Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kabar Buram dari Seberang

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jalan Tun Perak, Kuala Lumpur, Malaysia, awal pekan lalu. Sekelompok polisi bersenjata pentungan menggelar razia di siang bolong. Tandas awam atawa toilet umum yang ada di seputar stasiun kereta listrik Masjid Jamek digeledah tuntas. Dalam sekejap, 12 lelaki bertampang lusuh dan letih, dengan tangan dirantai, dinaikkan ke truk polisi. Seorang polisi menjelaskan kepada TEMPO, mereka pendatang ilegal yang tak punya paspor bekerja. "Mereka nak di-lokap (locked-up—Red.), dipenjara, untuk diperiksa lebih lanjut," katanya. Adegan razia di atas terus gencar sejak 31 Agustus ini. Selasa malam pekan lalu, misalnya, TEMPO menyaksikan puluhan polisi berseragam biru gelap menyusuri lorong-lorong pertokoan di Johor, perbatasan Malaysia-Singapura. Ratusan orang diciduk, dimasukkan ke bilik kantor imigrasi, dan menjalani pemeriksaan kelengkapan dokumen. Tak jarang terjadi kekeliruan sasaran. "Polisi tak ambil peduli meskipun saya sudah teriak punya surat lengkap," kata Husin, 35 tahun. Pendatang dari Surabaya ini mengaku tetap dihujani bentakan dan dijebloskan ke dalam sel semalam suntuk sebelum dilepaskan. Begitulah, operasi pembersihan pekerja ilegal di Kerajaan Malaysia digelar tidak tanggung-tanggung. Setiap inci seperti tak lepas dari sapuan petugas, baik di keramaian bandar (kota) maupun di kebun-kebun sawit yang senyap. Malaysia bertekad menyapu 150-300 ribu pendatang ilegal yang hingga kini diperkirakan masih bersembunyi di pojok-pojok negeri itu. Sampai pekan lalu, sekitar 255 ribu pekerja ilegal—kebanyakan dari Indonesia dan Filipina—sudah dipulangkan ke negara masing-masing. Mohd Jamal Kamdi, Dirjen Imigrasi Malaysia, menjamin semua pendatang ilegal yang punya paspor non-bekerja akan diberi tiket pulang ke negeri asal. Kelonggaran izin tinggal selama satu bulan diberikan bagi mereka yang masih menunggu transportasi. "Mereka tak diizinkan bekerja selama menunggu," kata Mohd Jamal dalam sebuah konferensi pers di Kuala Lumpur, akhir pekan lalu. Sementara itu, sesuai dengan Undang-Undang Imigrasi 2002, hukuman cambuk dan penjara tetap diberlakukan bagi pekerja ilegal yang sama sekali tak punya dokumen. Ancaman hukuman juga dikenakan untuk majikan yang ketahuan mempekerjakan TKI kosong, sebutan bagi pendatang ilegal. Lantaran jeri, para juragan dan tauke pun segera cuci tangan. Pemilik Hotel New York di Johor Bahru, misalnya, bergegas memulangkan ratusan pekerjanya yang berstatus ilegal dengan uang saku 200 ringgit (sekitar Rp 500 ribu) untuk setiap pekerja. Mohamad Anwar, 42 tahun, yang sedang duduk termenung di Pelabuhan Marina Singapura, adalah satu dari ratusan karyawan hotel itu. "Mister Lim, majikan saya, minta saya mengurus paspor bekerja di kantor imigrasi Pulau Batam, Riau," kata Anwar yang asal Banyuwangi, Jawa Timur ini. Malang bagi Anwar, uang di sakunya tinggal 30 ringgit alias hanya Rp 75 ribu. Bekal 200 ringgit dari Mister Lim sudah habis terpakai untuk makan, minum, dan ongkos bus ekonomi Johor-Singapura. Anwar hanya mengantongi selembar tiket kapal feri dari Pelabuhan Marina ke Batam. Karcis ini hanya untuk sekali jalan. Tiket feri kembali ke Singapura, seharga S$ 25 atau Rp 125 ribu, belum lagi terbeli. Walhasil, wajar bila roman muka Anwar tampak keruh buram. Tapi bukankah sudah setengah tahun Anwar bekerja di Hotel New York? Mestinya, dengan upah 5 ringgit (Rp 12.500) per jam kerja, sudah lumayan banyak ringgit yang terkumpul. Sayang, persoalan tidak sesederhana itu. Sejak datang ke Johor, Anwar dan kawan-kawan sekampung dinyatakan telah berutang 2.000 ringgit. Dia tak pernah menerimanya. Tapi, menurut Lim, duit itu digunakan untuk mengurus surat identitas dan segala tetek-bengek urusan yang menyertainya. Dengan beban utang itu, seluruh gaji Anwar di Hotel New York otomatis melayang kembali ke saku Mister Lim. Utang itu pun belum lunas hingga kini, Anwar tak tahu utangnya tersisa berapa ringgit. Padahal bapak lima anak ini mengaku sudah membanting tulang. "Sering saya bekerja 15-20 jam sehari tanpa uang lembur," kata lelaki yang tak pernah sekolah dan buta huruf ini. Sebagai perbandingan, pekerja legal hanya bertugas 8-10 jam sehari dengan dilindungi asuransi keselamatan kerja. Anehnya, dengan impitan utang dan kerja keras bak budak, Anwar tetap bertekad ingin kembali ke Johor. Anwar merasa tetap harus membayar sisa utang kepada Mister Lim. "Yang namanya utang," katanya, "ya tetap utang." Demikian penuturan Anwar yang lugu, tak peduli akan status keadilan utang yang kini terpaksa dia tanggung. Mardiyah Chamim (Malaysia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus