Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

'Nasionalisme' Makan Tuan

Ivory Coast, satu dari sedikit negara yang dianggap stabil di Afrika Barat, tiba-tiba diguncang kudeta militer. Akibat kebijakan nasionalis ekstrem pemerintah sipil?


2 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUNIA tersentak. Sebuah negara nun di Afrika Barat yang dikenal begitu tenteram diguncang. Sebagaimana saat Soeharto "digulingkan" dari kekuasaannya dua tahun lalu, dunia juga terperangah saat mendengar Presiden Henri Konan Bedie dari Ivory Coast tersingkir oleh kudeta Kamis pekan lalu.

Ivory Coast—atau Pantai Gading—juga dianggap sebagai satu dari sedikit negara Afrika yang stabil, damai, dan tergolong makmur di wilayah Afrika Barat yang sarat konflik itu. Bedanya, sementara Indonesia setidaknya sudah pernah mengalami peristiwa yang berdarah pada 1965, baru kali ini Ivory Coast mengalami guncangan politik semacam ini. Merdeka dari jajahan Prancis pada 1960, negara penghasil cokelat terbesar di dunia ini belum pernah dilanda kerusuhan sosial politik yang fatal bagi pemerintah yang sedang berkuasa.

Bagaimana kudeta itu bisa terjadi di negeri yang begitu tenteram? Pemimpin kudeta itu adalah Jenderal Robert Guei, mantan Panglima Militer Ivory Coast, yang dipecat Bedie. Empat tahun silam, ia diisukan sedang mempersiapkan penggulingan Bedie. Tapi, menurut pengakuan pria berusia 58 tahun itu, kudeta ini bukan aksi balas dendam pribadi.

Bedie, yang terpilih pada 1993 untuk menggantikan almarhum Felix Houphouët-Boigny—yang memerintah sejak negara ini merdeka—dianggap semakin otoriter dan gegabah menangkapi orang untuk dijadikan tahanan politik. Ia juga dinilai xenophobic, anti-orang asing, terutama terhadap para pekerja imigran dari negara-negara tetangga. Padahal, jumlah pekerja itu sampai sepertiga dari 19 juta penduduk Pantai Gading. Doktrin nasionalistis yang digembar-gemborkan Bedie belum lama ini—disebut Ivorité atau Ivory-ness—memberi sebagian warganya cap sebagai bukan orang Ivory Coast berdasarkan tempat lahir orang tua atau kakek-neneknya. Akibatnya, hanya penduduk di wilayah selatan yang "berhak" menyebut dirinya orang Ivory Coast, sementara kebanyakan penduduk muslim di wilayah utara tergolong orang asing.

Agaknya, doktrin divide et impera ala Bedie bukan untuk memecah-belah penduduk berdasarkan agama. Tanpa friksi pun, sekitar 60 persen penduduk Ivory Coast masih menganut kepercayaan tradisional, 23 persen memeluk Islam, dan 17 persen memeluk Kristen. Doktrin Ivorité bisa jadi dipakai Bedie untuk menyingkirkan oposan terkuatnya, Alassane Ouattara, mantan perdana menteri yang mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilu Oktober tahun depan. Ouattara, yang didukung Guei, adalah seorang muslim yang datang dari utara. Bedie mati-matian menyingkirkan Ouattara dari bursa calon presiden dengan alasan Ouattara warga Burkina Faso, negara tetangga dari utara. Ia juga memenjarakan para pemimpin Perkumpulan Kaum Republik, partai asal Ouattara.

Sial bagi Bedie, yang sekarang mengungsi ke Togo, kebanyakan warga ternyata mendukung kudeta ini. Dalam wawancara dengan Radio Prancis Internasional, Bedie menyatakan, "Saya minta semua kekuatan aktif, baik sipil, militer, maupun tradisional, untuk bangkit melawan kudeta." Toh, meski jalan-jalan di Ibu Kota Abidjan sempat rawan tiga hari akibat tingkah sebagian warga yang menjarah dan merampok, pidato tersebut tak ditanggapi dengan aksi tuntutan kembalinya presiden yang telanjur dicap korup itu. Jam malam yang sempat diberlakukan militer sudah dicabut kembali. Partai-partai politik pun menyambut kejatuhan Bedie, meski mereka tak gegabah bersuara mengomentari kudeta.

Yang ribut akhirnya lebih banyak pihak asing. Prancis, AS, dan beberapa negara Afrika mengutuk kudeta itu. Kanada langsung membekukan bantuannya. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan ikut berkomentar. "Penggunaan kekerasan untuk mengganggu proses politik suatu negara tidak dapat diterima," katanya melalui juru bicaranya, Fred Eckhard, di New York pekan lalu.

Kini, baik Bedie maupun Guei mengaku ogah memakai kekerasan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Bedie, katanya, bakal berkeliling dunia untuk mengumpulkan dukungan diplomatik bagi pemerintahannya. Guei, yang menyebut dirinya moderat, Senin lalu mengumpulkan wakil-wakil dari 48 partai politik dalam negeri untuk mengajak bekerja sama dengan militer membangun demokrasi. Mereka diminta mengajukan calon untuk duduk dalam kabinet transisi sebelum pemilu tahun depan. Siapa yang berhasil, cuma waktu yang membuktikan.

Wendi Ruky (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum