KELUARGA pengantin baru Rajinder Singh dan Sukhvinder Kaur berduka. Mereka tak menyangka bahwa bulan madu pasangan pengantin baru itu ke Kathmandu, Nepal, akan berakhir tragis. Indian Airlines jurusan Kathmandu-New Delhi, pesawat yang ditumpangi pasangan itu, dibajak sehari sebelum Natal.
Pesawat berpenumpang 178 orang itu mendarat di Amritsar, India, lalu Lahore, Pakistan, untuk mengisi bahan bakar dan akhirnya mendarat di Dubai, Afghanistan, untuk melepas 27 tawanan pada dini hari 25 Desember 1999, sebelum akhirnya parkir di Kandahar, Afghanistan. Kapten pilot D. Saran menyatakan, pembajak telah membunuh empat orang dan membebaskan seorang penderita diabetes di Kandahar.
Sampai hari keempat, 27 Desember silam, masih ada 160 orang tawanan yang berada dalam keadaan menyedihkan. "Sangat buruk. Baunya seperti orang sakit," ungkap Mohammed Khiber, petugas bandara Kandahar yang berkesempatan mengantar makanan ke pesawat.
Tirai pesawat dalam keadaan tertutup dengan mesin pesawat tetap menyala karena bandara Kandahar tidak memiliki alat untuk kembali menghidupkan mesin, sementara kendaraan pasukan Taliban, kelompok yang memerintah Afghanistan—tapi tidak diakui oleh dunia internasional— selalu dalam keadaan siaga di sekitar pesawat.
Menurut laporan kantor berita India, pembajak terdiri dari tiga orang Kashmir, seorang Afghanistan, dan seorang Nepal. Tuntutannya adalah membebaskan pemimpin religius Pakistan, Maulana Masood Azhar, yang ditahan di Jammu, Kashmir—wilayah yang disengketakan India dengan Pakistan—sejak 1994. Sementara itu, kelompok yang dicurigai sebagai pembajak adalah Harkat-ul-Ansar atau Harkat-ul-jehad-Islami, sebuah organisasi yang—oleh beberapa pihak—disebut Islam fundamentalis.
Menurut dinas intelijen India, pembajakan ini adalah aksi terorisme keempat untuk membebaskan Maulana, Sekretaris Jenderal Harkat. Aksi-aksi Harkat sebelumnya adalah berupa penculikan turis di Pahalgam, area backpackers di New Delhi. Memang, penculikan itu selalu gagal—walaupun sempat memakan korban jiwa di pihak yang diculik—tapi Harkat tampak tak akan menyerah sebelum tujuannya tercapai. Buktinya, dalam aksi pembajakan ini, pembajak Harkat mengancam akan membunuh tawanan satu per satu sebelum Maulana bebas.
Bisakah pesawat itu bertahan di Kandahar hingga tuntutan Harkat dipenuhi? Yang jelas, pemerintah Taliban menolak menjadi "tuan rumah". Pesawat yang dibajak pun menolak intervensi pasukan asing dalam penyelesaian pembajakan. Menurut Menteri Luar Negeri Taliban, Abdul Wakil Muttawakil, pihak Taliban hanya bersedia menerima perunding PBB.
Sikap Taliban itu dapat dipahami karena pemerintah Taliban tidak ingin disangkutpautkan dengan Harkat. Maklum, pemerintah Taliban dianggap telah melindungi Osama bin Laden, tokoh teroris terganas—demikian julukan yang diberikan polisi federal Amerika Serikat—yang diminta AS untuk diekstradisi. Sementara itu, terorisme cenderung dikaitkan dengan Osama. Apalagi, belakangan terdapat bukti-bukti bahwa aktivis Harkat dilatih di Afghanistan dan peristiwa pengeboman Kedutaan Besar AS di Nairobi memudahkan Taliban kena tuding telah bekerja sama dengan pembajak.
Bom waktu terus berdetik. Padahal, negosiasi awal baru dilakukan antara Erick de Mul—perwakilan PBB di Afghanistan—dan pembajak pada Minggu, 26 Desember 1999. Itu pun dilakukan dengan menggunakan radio selama satu jam, dan tidak menghasilkan apa-apa. Sedangkan tim perunding dari India dan PBB baru bertemu dengan pemerintah Taliban untuk membicarakan penyelesaian pembajakan, Senin, 27 Desember silam. Juga tanpa hasil yang pasti. Di pihak lain, pemerintah India malah bersikap keras terhadap pembajak. "Walaupun kami tetap terbuka untuk semua opsi, kebijakan kami adalah tidak bernegosiasi dengan teroris," ujar Naresh Chandra, Duta Besar India untuk PBB, dengan tegas.
Penyelesaian drama pembajakan Indian Airlines tampaknya masih sangat kabur, walaupun agen rahasia dari 12 negara sudah sepakat bekerja sama. Agen intelijen AS, CIA, misalnya, bersedia memaparkan informasi lengkap tentang Osama kepada pihak India. Tapi, negosiasi bisa berlangsung lama seperti kisah pembajakan Kuwait Airlines di Mashad, Iran, pada April 1988, yang memakan waktu hingga 16 hari.
Bina Bektiati (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini