SIAPA pelaku pembajakan tersebut? Sampai Senin malam belum ada
pengumuman resmi. Penjelasan resmi pertama yang diberikan
Asisten Intelijen Hankam Letjen Benny Moerdani Sabtu Siang di
Ambon hanya menyebutkan: Pelakunya adalah lima orang kawanan
yang tidak dikenal yang semuanya diketahui berbahasa Indonesia.
Namun rupanya aparat keamanan kita bergerak cepat. Sabtu itu
juga Hotel Lusyana yang terletak di sudut persimpangan Jalan
Letkol Iskandar dan Jalan Sudirman, Palembang, diperiksa petugas
keamanan. Tiga orang pegawai hotel diperiksa. Begitu juga Husein
bin Asari, si pemilik hotel. Kamar nomor 14 hotel ini kemudian
disegel oleh yang berwajib.
Bekas penghuni kamar nomor 14, yang tarifnya Rp 4000 semalam
diduga keras adalah para pembajak pesawat Garuda Woyla. Kawanan
4 orang itu ditambah seorang yang sebelumnya sudah ada di
Palembang, tercaat datang dan menginap di hotel tersebut pada
26 Maret. Sobekan karcis kereta api ditemukan di kamar mereka,
sehingga diduga mereka tiba di Palembang melalui jalan darat.
"Beberapa coretan juga ditemukan di dinding kamar, antara lain
tulisan yang menegaskan pendirian: Kalau tidak membunuh ya akan
dibunuh," ujar seorang pejabat.
Kawanan itu meninggalkan Hotel Lusyana pada 28 Maret pukul
06.00. Diduga pengawasan keamanan yang kendor di Pelabuhan Udara
Talangbetutu, Palembang, memungkinkan kelima orang ini berhasil
naik pesawat terbang dengan membawa senjata api dan senjata
tajam.
Tercatat ada 14 orang penumpang dari Palembang yang pagi 28
Maret itu naik pesawat DC-9 Garuda dengan nomor penerbangan GA
206 tadi. Enam di antaranya yang diduga sebagai pembajak
tercatat dengan nama Wemby, Sofyan, Machrizal, Zulfikar, Masri
dan Machyuddin. Adalah Machrizal, laki-laki yang diduga datang
dari Arab Saudi, memimpin kelompok ini. Sedang Zulfikar, menurut
sumber yang mengetahui, pernah bekerja sebagai sekuriti Hotel
Hilton, Jakarta.
Tidak hanya di Palembang para petugas keamanan gesit bertindak.
Di Jakarta, Sabtu malam lalu para petugas keamanan menggerebek
sebuah rumah di Jalan Bogor Lama, Kelurahan Pasar Manggis, yang
terletak di daerah Pasar Rumput. Kabarnya dua orang pemuda
mereka angkut.
Di beberapa tempat lain razia dilakukan juga. Misalnya di
Kelurahan Duripulo, Jakarta Barat, dari Minggu lalu. "Mereka
mencari Ali Yusuf. Saya tidak tahu untuk urusan apa," ujar
Mansyur, kakak tertua Ali. Menurut Mansyur, adiknya iN sudah
beberapa bulan meninggalkan rumah. Oleh keluarganya Ali, 28
tahun, dikenal sebagai orang yang keras kepala dan sering
berselisih paham dengan keluarganya, terutama menyangkut soal
agama. "Saya memang mendengar Ali bergabung dengan orang yang
namanya Imran," kata Mansyur.
Siapakah Imran? Betulkah pengikutnya yang tersarlgkut dalam
pembajakan pesawat Garuda itu? Imran bin Muhanmad Zein, yang
oleh para pengikutnya dipanggil "Imam", mulai dikenal luas
setelah terjadinya "Peristiwa Masjid Istiqamah" (TEMPO, 16
Agustus dan 6 September 1980).
Yang disebut "Peristiwa Istiqamah" itu terjadi pada 4 Agustus
1980. Hari itu di Masjid Istiqamah, yang merupakan masjid
favorit rermaja Bandung, terjadi keributan. Acara "kaderisasi"
yang hari itu berlangsung ternyata berubah menjadi ajang
caci-maki terhadap para ulama dan pemerintah. Khawatir akan
terjadinya keributan, salah seorang petugas keamanan yang ada
melaporkan ke Koramil Cibeunying.
Skogar Bandung-Cimahi serta Kepolisian setempat segera
menggerebek. Hasilnya: 44 pemuda diangkut dan ditahan selama
semalam. Beberapa orang yang mengaku kelompok pemuda Istiqamah
kemudian mendatangi rumah HM Rusyad Nurdin, Ketua Yayasan Masjid
Istiqamah. Mereka menuduh penahanan para rekan mereka karena
fitnah ustaz itu.
Ternyata mereka juga datang ke rumah Ketua Majelis Ulama Kodya
Bandung, Yunus Nataatmaja, Ketua Majelis Ulama Ja-Bar KH E.Z.
Mutaqqien. Bahkan juga ke rumah Moh. Natsir di Jakarta dengan
tuntutan yang sama: pembebasan para rekan mereka.
Di Masjid Istiqamah, jumlah mereka kecil -- sekitar 25-30 orang
-- namun menguasai kepengurusan pemuda Masjid Istiqamah, dan
karena itu pengurus masjid membubarkannya. Seluruh jumlah
"anggota pengajian" ini ditaksir 500 orang, sekitar 150 di
antaranya dari Bandung dan Cimahi.
Yang masuk kelompok mereka harus dibai'at -- prasetya -- dan
mengganti atau menambah namanya dengan nama sahabat Nabi.
Prasetya tadi diwjukan kepada Imran yang dianggap Imam mereka.
Majelis Ulama Ja-Bar beberapa bulan sebelumnya telah melaporkan
kegiatan kelompok yang dianggap "agak aneh" itu pada pemerintah,
berikut 6 kaset ceramah Imran. Mereka juga dilarang melakukan
kegiatan di Masjid Istiqamah.
Toh ternyata kegiatan mereka tak berhenti. Sekitar 2 bulan lalu
kelompok ini dikabarkan terlibat dalam kasus penusukan terhadap
dr. Syamsuddin, salah satu pengurus masjid. Akibatnya 11 orang
anggota kelompok ini ditahan Laksusda Ja-Bar. Kelompok ini
disebut juga terlibat dalam peristiwa penyerangan pos polisi
Cicendo, Bandung, yang menewaskan 3 orang anggota Polri.
Kabarnya kelompok ini pernah mengobrak-abrik suaw kompleks
pelacuran di Bandung.
Seorang pejabat tinggi membenarkan, kelompok Imran inilah yang
membajak pesawat. Garuda DC-9 Woyla akhir pekan lalu. "Tujuannya
untuk melarikan diri ke luar negeri beserta kawan-kawan mereka,"
ujarnya. Karena itulah mereka menuntut dibebaskannya sejumlah
tahanan, sebagian di antaranya rekan-rekan mereka. Kelompok ini,
kata sumber yang sama, memilih jalan kekerasan, radikal dan
revolusioner.
BISAKAH kelompok ini disebut ekstrim? Dalam suatu wawancara
dengan TEMPO tahun lalu, setelah "Peristiwa Istiqamah," Imran
tak menolak anggapan ini. "Kalau mereka mengatakan kami ekstrim,
ya silakan saja," ujarnya. "Karena kami masih lemah, maka kami
dianggap pengacau, dianggap ekstrim. Tapi kalau kami kuat,
besar, banyak dan disiplin, adakah orang berani mengatakan kami
ini ekstrim?
"Yang jelas kami ini tegas dan tidak ingin plintat-plinwt.
Umpamanya kalau Nabi mengatakan bahwa minuman keras atau babi
itu haram, walaupun ditembak kami akan mengatakan itu haram,"
katanya lagi.
Imran bin Muhammad Zein, 31 tahun, lahir di Bukittinggi sebagai
anak tertua dari 10 bersaudara. Kekar, berkulit sawo matang,
pemuda yang sehari-harinya berdagang arloji ini berpembawaan
tenang dan jelas bicaranya. Ia mengaku antara 1971 sampai 1976
berada di Arab Saudi belajar agama pada para ulama di sana.
"Saya tidak belajar secara sistematis seperti di universitas.
Bagi saya yang penting materi agama itu sendiri, bukan cara
memperolehnya," ceritanya.
Imran menegaskan, ia hanya berpegang pada Al Quran dan Hadits.
"Saya ingin agama itu pada bentuknya yang asli. Saya tidak
senang agama dipolitikkan. Adapun tata cara hidup bernegara,
agama Islam ada mengaturnya," katanya. "Karena itu saya sudah
tidak yakin dengan kepemimpinan yang tua-tua. Sebab kalau mereka
itu benar-benar dalam melaksanakan agama, tidak mungkin kami
menghadapi kenyataan keadaan seperti sekarang ini."
Hubungannya dengan para pemuda di Istiqamah disebutnya sebagai
hal yang biasa. Sejak 1978 ia sudah berhubungan dengan mereka
sebagai mubaligh biasa. Apakah benar dalam kelompoknya ada
semacam bai'at pada pimpinan? "Saya kira begini. Kami ini
berkumpul bersama mengaji, lalu kami berikrar bahwasanya kami
akan tetap di dalam Islam meskipun kami harus mengrbankan kami
punya diri: untuk Islam."
Ia juga mengaku merasa aneh disebut-sebut sebagai "orang
pemerintah" dan kaget namanya disebut sebagai pemimpin kelompok
pemuda Istiqamah.
Salah satu keyakinan Imran adalah, "manusia akan kembali ke
fitrahnya." "Kalau ia muslim, akan kembali sebagai muslim. Kalau
ia tertekan dan ditusuki terus suatu saat ia akan membela diri.
Dan dalam pembelaan diri ini akibatnya bisa . . . Kita akan
sama-sama tahu," katanya dengan penuh semangat, awal Agustus
tahun lalu.
Dan kini 8 bulan kemudian, apakah betul kita sama sama tahu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini