SEJAK meletusnya perang Iran-Irak, Arab Saudi semakin
memperkuat persenjataan militernya. Dan negara ini tak lagi
hanya berl-eran sebagai 'cukong'. Ia ingin tampil sebagai suatu
kekuatan yang cukup menentukan di Timur Tengah. Ada anggapan
bahwa Arab Saudi bahkan ingin menggantikan posisi Iran -- semasa
Syah Reza Pahlevi berkuasa -- sebagai 'polisi' di Teluk Parsi.
Maksud Saudi ini tentu saja mendapat dukungan Amerika Serikat.
Agak sejalan dengan politik AS di Timur Tengah. Dalam wawancara
tv pertengahan Maret, Menteri Pertahanan AS Caspar Weinberger
mengatakan bahwa Timur Tengah tanpa kehadiran AS akan mengundang
Uni Soviet menaklukkan kawasan minyak itu. Dan ia bahkan
menganjurkan pembangunan pangkalan militer di di Arab Saudi.
Sejalan dengan keinginan AS memperkuat kehadiran militernya di
Timur Tengah, Arab Saudi mengurangi pula permintaannya membeli
60 pesawat tempur jet F-15. Pada masa pemerintahan Carter,
permintaan Saudi ini pernah ditolak.
Tapi dengan pecahnya perang Iran-Irak, AS mulai melonggarkan
sikapnya dalam hal persenjataan bagi Saudi. Misalnva, AS
meminjamkan empat pesawat AWACS (Sistem Pengendalian dan
Pengawasan di Udara) yang lengkap dengsn 600 orang awaknya,
September lalu. Dan Arab Saudi terus mendesak AS untuk
melaksanakan penjualan F-15 yang sudah dipesannya sejak 1978.
Keinginan Saudi kali ini tampaknya dipenuhi Pemerintahan
Reagan. Suatu negosiasi mengenai penjualan 60 pesawat F-15
sedang berlangsung. F-15 yang dilengkapi dengan rudal udara ke
udara Sidewinder tergolong mutakhir. Ia punya tanki minyak untuk
keperluan penerbangan jarak jauh. Namun suara di senat AS
kelihatannya tidak mendukung rencana penjualan ini.
Duapuluh Senator dari Republik dan Demokrat sudah menolak. Dalam
acara pemandangan umum di Senat pekan lalu, beberapa Senator
bahkan menganggap bahwa penjualan pesawat F-15 ke Arab Saudi
akan mengacaukan keamanan Israel. Yang lebih penting lagi
kalangan Senat merasa bahwa Arab Saudi selama ini tidak cukup
memperhatikan keprihatinan AS mengenai energi dan keamanan.
Sehingga, menurut mereka, tidak ada alasan yang kuat untuk
membcnarkan penjualan itu.
Dijual atau tidaknya pesawat ini masih menunggu keputusan Senat
dan DPR-AS. Menurut UU yang berlaku, bila Gedung Putih
mengajukan usul penjualan, Senat dan DPR selama 30 hari
memberikan persetujuan atau penolakannya.
Sumber Gedung Putih tetap percaya Senat tidak akan menghalangi
penjualan pesawat itu, meskipun ada suara yang menolaknva.
Senator Daniel P. Moynihan (Demokrat) mengatakan bahwa penjualan
itu sama artinya membantu Arab Saudi menghancurkan Israel. "Jika
kita memutuskan untuk menyerahkan Israel demi minyak Arab atau
keuntungan geopolitik, katakan saja begitu," uiar Moynihan.
Rencana Saudi membeli F-15 meniang mengagetkan Israel (lihat
box). Apalagi pesawat itu mampu menyerang seJauh 1600 km lebih.
Bagi Arab Saudi rencana pembelian ini sekaligus menguji komitmen
Reagan terhadap keamanan Timur Tengah. Putra Mahkota Pangeran
Fahd ketika ditanya sikap kalangan Congress yang menolak,
dengan marah mengatakan, "Jika Amerika dan negara Barat lainnya
menutup pintu terhadap kami, mengapa tidak membeli dari
Soviet."
Memang AS terpaksa menentukan pilihan. Tapi Presiden Anwar
Sadat, yang selama ini dikucilkan kelompok negara Arab karena
persetujuan Camp David, menganggap kaum penguasa Saudi ketakutan
dengan bayangannya sendiri.
Benarkah begitu? Menurut laporan Institute for Strategie
Studies, London, Arab Saudi tahun lalu menghamburkan untuk
pembiayaan militer lebih 50% dari pengeluaran semua negara di
Timur Tengah yang berjumlah US$ 40 milyar Sementara itu
pengeluaran militer seluruh negara di dunia seperti yang dicatat
International Peace Research Institute of Stockholm adalah US$
500 milyar.
Pengeluaran militer Saudi memang tergolong besar. Yaitu US$ 2400
per kapita, tertinggi di dunia. Sedang urutan berikutnya adalah
Persatuan Emirat Arab, sebesar US$ 2100, Qatar US$ 1700, Kuwait
US$ 1200 dan Oman US$ 1060. Setelah itu baru AS dan Libya yang
masing-masing US$ 600.
Namun banyak pengamat di AS khawatir akan kemungkinan Saudi
guncang. Penyerbuan ke Ka'abah oleh kelompok ekstrim, November
1979, tidak menutup kemungkinan peristiwa serupa akan berulang.
Tapi usaha mencegah kemungkinan kudeta militer tampak sudah
dipersiapkan. Lebih dari 60 pangeran darl 5000 orang keluarga
kerajaan memegang posisi penting di bidang militer. Saudi yang
berpenduduk 6 juta itu memiliki 45.000 orang tentara dari 12.000
orang pengawal nasional.
Pengawal nasional umumnya datang dari orang Badui yang selama
ini dikenal paling setia dengan keluarga kerajaan. Di samping
itu masih ada lagi 3 batalyon Resimen Pengawal Kerajaan, yang
tugasnya khusus melindungi keluarga kerajaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini