Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GILBERT Sumendap tidak membutuhkan tiket, hotel, atau agen perjalanan untuk mengisi liburan akhir tahun. Di saat penduduk Jakarta bingung menentukan agenda hiburan pergantian tahun, pialang saham asal Bintaro ini hanya perlu memencet tombol on pada panel kendali (remote control) televisinya. Dalam sekejap, ia bisa berselancar-informasi semau hati dan mendapatkan apa yang dicari orang di luar negeri: menonton peragaan busana di Paris, menikmati film-film Hollywood terbaru, mengecek harga saham anu, dan menyaksikan peristiwa terkini di Zimbabwe atau di belahan dunia mana pun. Sebuah tombol dan, tentu saja, jaringan TV kabellah yang membuatnya bisa mengarungi dunia sembari tidur-tiduran di ruang tamu.
TV kabel bukan fenomena baru. Sejak 1970-an, TV kabel sudah populer di Amerika. Idenya bahkan muncul sejak 1940-an, dilahirkan oleh John Walson, pedagang alat-alat rumah tangga di kota kecil Mahonay City, Pennsylvania. Di Indonesiakhususnya JakartaTV kabel diperkenalkan pada 1994, bersama TV langganan (pay TV). Adalah PT Malicak, salah satu anak perusahaan Datacom Asia, yang memiliki satelit Cakrawala, yang memelopori TV langganan dan TV kabel melalui PT Indovison.
Sejak saat itu, masyarakat di beberapa kota besar Indonesia mulai mengenal media tontonan lain di luar broadcast TV, yang kini terdiri atas TVRI dan lima stasiun televisi swasta. Apa sebetulnya TV kabel? Inilah salah satu media interaktif, produk teknologi informasi era 1990-an, yang lahir dari sebuah ''revolusi" dalam dunia komunikasi: internet.
Sebagai dagangan baru, TV kabel tidak disambut pasar Indonesia dengan gegap-gempita. Sejak berdiri empat tahun silam, salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang itu, PT Tanjung Bangun Semesta, yang punya Kabelvision, misalnya, baru berhasil menjaring 13 ribu pelanggan. Dalam dua tahun pertama, mereka hanya mampu memikat sekitar 5.000 konsumen. ''Saat itu, masyarakat mempunyai televisi dengan kapasitas saluran sangat terbatas. Begitu pula jangkauan jaringan infrastruktur kami," Peter Setiono, Direktur Kabelvision, memberikan alasan.
Selain Indovision dan Kabelvision, ada beberapa jaringan TV kabel di Indonesia. PT Multimedia Nusantaraperusahaan patungan beberapa pengusaha besar dengan BUMNmeluncurkan TV kabel Metra pada awal 1998. Selain itu, ada PT Indonusa Telemedia dan PT Indosanya Mitrabuana. Namun, badai krisis moneter mengempaskan bisnis inisebelum jaringannya mulai beroperasi. PT Metra, misalnya, harus menangguhkan proyeknya hingga akhir 1999 karena krisis. Padahal, Metra telah membangun jaringan kabel serat optik dari Kemayoran, Jakarta Pusat, hingga Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Toh, walau ada usaha yang terjerat krisis, luasnya pangsa yang belum tergarap membuat para pengusaha TV kabel menyimpan banyak harapan di masa depan. Edi Elison, Manajer Public Affairs PT Datacom Asia, yang membawahkan antara lain Indovision, amat yakin terhadap prospek TV kabel serta TV langganan. ''Indonesia adalah pasar potensial karena jumlah penduduknya besar. Indikasinya bisa dilihat dari pertumbuhan hotel, perumahan, dan apartemen," ujarnya. Seperti halnya Metra, Edi mengakui, bisnis mereka terhambat krisis moneter. Tapi ia enteng saja menyebut target: 150 ribu pelanggan TV langganan dan 100 ribu pelanggan TV kabel untuk proyeksi tahun 2000.
Artinya? Target demikian jelas memerlukan strategi pemasaran yang hebat. Sebab, sampai kini, Datacom Asia baru memiliki 30 ribu konsumen TV langganan dan 17 ribu pelanggan TV kabel. ''Langganan sekian jauh di bawah angka ideal sehingga kami masih merugi sampai saat ini," ujar Edi. Berbeda dengan Edi, Peter memilih tidak menyebut angka. Namun, bos Kabelvision ini menargetkan, tahun-tahun ke depan, ia berniat meluaskan wilayah ke kota-kota besar lain di Indonesia.
Sampai sekarang, TV kabel memang baru bergerak di seputar Jakarta Pusat, Utara, Selatan, dan Barat. Bukan apa-apa. Jaringan TV kabel memang tidak seleluasa TV langganan, yang siarannya menggunakan satelit. TV kabel harus membangun lebih dulu jaringan kabelnya sebelum menggaet pelanggan. Dan calon pelanggan juga harus memiliki televisi yang ready-cable. Namun, keterbatasan ini terkompensasi oleh berbagai keunggulan. Di antaranya, jaringan infrastrukturnya menggunakan kabel serat optik (KSO) yang terdiri atas campuran fiber optik dan koaksial. Perpaduan kedua elemen ini membuat transfer data berlangsung dalam kecepatan luar biasa. Pengiriman dan penerimaan informasi bisa berlangsung dalam waktu yang hampir bersamaan.
''TV kabel adalah siaran interaktif yang betul-betul memanjakan konsumen dengan menyediakan semua kebutuhan hiburan dan informasi," ujar Roy Suryo. Pengamat multimedia dari Yogya ini menjelaskan, dengan sistem voice over internet (VoI)suara yang menumpang di internetTV kabel bisa mengambil alih seluruh kemampuan komunikasi internet dan Telkom saat ini.
Hasilnya? Di luar penayangan puluhan saluran TV internasional dan multimedia hiburan, TV kabel juga mampu melayani transaksi, informasi, dan komunikasi. Dan selain dapat menonton dan menghibur diri, pemirsa bisa berbelanja, melakukan transaksi bank, bahkan berkonferensi jarak jauh. Juga ada keleluasaan tak terhingga untuk memilih materi informasi serta waktu menonton.
''Saya tidak perlu menunggu hingga pukul enam pagi atau jam sembilan malam untuk memperoleh informasi terkini," ujar Nora, eksekutif periklanan yang sudah berlangganan TV kabel sejak tiga tahun lalu. Sementara itu, pelanggan lain, Richard Kartawijaya, eksekutif Microsoft, mengakui bahwa TV kabel bisa memenuhi kebutuhan hiburan dan informasi seluruh keluarga.
Jadi, akan cerahkah masa depan TV kabel di negeri ini? Wimar Witoelar, yang banyak mengamati masalah multimedia, mengatakan bahwa TV kabel mustahil bisa unggul di Indonesia. Mengapa? ''Masyarakat Indonesia adalah masyarakat broadcast dan akan lebih banyak memilih TV broadcast," ujarnya. TV kabel akan berhadapan dengan ceruk pasar yang sempit dan sangat spesifik, yakni masyarakat dari kelas sosial ekonomi tinggi. Jumlah pelanggan yang sedikit menyebabkan biaya rata-rata TV kabel di Indonesia sangat tinggi.
Namun, Wimar perlu menghitung, pada titik tertentu, harga menjadi persoalan relatif. Buktinya? Para pelanggan Kabelvision rela-rela saja membayar Rp 750 ribu biaya pemasangan. Lalu, untuk menikmati berbagai fasilitas multimedia dan hiburan, si pelanggan membayar Rp 130 ribu per bulan. Jumlahnya memang jauh di atas iuran TVRI, yang hanya belasan ribu rupiah. Tapi baik Peter maupun Edi buru-buru menunjukkan serentetan keunggulan lain: gambar TV kabel ditanggung sangat jernih. Kabel serat optik membuat transfer informasi tidak mempan terhadap gangguan cuaca dan bangunan tinggi. TV kabel juga tidak memerlukan parabola dan dekoder serta menjamin penerimaan tayang selama 24 jam nonstop.
Di luar semua fasilitas ini, sesungguhnya ada hal yang jauh lebih menggiurkan dari TV kabel: sebagai media interaktif, mampu mengubah pola penonton pasif televisi konvensional menjadi penonton aktif yang bisa berinteraksi langsung dengan sang media. Inilah perubahan radikal dalam dunia komunikasi informasi yang dihantarkan oleh TV kabelserta perangkat media interaktif lainnya.
Alhasil, ''kemewahan" bagi seorang pemirsa bukan hanya terletak pada sekian puluh saluran yang bisa diakses dari seluruh dunia, tapi terutama ''otonomi" yang hampir tak terbatas untuk menentukan materi informasi yang diinginkansebuah keleluasaan yang boleh jadi tak terbayangkan oleh John Walson sekalipun.
Hermien Y. Kleden, Adi Prasetya, Upik Supriyatun, Setiyardi, R. Fajri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo