Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Indonesia dan Sengketa Wilayah ASEAN

9 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rizal Sukma

  • Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta

    LEWAT Bali Concord II di Bali, 7 Oktober 2003, semua negara anggota ASEAN sepakat menjadikan kawasan ini sebagai sebuah komunitas keamanan (security community). Mereka sepakat untuk tidak menggunakan kekerasan (militer) dalam menyelesaikan masalah di antara mereka. Dengan kata lain, semua berjanji bahwa sengketa akan diselesaikan secara damai.

    Pada awalnya, kesepakatan itu terlihat hanya sebagai penegasan dari apa yang berlangsung selama lebih dari 40 tahun sejak ASEAN dibentuk pada 1967. Sejak itu, memang tidak ada negara anggota ASEAN yang menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan di antara mereka ketika menghadapi ketegangan diplomatik, perselisihan, dan perbedaan pendapat.

    Dalam menghadapi isu yang paling sensitif sekalipun, yakni sengketa wilayah dan perbatasan, negara-negara ASEAN selalu menahan diri dan tidak menggunakan kekuatan militer. ASEAN selalu dapat ”mengelola” perselisihan. Selama sengketa wilayah dan perbatasan itu tidak menjadi konflik militer terbuka, rasanya tidak menjadi soal apakah ”pengelolaan” itu dilakukan dengan ”menyapu masalah ke bawah karpet”, diselesaikan melalui perundingan bilateral, atau diserahkan ke lembaga internasional seperti International Court of Justice.

    Namun persoalan menjadi serius ketika sengketa wilayah dan perbatasan itu mulai memicu kontak senjata. Sengketa wilayah antara Thailand dan Kamboja, yang menimbulkan korban jiwa dan memaksa ribuan orang mengungsi, telah mencoreng ”prestasi” dan reputasi ASEAN sebagai sebuah mekanisme pencegahan konflik. ASEAN tidak dapat lagi berpura-pura bahwa sengketa wilayah di antara negara anggotanya tidak akan pernah menjadi penyebab konflik bersenjata.

    Indonesia jelas menyadari implikasi kasus Thailand-Kamboja itu, tidak hanya bagi kredibilitas ASEAN, tapi juga bagi stabilitas regional pada umumnya dan bagi keketuaan Indonesia di ASEAN pada 2011. Hal itu mendorong pemerintah Indonesia mengambil peran aktif membantu mencari solusi, bukan dengan meminta kedua pihak yang bertikai ”menyapu masalah ke bawah karpet”, melainkan dengan memfasilitasi perundingan damai secara langsung dan terbuka.

    Sayangnya, usaha Indonesia ini terganjal oleh kompleksitas faktor-faktor politik dalam negeri di kedua negara. Kesepakatan pada 22 Februari 2011 di Jakarta, di mana menteri luar negeri Thailand dan Kamboja sepakat meminta Indonesia menempatkan tim observasi di wilayah yang dipertikaikan dan berpartisipasi dalam proses perundingan bilateral selanjutnya, belum dapat dilaksanakan karena ditentang oleh pihak militer Thailand.

    Terlalu prematur untuk mengatakan bahwa usaha Indonesia telah mengalami kegagalan. Dalam konteks hubungan internasional, penyelesaian konflik dan sengketa teritorial merupakan masalah yang amat sulit dan membutuhkan proses panjang. Yang penting adalah kedua belah pihak tetap menyadari pentingnya peran Indonesia dalam menjalankan ”Opsi ASEAN”, dan tidak bersikukuh dengan ”Opsi Bilateral” (dalam hal Thailand) ataupun ”Opsi PBB/internasional” (seperti diinginkan Kamboja).

    Terlepas dari kesulitan yang ada, kasus Thailand-Kamboja jelas menunjukkan bahwa sengketa wilayah dan perbatasan tetap menjadi sumber konflik yang tidak dapat lagi diabaikan oleh ASEAN. Padahal masih banyak kasus sengketa wilayah lainnya yang melibatkan negara-negara ASEAN, termasuk antara beberapa negara ASEAN dan Cina di Laut Cina Selatan. Sengketa ini menjadi ganjalan tidak hanya bagi perwujudan cita-cita komunitas keamanan ASEAN, tapi juga bagi upaya mempertahankan peran sentral ASEAN di kawasan Asia Timur.

    Memanfaatkan momentum sebagai ketua, Indonesia perlu mendorong ASEAN untuk segera memperkuat dan melembagakan modalitas dan mekanisme penyelesaian sengketa secara lebih terperinci dan operasional. Piagam ASEAN dan Treaty of Amity and Cooperation sesungguhnya telah memberi dasar untuk itu.

    Pada saat yang sama, Indonesia perlu mengambil prakarsa untuk memperkuat kapasitas ASEAN dalam menggunakan good offices, konsiliasi, dan mediasi—yang merupakan mandat Piagam ASEAN—melalui kerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kalau perlu, Indonesia dapat mengajukan kembali ide tentang ASEAN Peace-Keeping Force yang sempat ditolak pada 2003.

    Kiranya, tanpa langkah ke arah itu, ASEAN akan menjadi sebuah komunitas regional tanpa persatuan.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus