BERUNTUNGLAH nasib Ompung (Nenek) Hulda Panjaitan boru Tobing.
Apa jadinya jika ia masih berada di pesawat yang dibajak dan
harus mengalami kejadian di Don Muang?
Wanita kelahiran Tarutung 76 tahun yang silam itu baru saja
menjenguk anaknya yang bekerja di Pelni, dan ditempatkan di P.
Lombok. Dia diantar melihat-lihat ke pulau termashur di
seberangnya -- Bali. Di sana ia membeli dua tongkat yang elok.
Hari Kamis pekan lalu ia ke Jakarta. Setelah menginap dua hari
di Jakarta, Sabtu itu ia ingin kembali ke Medan, dan naik
pesawat No. 206 yang ternyata kemudian dibajak itu.
Nenek Hulda, duduk di baris kedua dari depan di kelas ekonomi
itu. Ia merasa tenteram, meskipun ia bepergian sendirian.
Pesawat tidak penuh bahkan separuh kosong. Tapi beberapa menit
setelah lepas landas dari Palembang, ia mendengar ribut-ribut di
belakang. Tiba-tiba ia melihat empat orang pemuda menguasai
pesawat bagian tengah dan ada yang menuju ke kokpit.
Mereka bersenjata pistol dan pisau, serta "menggenggam sesuatu".
Salah seorang menyuruh semua penumpang ke bagian belakang. Si
nenek kaget melihat apa yang terjadi, dan berpikir, apakah telah
terjadi "perang". Seorang dari pemuda itu berteriak bengis,
"Jangan mencoba bergerak, nanti kepalamu saya hancurkan."
Ompung Panjaitan boru Tobing hanya menangis, terus menangis.
Sampai pesawat mendarat di Penang. Tenggorokan perempuan tua itu
sudah kering. Ia agak kebingungan ketika seorang dari "orang
itu" menyuruhnya ke luar, sambil mendorongnya. Pintu segera
dibuka. Tangga diturunkan. Di ambang, seorang bertelanjang dada
membantunya turun tangga. Sekitar sepi. Ia tiba-tiba takut mati
dibunuh, sendirian. Tapi suara laki-laki bertelanjang dada itu,
Inspektur Nasir Yang, menghiburnya.
Ia segera diboncengkan sepeda motor, dan karena katanya sudah
biasa tak sedikit pun canggung atau takut. Atau perasaannya haru
biru. Di menara, ia dihibur, seraya ditanyai. Tak mudah
mewawancarai wanita janda pegawai jawatan penerangan Tarutung
ini: bahasa Indonesianya tak sebagus bahasa Bataknya. Dan
meskipun pada dasarnya ia wanita yang kuat hati -- keesokan
harinya ia, yang dikabarkan harus dirawat karena shock, masih
bisa ketawa -- ia tak banyak bisa bercerita. Karena ia menangis,
berdoa, dan bingung, lagi pula pengetahuannya tentang kekerasan
dunia modern hampir nihil, ia tak memperhatikan banyak hal.
Tapi dari dia agaknya dapat diperkirakan jumlah pembajak. Juga
kebangsaannya. Kebanyakan orang Indonesia, bukan Batak, katanya,
dan hanya seorang yang berkulit putih. Ompung menunjukkan sebuah
gambar orang bermata ceruk, berkumis dan berjenggot kecil. Ia
juga bercerita, bahwa ketika semua penumpang bersembahyang --
menurut keyakinan masing-masing -- seorang dari pembajak
berkata, kurang-lebih, bahwa doa orang-orang itu tak akan
berhasil, sebab para pembajak "di jalan yang benar".
Ketika dia selamat, dan kemudian menginap di rumah pejabat
Garuda Supangat, ia tetap berdoa. Tapi dengan rasa syukur. Hanya
ia mengatakan, ia tak akan naik pesawat terbang lagi. Benarkah?
Garuda, untuk menghiburnya, menyeberangkannya dari Penang ke
Medan hari Minggu yang lalu -- dengan perlakuan kelas satu.
Sepanjang jalan ia melihat ke luar, ke angkasa. Ia ingat tongkat
Balinya. Tapi ia ingat juga orang-orang yang dibawa para
pembajak, entah ke mana. "Mudah-mudahan mereka selamat,"
katanya.
Doanya terkabul. Pasukan Thai dan Indonesia bersama-sama
berhasil membebaskan para sandera -- tanpa korban seorang pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini