Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=2>Irak</font><br />Tersisih di Kota Sendiri

Telah empat tahun Basra bebas dari rezim Saddam Hussein. Para perempuan kini justru terbelenggu.

10 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan itu hanya mau disebut Um Zainab. Seperti setiap pagi ketika berangkat ke kantor, ia mengenakan baju yang dipadu dengan rok. Wajahnya memakai sedikit olesan make up. Seperti orang-orang lain, pegawai negeri ini menunggu bus di tempat pemberhentian di kota bagian selatan Irak, Basra.

Namun pagi dua pekan lalu itu hampir menjadi hari nahas baginya. Sebuah sepeda motor meluncur ke arahnya. ”Dengan kecepatan penuh,” ucapnya kepada BBC. Um beruntung. Motor itu terguling sebelum menabraknya.

Ini tampak seperti kecelakaan biasa. Tapi ternyata ada banyak perempuan lain yang merasakan kecemasan seperti Um. Mereka ditabrak, diancam, atau bahkan dibunuh di jalan atau di depan rumah oleh orang-orang tak dikenal. Um menuturkan, dua perempuan di distrik al-Makal, Basra, dibunuh oleh orang-orang bersenjata di depan rumahnya pada pertengahan November lalu. Salah seorang di antaranya dibunuh di depan anak-anaknya.

Basra telah berubah. Empat tahun setelah invasi pasukan yang dipimpin Amerika ke Irak, Basra tak lebih aman. Sebaliknya, kota ini telah menjadi semacam kota teror bagi warganya. Bahkan neraka bagi kaum hawa.

Menurut pengakuan seorang pengacara perempuan yang tak bersedia disebut namanya, hampir setiap dua atau tiga hari terjadi serangan terhadap perempuan. Alasannya beragam. Dia menyebut seorang mahasiswi yang ditembak kakinya karena tak mengenakan jilbab. Dinding-dinding di pinggir jalan pun dihiasi grafiti, memperingatkan perempuan agar menutupi auratnya atau akan mendapat hukuman. Ada pula perempuan yang diculik atau dibunuh karena dianggap melakukan kejahatan bertitel ”perilaku yang tak tepat”.

Kepala Kepolisian Basra Mayor Jenderal Abdul Jalil Khalaf mengakui maraknya kekerasan terhadap perempuan Basra. ”Terjadi represi mengerikan terhadap mereka,” ujar orang nomor satu di kepolisian Basra ini.

Khalaf mengeluarkan data yang mencengangkan. Dalam kurun Juli hingga September lalu, 42 perempuan dibunuh oleh kelompok garis keras. Angka itu menurun pada Oktober dan November. ”Mereka membunuh perempuan, meninggalkan secarik kertas di tubuhnya atau memakaikan pakaian yang tak senonoh untuk membenarkan kejahatan mengerikan itu,” ujarnya.

Lebih mengerikan lagi, polisi kerap takut melakukan investigasi. Mereka takut bertindak terhadap kelompok-kelompok militan ini. Bahkan Khalaf tak bersedia menyebut nama-nama kelompok yang dicurigai.

Di kawasan penguasa dua pertiga minyak Irak ini, beberapa kelompok Syiah yang besar justru terjebak dalam konflik di antara mereka sendiri. Ada Pasukan Mahdi (Mahdi Army) yang berada di bawah kuasa ulama radikal Moqtada al-Sadr yang menguasai kepolisian Basra, ada pula faksi Fadhila. Begitupun Dewan Agung Revolusi Islam di Irak, yang diduga didukung oleh faksi Iran. Mereka berebut kekuasaan dan sumber daya minyak. Mereka juga memperkuat jaringan hingga ke milisi yang menguasai dan menebar teror di jalanan.

Laporan International Crisis Group menyebut bagaimana Basra penuh dengan penyalahgunaan institusi resmi secara sistematis, pembunuhan politik, dendam kesukuan, saling curiga antar-tetangga.

Menurut seorang warga, Sajeda Hanoon Alebadi, 27 tahun, yang kini mengenakan jilbab untuk keselamatannya, kelompok-kelompok agama militan berhambur keluar ke jalanan dan mengancam para perempuan. ”Meski kelompok ekstrem ini minoritas, mereka menguasai posisi yang sangat penting. Merekalah yang menguasai Basra,” ujarnya.

Tak hanya keselamatan dan hak yang kian tak terlindungi, kesejahteraan pun terancam dirampas. Para perempuan begitu khawatir, perundang-undangan yang baru akan memasukkan hukum Islam yang keras.

Pasukan Inggris juga tak berbuat banyak. Padahal ketika masuk ke Basra, ada sekitar 40 ribu tentara. Berbagai kekerasan terus terjadi. Sekarang semua pasukan telah meninggalkan kota, dan cuma sedikit tersisa di pangkalan angkatan udara di luar Basra. ”Pasukan Inggris kalah di selatan,” ujar seorang pejabat intelijen senior Amerika.

Namun petinggi Inggris berbeda pandangan. Kepala Staf Pertahanan Inggris, Chief Marshal Angkatan Udara Jock Stirrup, mengklaim pasukannya sukses di Basra meski ia mengakui penilaiannya bergantung pada interpretasi dari misi yang dibawa pasukannya. Menurut dia, misi pasukannya adalah, ”Sampai masyarakat dan kawasan ini bisa menjalankan bagian dari negeri ini (Basra), jika mereka memilih untuk melakukannya.”

Namun sayang, ketika Basra memang benar-benar di tangan rakyat Basra, para perempuan ditinggalkan. ”Pria memiliki suara, tetapi perempuan tak akan mendapat bagian dalam membangun negeri ini,” kata seorang wartawan, Shatta Kareem.

Purwani Diyah Prabandari (BBC, Independent, Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus