Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jejak-jejak pembajak

Para pembajak pesawat garuda dc-9 "woyla" diduga punya hubungan dengan kelompok yang menyerang polisi cicendo, bandung, dari kelompok imran bin muhammad zein. pelakunya ada 5 orang. (nas)

4 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA pelaku pembajakan tersebut? Sampai Senin malam belum ada pengumuman resmi. Penjelasan resmi pertama yang diberikan Asisten Intelijen Hankam Letjen Benny Moerdani Sabtu Siang di Ambon hanya menyebutkan: Pelakunya adalah lima orang kawanan yang tidak dikenal yang semuanya diketahui berbahasa Indonesia. Namun rupanya aparat keamanan kita bergerak cepat. Sabtu itu juga Hotel Lusyana yang terletak di sudut persimpangan Jalan Letkol Iskandar dan Jalan Sudirman, Palembang, diperiksa petugas keamanan. Tiga orang pegawai hotel diperiksa. Begitu juga Husein bin Asari, si pemilik hotel. Kamar nomor 14 hotel ini kemudian disegel oleh yang berwajib. Bekas penghuni kamar nomor 14, yang tarifnya Rp 4000 semalam diduga keras adalah para pembajak pesawat Garuda Woyla. Kawanan 4 orang itu ditambah seorang yang sebelumnya sudah ada di Palembang, tercaat datang dan menginap di hotel tersebut pada 26 Maret. Sobekan karcis kereta api ditemukan di kamar mereka, sehingga diduga mereka tiba di Palembang melalui jalan darat. "Beberapa coretan juga ditemukan di dinding kamar, antara lain tulisan yang menegaskan pendirian: Kalau tidak membunuh ya akan dibunuh," ujar seorang pejabat. Kawanan itu meninggalkan Hotel Lusyana pada 28 Maret pukul 06.00. Diduga pengawasan keamanan yang kendor di Pelabuhan Udara Talangbetutu, Palembang, memungkinkan kelima orang ini berhasil naik pesawat terbang dengan membawa senjata api dan senjata tajam. Tercatat ada 14 orang penumpang dari Palembang yang pagi 28 Maret itu naik pesawat DC-9 Garuda dengan nomor penerbangan GA 206 tadi. Enam di antaranya yang diduga sebagai pembajak tercatat dengan nama Wemby, Sofyan, Machrizal, Zulfikar, Masri dan Machyuddin. Adalah Machrizal, laki-laki yang diduga datang dari Arab Saudi, memimpin kelompok ini. Sedang Zulfikar, menurut sumber yang mengetahui, pernah bekerja sebagai sekuriti Hotel Hilton, Jakarta. Tidak hanya di Palembang para petugas keamanan gesit bertindak. Di Jakarta, Sabtu malam lalu para petugas keamanan menggerebek sebuah rumah di Jalan Bogor Lama, Kelurahan Pasar Manggis, yang terletak di daerah Pasar Rumput. Kabarnya dua orang pemuda mereka angkut. Di beberapa tempat lain razia dilakukan juga. Misalnya di Kelurahan Duripulo, Jakarta Barat, dari Minggu lalu. "Mereka mencari Ali Yusuf. Saya tidak tahu untuk urusan apa," ujar Mansyur, kakak tertua Ali. Menurut Mansyur, adiknya iN sudah beberapa bulan meninggalkan rumah. Oleh keluarganya Ali, 28 tahun, dikenal sebagai orang yang keras kepala dan sering berselisih paham dengan keluarganya, terutama menyangkut soal agama. "Saya memang mendengar Ali bergabung dengan orang yang namanya Imran," kata Mansyur. Siapakah Imran? Betulkah pengikutnya yang tersarlgkut dalam pembajakan pesawat Garuda itu? Imran bin Muhanmad Zein, yang oleh para pengikutnya dipanggil "Imam", mulai dikenal luas setelah terjadinya "Peristiwa Masjid Istiqamah" (TEMPO, 16 Agustus dan 6 September 1980). Yang disebut "Peristiwa Istiqamah" itu terjadi pada 4 Agustus 1980. Hari itu di Masjid Istiqamah, yang merupakan masjid favorit rermaja Bandung, terjadi keributan. Acara "kaderisasi" yang hari itu berlangsung ternyata berubah menjadi ajang caci-maki terhadap para ulama dan pemerintah. Khawatir akan terjadinya keributan, salah seorang petugas keamanan yang ada melaporkan ke Koramil Cibeunying. Skogar Bandung-Cimahi serta Kepolisian setempat segera menggerebek. Hasilnya: 44 pemuda diangkut dan ditahan selama semalam. Beberapa orang yang mengaku kelompok pemuda Istiqamah kemudian mendatangi rumah HM Rusyad Nurdin, Ketua Yayasan Masjid Istiqamah. Mereka menuduh penahanan para rekan mereka karena fitnah ustaz itu. Ternyata mereka juga datang ke rumah Ketua Majelis Ulama Kodya Bandung, Yunus Nataatmaja, Ketua Majelis Ulama Ja-Bar KH E.Z. Mutaqqien. Bahkan juga ke rumah Moh. Natsir di Jakarta dengan tuntutan yang sama: pembebasan para rekan mereka. Di Masjid Istiqamah, jumlah mereka kecil -- sekitar 25-30 orang -- namun menguasai kepengurusan pemuda Masjid Istiqamah, dan karena itu pengurus masjid membubarkannya. Seluruh jumlah "anggota pengajian" ini ditaksir 500 orang, sekitar 150 di antaranya dari Bandung dan Cimahi. Yang masuk kelompok mereka harus dibai'at -- prasetya -- dan mengganti atau menambah namanya dengan nama sahabat Nabi. Prasetya tadi diwjukan kepada Imran yang dianggap Imam mereka. Majelis Ulama Ja-Bar beberapa bulan sebelumnya telah melaporkan kegiatan kelompok yang dianggap "agak aneh" itu pada pemerintah, berikut 6 kaset ceramah Imran. Mereka juga dilarang melakukan kegiatan di Masjid Istiqamah. Toh ternyata kegiatan mereka tak berhenti. Sekitar 2 bulan lalu kelompok ini dikabarkan terlibat dalam kasus penusukan terhadap dr. Syamsuddin, salah satu pengurus masjid. Akibatnya 11 orang anggota kelompok ini ditahan Laksusda Ja-Bar. Kelompok ini disebut juga terlibat dalam peristiwa penyerangan pos polisi Cicendo, Bandung, yang menewaskan 3 orang anggota Polri. Kabarnya kelompok ini pernah mengobrak-abrik suaw kompleks pelacuran di Bandung. Seorang pejabat tinggi membenarkan, kelompok Imran inilah yang membajak pesawat. Garuda DC-9 Woyla akhir pekan lalu. "Tujuannya untuk melarikan diri ke luar negeri beserta kawan-kawan mereka," ujarnya. Karena itulah mereka menuntut dibebaskannya sejumlah tahanan, sebagian di antaranya rekan-rekan mereka. Kelompok ini, kata sumber yang sama, memilih jalan kekerasan, radikal dan revolusioner. BISAKAH kelompok ini disebut ekstrim? Dalam suatu wawancara dengan TEMPO tahun lalu, setelah "Peristiwa Istiqamah," Imran tak menolak anggapan ini. "Kalau mereka mengatakan kami ekstrim, ya silakan saja," ujarnya. "Karena kami masih lemah, maka kami dianggap pengacau, dianggap ekstrim. Tapi kalau kami kuat, besar, banyak dan disiplin, adakah orang berani mengatakan kami ini ekstrim? "Yang jelas kami ini tegas dan tidak ingin plintat-plinwt. Umpamanya kalau Nabi mengatakan bahwa minuman keras atau babi itu haram, walaupun ditembak kami akan mengatakan itu haram," katanya lagi. Imran bin Muhammad Zein, 31 tahun, lahir di Bukittinggi sebagai anak tertua dari 10 bersaudara. Kekar, berkulit sawo matang, pemuda yang sehari-harinya berdagang arloji ini berpembawaan tenang dan jelas bicaranya. Ia mengaku antara 1971 sampai 1976 berada di Arab Saudi belajar agama pada para ulama di sana. "Saya tidak belajar secara sistematis seperti di universitas. Bagi saya yang penting materi agama itu sendiri, bukan cara memperolehnya," ceritanya. Imran menegaskan, ia hanya berpegang pada Al Quran dan Hadits. "Saya ingin agama itu pada bentuknya yang asli. Saya tidak senang agama dipolitikkan. Adapun tata cara hidup bernegara, agama Islam ada mengaturnya," katanya. "Karena itu saya sudah tidak yakin dengan kepemimpinan yang tua-tua. Sebab kalau mereka itu benar-benar dalam melaksanakan agama, tidak mungkin kami menghadapi kenyataan keadaan seperti sekarang ini." Hubungannya dengan para pemuda di Istiqamah disebutnya sebagai hal yang biasa. Sejak 1978 ia sudah berhubungan dengan mereka sebagai mubaligh biasa. Apakah benar dalam kelompoknya ada semacam bai'at pada pimpinan? "Saya kira begini. Kami ini berkumpul bersama mengaji, lalu kami berikrar bahwasanya kami akan tetap di dalam Islam meskipun kami harus mengrbankan kami punya diri: untuk Islam." Ia juga mengaku merasa aneh disebut-sebut sebagai "orang pemerintah" dan kaget namanya disebut sebagai pemimpin kelompok pemuda Istiqamah. Salah satu keyakinan Imran adalah, "manusia akan kembali ke fitrahnya." "Kalau ia muslim, akan kembali sebagai muslim. Kalau ia tertekan dan ditusuki terus suatu saat ia akan membela diri. Dan dalam pembelaan diri ini akibatnya bisa . . . Kita akan sama-sama tahu," katanya dengan penuh semangat, awal Agustus tahun lalu. Dan kini 8 bulan kemudian, apakah betul kita sama sama tahu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus