar. Dia berperan dalam runtuhnya pengaruh komunis di Polandia, pembawa perdamaian, serta dihormati pemuka agama dan pemimpin negara di dunia. Tindakan memaafkan pelaku percobaan pembunuhan atas dirinya menjadi inspirasi seluruh dunia.
Setelah beatifikasi, sejumlah ahli yakin proses kanonisasi bisa berlangsung dalam dua atau tiga tahun.
Nieke Indrietta (The Guardian, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo