Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedatangan presiden sementara Kirgistan, Kurmanbek Bakiyev, menemui anggota parlemen yang baru menjadi antiklimaks bagi ”Revolusi Bunga Tulip”—yang menumbangkan Presiden Askar Akayev pada 24 Maret lalu. Dalam pertemuan yang berlangsung Selasa pekan lalu itu, Bakiyev resmi mengakui keberadaan parlemen baru tersebut. ”Hari ini kita butuh keputusan politik. Anda (parlemen baru) mulai melakukan tugas Anda, dan berdasarkan konstitusi, parlemen sebelumnya harus menyelesaikan tugasnya,” ujar Bakiyev di hadapan anggota parlemen Kirgistan.
Di luar gedung parlemen, ratusan massa oposisi menghujat keputusan Bakiyev itu, yang dituding mengkhianati revolusi. ”Kami ingin parlemen yang terpilih secara jujur, tanpa main sogok dan kecurangan. Bukankah itu yang kita perjuangkan?” ujar Saginbek Mambekov, seorang musisi yang mengaku terlibat revolusi. Massa menuntut pemilihan parlemen ulang dan pengembalian kekayaan rakyat Kirgistan yang dicuri keluarga Akayev selama 15 tahun berkuasa.
Inilah babak baru gonjang-ganjing pentas politik di negeri miskin bekas Uni Soviet itu, setelah oposisi berhasil mengusir Akayev dari istana kepresidenan. Akayev kemudian melarikan diri ke Rusia.
Konflik politik di Kirgistan diamati dengan perasaan waswas oleh negara Barat dan Rusia. Maklum, Amerika Serikat punya pangkalan militer di Kirgistan, yang dimanfaatkan untuk operasi militer mendongkel rezim Taliban di Afganistan, setelah serangan 11 September 2001 di New York. Sedangkan Rusia pantas khawatir bahwa guncangan stabilitas politik di Kirgistan mengganggu pasokan minyak dari negara Asia Tengah semacam Ka-zakstan, yang berbatasan dengan Kir-gistan.
Sejak revolusi, perubahan konstelasi politik berlangsung hanya dalam hitungan hari. Euforia kemenangan revolusi tulip hanya bertahan beberapa hari. Selebihnya, kelompok oposisi terbelah menghadapi kekuatan parlemen baru yang merupakan produk kecurangan rezim lama, Presiden Akayev.
Oposisi menuduh Presiden Akayev mengakali pemilihan anggota parlemen pada Februari dan Maret silam. Kecurangan ini menghasilkan 20 anggota parlemen baru dari 75 keseluruhan anggota parlemen, dan akan melempangkan jalan bagi Akayev untuk terpilih kembali pada pemilu presiden mendatang.
Semula konflik pasca-kekuasaan Akayev hanya seputar perebutan legitimasi antara parlemen lama dan parlemen baru. Parlemen lama yang punya andil mengakhiri pemerintahan Presiden Akayev menganggap sebagai parlemen yang sah meski parlemen baru sudah terbentuk. Alasannya, Mahkamah Agung memperpanjang mandat mereka. Karena itu, hingga Selasa pekan lalu, parlemen lama masih bertahan di lantai dua gedung parlemen. Sebaliknya parlemen baru, yang menguasai lantai satu sejak awal Maret lalu, menyatakan tugas parlemen lama secara konstitusional berakhir ketika parlemen baru terbentuk.
Tapi medan konflik meluas ketika parlemen baru menjadikan Bakiyev yang mendukung parlemen lama sebagai sasaran tembak. ”Akayev masih presiden resmi,” ujar Omurbek Tekebayev, ketua parlemen baru Kirgistan. Menurut Tekebayev, penunjukan Bakiyev selaku presiden sementara oleh parlemen lama tidak konstitusional. Bekas tokoh oposisi ini juga mencela pernyataan Bakiyev yang mencalonkan diri pada pemilihan presiden yang akan digelar Juni mendatang. ”Pemilihan presiden hanya dapat berlangsung setelah berbicara dengan Akayev. Jika tidak, hal itu hanya akan menjadi gerakan inkonstitusional lainnya,” tutur Tekebayev.
Perlawanan parlemen baru tak dinyana memecah kubu oposisi. Salah seorang tokoh oposisi, Felix Kulov, berbalik langkah dan mendukung Tekebayev. ”Pengakuan Basiyev selaku presiden sementara adalah tidak konstitusional, apalagi merangkap sebagai perdana menteri,” ujar Kepala KGB di Kirgistan pada era Uni Soviet ini. Kulov juga mengakui parlemen baru sembari menyatakan parlemen lama sudah habis mandatnya. Ironisnya, nasib Kulov terangkat kembali ke pentas politik berkat Bakiyev, yang menunjuknya sebagai Kepala Badan Keamanan Nasional. Dengan jabatan ini, Kulov mengontrol semua pasukan keamanan Kirgistan.
Karier Kulov dalam politik hampir saja tutup buku setelah ia dijebloskan ke bui untuk menjalani vonis pengadilan empat tahun penjara pada masa rezim Presiden Askar Akayev dengan tuduhan korupsi. Tapi Revolusi Bunga Tulip menyelamatkannya ketika massa oposisi menjebol penjara dan membebaskan Kulov. Kini Kulov menyatakan hanya tunduk pada perintah parlemen baru dan mengancam akan menangkap pemimpin oposisi lainnya jika nekat mengobarkan demonstrasi.
Rupanya ia tak puas hanya menjadi bagian dari kekuasaan Bakiyev. Kulov mengincar kursi yang untuk sementara diduduki Bakiyev berdasarkan penunjukan parlemen lama, satu jam setelah Presiden Akayev kabur dari istananya. Maka tak mengherankan bila Kulov meletakkan jabatan strategis selaku Kepala Badan Keamanan Nasional. Tindakan ini diduga sebagai langkah awal untuk bersaing dengan Bakiyev dalam pemilihan presiden mendatang.
Di parlemen baru Kulov juga sudah mengamankan rencananya. Sejumlah anggota parlemen mengajukan petisi ke Mahkamah Agung dan kantor Jaksa Agung agar membatalkan vonis bersalah terhadap Kulov. Dengan demikian Kulov tak punya cacat hukum sehingga pantas maju dalam pemilihan presiden.
Perubahan sikap Kulov mempengaruhi semangat parlemen lama dengan menghentikan kegiatan resmi di lantai dua gedung parlemen. Tindakan ini bak mengerek bendera putih tanda menyerah dalam konflik dengan parlemen baru. ”Keputusan ini demi menstabilkan situasi politik,” kilah Ishenbai Kadyrbekov, ketua parlemen lama. Pengamat menduga, inilah titik balik perubahan sikap Bakiyev yang kehilangan dukungan politik formal dari kubu oposisi. Masuk akal jika Bakiyev buru-buru mengambil sikap kompromi dengan mengakui keabsahan parlemen baru.
Imbalannya, parlemen baru mengangkat Bakiyev selaku perdana menteri, tapi bukan sebagai presiden sementara. Maklum, untuk jabatan orang nomor satu, parlemen baru tetap pada sikapnya, yakni hanya mengakui Akayev sebagai presiden yang sah. Namun Bakiyev tak peduli. Kini perhatiannya tercurah pada pemilu presiden mendatang. Untuk itu ia sudah menggertak Akayev agar tidak nekat pulang kampung dalam waktu dekat. Alasannya, kepulangan Akayev hanya akan menyulut kemarahan pendukung oposisi. ”Saya sarankan agar dia tak kembali karena kepulangannya tak kondusif saat ini,” kata Bakiyev.
Memang, sejak Akayev hengkang, suhu politik cenderung mendingin. Tapi pergolakan politik diduga akan mengerucut pada persaingan sengit antara Kulov dan Bakiyev. Sebagai tokoh politik yang sama-sama berasal dari kubu oposisi, persaingan keduanya lebih merupakan soal kepribadian daripada ideologi. ”Bahaya utama sekarang adalah ambisi politisi yang siap bertempur untuk meraih kekuasaan,” ujar Muratbek Imanaliyev, bekas menteri luar negeri dan guru besar hukum internasional di Universitas Amerika Asia Tengah di Bishkek. Repotnya, Kulov berasal dari Kirgistan utara, sedangkan Bakiyev dari selatan. Maka pertempuran kedua tokoh itu dikhawatirkan akan memicu disintegrasi Kirgistan.
Soal lain masih menghadang, yakni massa pendukung oposisi yang sudah membuktikan kemampuan menggusur Presiden Askar Akayev. Mereka menganggap Kulov dan Bakiyev telah mengkhianati Revolusi Tulip dengan mengakui parlemen baru. ”Mereka merampas kemenangan rakyat,” kata Alla Shabayeva, salah seorang penggerak aksi demonstrasi kubu oposisi. Menurut Shabayeva, pemerintah Bakiyev tak ada bedanya dengan pemerintah lama. ”Jika mereka tak melakukan kehendak rakyat, kami akan menggelar revolusi kedua,” kata Shabeyeva.
Raihul Fadjri (Reuters, NYT, CS Monitor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo