Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Untuk pertama kalinya selama pandemi Covid-19, para pemimpin negara-negara Asia Tenggara berkumpul di Jakarta membahas krisis Myanmar.
ASEAN sepakat mendesak aksi kekerasan yang terjadi di Myanmar untuk segera dihentikan.
Hasil konsensus tak berdampak serius pada kondisi krisis di Myanmar.
HASIL pertemuan para pemimpin negara anggota asosiasi negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) yang meminta aksi kekerasan di Myanmar segera dihentikan rupanya tak diacuhkan oleh junta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing. Sepekan seusai pertemuan di Jakarta pada Sabtu, 24 April lalu, tentara Myanmar malah melancarkan lebih dari 30 serangan udara ke sejumlah wilayah di Negara Bagian Kachin. Negara Bagian Karen juga dibombardir lebih dari sepuluh kali. Serangan bertubi-tubi itu membuat ribuan penduduk kocar-kacir menyelamatkan diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan Altsean, lembaga sipil yang memperjuangkan hak asasi manusia dan demokrasi di Myanmar, pada Jumat, 30 April lalu, menyebutkan serangan justru makin meningkat. Hampir seratus warga Myanmar ditangkap, menambah panjang daftar lebih dari 4.400 penduduk yang telah dicokok polisi dan tentara. Junta juga menerbitkan surat penangkapan terhadap 138 warga Myanmar lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktivis prodemokrasi Myanmar, Khin Ohmar, menilai pertemuan di Jakarta tidak memiliki dampak serius terhadap negaranya. Bahkan, saat pertemuan berjalan, aparat keamanan tetap saja menganiaya dan menangkap penduduk. Sehari seusai pertemuan, orang yang ditangkap justru makin banyak. "Jurnalis dan pelajar ditangkap di siang bolong dan dipukuli," kata Ketua Progressive Voice Myanmar itu dalam konferensi pers daring yang digelar Forum Asia dan ASEAN Parliamentarians for Human Rights pada Senin, 26 April lalu.
Juru bicara Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), Salai Maung Taing San, menyebutkan junta militer telah membuat lima keputusan selepas pertemuan ASEAN itu dengan terus membunuh warga sipil, meneror 54 juta rakyat, dan melakukan penyanderaan. "Juga terus menyiksa tahanan politik dan mengebom desa-desa," ujar politikus yang kerap dipanggil dokter Sasa itu lewat akun Twitter-nya. NUG adalah pemerintah tandingan bentukan koalisi pemimpin dan organisasi sipil, anggota parlemen yang terpilih dalam pemilihan umum tahun lalu yang ditolak junta, serta Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi.
Konferensi para pemimpin negara anggota ASEAN itu sebenarnya hendak membuka jalan baru dalam penyelesaian krisis Myanmar. Ini pertemuan langsung pertama mereka di tengah pandemi Covid-19 dan setelah militer Myanmar melancarkan kudeta pada 1 Februari lalu. Yang hadir dalam pertemuan itu adalah Presiden Joko Widodo; Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah, yang juga menjabat Ketua ASEAN; Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin; Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong; Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh; Perdana Menteri Kamboja Hun Sen; dan Jenderal Min Aung Hlaing.
Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-o-cha tidak datang dan mengirim Menteri Luar Negeri Don Pramudwinai. Presiden Filipina Rodrigo Duterte absen dan mengutus Menteri Luar Negeri Teodoro Locsin Jr. Presiden Laos Thongloun Sisoulith juga hanya mengirim Menteri Luar Negeri Saleumxay Kommasith. Naiknya jumlah kasus Covid-19 menjadi alasan para pemimpin tiga negara itu tidak bisa hadir.
Para peserta pertemuan menyepakati suatu konsensus untuk menyelesaikan krisis Myanmar, yakni penghentian kekerasan, dialog guna mencari solusi damai, pembentukan utusan khusus, bantuan kemanusiaan, dan kunjungan utusan ASEAN. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebutkan lima poin konsensus itu berangkat dari pembahasan para menteri luar negeri saat makan malam sebelum pertemuan puncak. "Hal yang lebih penting adalah penghentian penggunaan kekerasan," ucap Retno kepada Tempo pada Kamis, 29 April lalu.
Dalam pertemuan itu, Jenderal Min Aung memang mengiyakan soal konsensus tersebut. Namun Dewan Administrasi Negara—nama resmi junta militer Myanmar—menyatakan saran para pemimpin ASEAN baru akan dipertimbangkan saat situasi negaranya sudah stabil. Dalam pernyataan yang dipublikasikan di media pemerintah The Global New Light of Myanmar dua hari setelah pertemuan itu, Dewan juga menggariskan bahwa mereka akan mempertimbangkan saran-saran ASEAN jika sesuai dengan peta jalan mereka.
NUG menyebutkan pertemuan pemimpin ASEAN dan konsensusnya tidak menggambarkan situasi serta aspirasi masyarakat Myanmar. Perdana Menteri NUG Winn Khaing Thann bahkan menilai poin pertama konsensus yang menyatakan "semua pihak harus menahan diri" adalah sebuah kekeliruan. Pasalnya, hanya militer yang melakukan kekerasan terhadap warga Myanmar. "Kekerasan itu muncul dari dan hanya dilakukan satu pihak," tutur Winn dalam keterangan persnya.
Sebelumnya, permintaan NUG untuk bisa hadir di Jakarta tak dikabulkan ASEAN. Alih-alih mendapat keterangan dari NUG tentang tekanan junta terhadap warga Myanmar, menurut Winn, ASEAN justru memberikan panggung kepada Jenderal Min Aung Hlaing.
Winn meminta ASEAN lebih melibatkan NUG dalam pembahasan misi utusan khusus, bantuan kemanusiaan, dan mekanisme pengawasan kepatuhan rezim militer terhadap isi konsensus. Winn menghargai upaya ASEAN memfasilitasi dialog di antara pemangku kepentingan di Myanmar, tapi juga mendesak Aung Sang Suu Kyi dan Presiden Win Myint dibebaskan dulu sebelum dialog digelar.
ASEAN memang belum satu suara dalam hal pembebasan tahanan politik junta militer. Konsensus itu pun tak menyinggung pembebasan tahanan politik. Masalah ini hanya menjadi bagian dari pernyataan bersama para pemimpin ASEAN.
Meski demikian, Indonesia, Malaysia, dan Singapura masuk gerbong anggota ASEAN yang turut mendesak agar tahanan politik segera dibebaskan. Menurut Menteri Retno, Presiden Joko Widodo sejak awal menyatakan pembebasan tahanan politik itu adalah langkah yang penting. "Tidak mungkin terwujud dialog inklusif kalau tahanan politik tidak dibebaskan," kata Retno.
KTT ASEAN yang dihadiri oleh kepala negara ASEAN dan perwakilan di Gedung Sekretariat ASEAN Jakarta, 24 April 2021. ANTARA/HO/ Setpres-Muchlis Jr
Mantan Presiden Timor Leste, Jose Ramos-Horta, mengatakan perbedaan sikap itu menjadi faktor utama ASEAN sulit menyatukan suara dalam menghadapi krisis Myanmar. Selepas kudeta, menurut Ramos-Horta, hanya Malaysia dan Indonesia yang langsung mengkritik situasi di Myanmar, sementara negara lain memilih bungkam. "Alasan menghormati independensi seharusnya tidak menjadi patokan ketika kejahatan kemanusiaan sedang terjadi," ujar Horta dalam seminar daring yang digelar Asia Democracy Research Network pada Kamis, 29 April lalu.
Dalam forum yang sama, peneliti dari Centre for Strategic and International Studies, Evan A. Laksmana, menilai ASEAN perlu segera bertindak untuk mengakhiri kekerasan yang terjadi dan mendukung upaya pembebasan orang-orang yang ditangkap tentara, termasuk tahanan politik. "Lima poin konsensus itu bukan solusi akhir," tuturnya.
Manajer Program Asia Timur dan ASEAN Forum Asia Rachel Arinii menyebutkan pertemuan ASEAN itu juga belum menggambarkan upaya serius penanganan krisis kemanusiaan di Myanmar. Apalagi konsensus ASEAN tidak menyinggung soal lebih dari 700 orang yang tewas sejak kudeta terjadi. "Ini mengkhawatirkan," katanya.
Masalah lain adalah ASEAN belum mengakui Pemerintah Nasional Bersatu. Menurut Arinii, berbicara hanya dengan junta militer justru membuat ASEAN seperti memberikan legitimasi kepada rezim itu. Pada akhirnya, pertemuan Jakarta hanya memberikan keuntungan kepada Jenderal Min Aung Hlaing, yang bisa saja mencari-cari alasan untuk menghindari konsensus itu.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (THE IRRAWADDY, MYANMAR NOW, REUTERS)
Lima Poin Konsensus ASEAN
1. Kekerasan di Myanmar segera dihentikan dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya.
2. Memulai dialog konstruktif di antara semua pihak yang berkepentingan untuk mencari solusi damai demi kepentingan rakyat.
3. Utusan khusus Ketua ASEAN, dibantu Sekretaris Jenderal ASEAN, memfasilitasi proses dialog.
4. ASEAN memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre (Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan pada Manajemen Bencana).
5. Utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak yang berkepentingan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo