Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Requiem untuk Terri Schiavo

Seorang suami di Florida menang gugatan untuk membunuh istrinya. Masyarakat, politisi, dan aktivis Amerika terbelah.

4 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terri Schiavo, 41 tahun, akhirnya pergi. Dalam pelukan suaminya, dalam kamar penuh bunga, mendekap boneka kesayangannya. Tim dokter di rumah sakit khusus orang-orang menjelang ajal di Pinellas Park, Florida, Amerika Serikat, mencabut selang makanan. Dan 13 hari berselang, Kamis pekan lalu, Terri meninggal.

Wajahnya damai, kata seorang saksi. Tapi Terri memang pergi meninggalkan keluarga, negara bagian, bahkan Amerika yang sudah terbelah. Suaminya, Michael Schiavo, menginginkan pembebasan Terri dari kondisi mengenaskan: selang dilepas, lalu biarkan ia mati sendiri, alami. Keluarga Terri, keluarga Bobby dan Mary Schindler, sebaliknya: serahkan pilihan kepada Terri. Mereka yakin Terri masih ingin hidup. Dalam persidangan di pengadilan, keluarga Schindler selalu berusaha membuktikan bahwa Terri sadar dan bereaksi terhadap terapi.

Terri memang menderita. Pada Februari 1990, Michael menemukan istrinya terbaring di lantai rumah. Dari mulutnya terdengar gumam tak jelas, tapi dokter kemudian menemukan jantungnya sempat berhenti berdenyut, dan aliran oksigen ke otak terputus beberapa menit. Jantung serta aliran darahnya berangsur-angsur normal, tapi Terri tak sadarkan diri. Otaknya rusak parah, dan hidupnya bergantung pada selang makan.

Kematian Terri puncak dari perang hukum selama tujuh tahun antara Michael dan keluarga Schindler. Sebenarnya kasus Terri telah diputus sejak 2001. Namun selang makan yang sempat dilepas beberapa hari dipasang kembali setelah banding keluarga Schindler diterima. Ketika pengadilan sekali lagi memerintahkan selang dicabut pada 2003, dewan perwakilan rakyat daerah Florida mengeluarkan undang-undang yang memungkinkan intervensi gubernur. Lantas Gubernur Florida Jeb Bush mengeluarkan perintah menunda eksekusi.

Kasus Michael vs keluarga Schindler sangat menyedot emosi dan energi. Michael merasa Terri yang terkapar berada di pihaknya. Ia punya cerita penting. Suatu ketika, ia menemani Terri menjenguk neneknya yang terbaring tak sadar di ranjang sakit. Terri menyaksikan sang nenek tetap hidup dengan dukungan alat bantu napas. Terri terpukul dan bergumam, "Saya tidak ingin hidup seperti ini."

Beberapa tahun berselang, Terri seakan menggantikan neneknya: jantung masih berdenyut, tapi kesadarannya nol. Keadaan yang mengundang siapa pun, atau kelompok mana pun, terlibat. Masyarakat pecah, tapi enam kali Mahkamah Agung AS menolak melakukan intervensi. Tapi, ketika nyawa Terri benar-benar terancam, Kongres buru-buru mengajukan rancangan undang-undang khusus yang mengizinkan pengadilan federal terlibat. Presiden George W. Bush mengundangkan RUU itu pada 21 Maret. Dan Jeb Bush, adik Presiden AS, angkat tangan. "Tugas saya sekarang menaati hukum," ujar Jeb. Dan tangan federal yang perkasa itu memutuskan: eksekusi bisa dilaksanakan.

Kita tahu bahwa Terri, yang jaringan otak luarnya mulai dipenuhi jaringan lain, diam saja. Tak ada yang dapat merasa apa yang dirasakan, atau menangkap apa yang dipikirkan. Yang jelas dunia yang sedang berbeda pendapat mengenai dirinya itu semakin ingar-bingar. Kongres, badan yang menelurkan RUU itu, terbagi dua. Orang-orang dari Partai Republik kini ngotot menyelamatkan nyawa Terri. Sedangkan orang-orang liberal dari Partai Demokrat sebaliknya.

Pada tahun-tahun awal, sebenarnya derita Terri mendekatkan Michael dan keluarga istrinya. Bersama-sama mereka merawat Terri, mengantar dia mengikuti berbagai terapi. Namun pada Hari Valentine 1993 semua berubah. Mereka mulai cekcok, dan masalahnya adalah uang. Pada 1992 Michael menggugat dokter kandungan yang merawat Terri, sebelum sakit. Menurut dia, dokter mengabaikan ketidakseimbangan kalium dalam tubuh Terri—hal yang menyebabkan jantungnya berhenti sejenak. Dari tuntutan itu Michael mendapat US$ 300 ribu (Rp 2,7 miliar) ditambah US$ 750 ribu (Rp 6,75 miliar) untuk biaya perawatan Terri hingga akhir hayatnya.

Ya, jumlah besar yang kemudian diminta keluarga Terri untuk membiayai terapi Terri. Michael menolak, lalu berkobarlah pertempuran tujuh tahun itu.

Alkisah, pada 1984 Michael jatuh cinta pada Terri, putri dari keluarga kelas menengah di Philadelphia. Mereka cepat menikah, tapi Terri tak lekas hamil. Di Florida, tempat mereka tinggal dan bekerja, kerinduan akan momongan itu semakin tinggi. Terri memang sibuk bekerja di perusahaan asuransi, dan Michael manajer sebuah restoran. Tapi pasangan ini tetap rajin mengunjungi dokter kandungan, dokter yang amat berani bereksperimen menanam elektroda platina di otak Terri, sosok yang lantas terbukti melakukan malpraktek.

Menghadapi istri yang tak berdaya, Michael tampil sebagai suami yang istimewa. Ia mengesankan semua orang di rumah sakit: selalu kelihatan di samping Terri, membawa benda apa saja yang disukai istrinya—pendeknya, semua yang menunjukkan kesetiaan seorang suami. Dan semua itu ternyata menguap, begitu persoalan penggunaan uang di atas menempatkan mereka sebagai lawan di pengadilan.

Apa boleh buat, nasib Terri sudah diputuskan. Dokter sendiri memang memperkirakan: kematian terjadi satu hingga dua minggu setelah selang makanan dilepas. Michael berjaya, dan keluarga Terri pecundang. "Saya sudah tidak tahu, apa lagi yang bisa kami perbuat," ujar Bobby Schindler. Pada Jumat Agung, dua pekan lalu, selain menerima komuni dalam bentuk setetes anggur, Terri juga mendapat sakramen minyak suci—sakramen terakhir yang diberikan kepada umat Katolik sebelum meninggal.

Kini, setelah Terri berpulang, keluarga Schindler dan Michael—yang mewakili dua kelompok besar di AS: yang memuja hidup dan yang menginginkan kematian—mungkin masih akan terlibat debat panjang. Di sana ada masyarakat biasa, politisi, dan aktivis dari dua pihak yang bertikai. Namun tak ada yang pernah tahu kepada siapa Terri—yang telah lama telah kehilangan hak atas nyawanya sendiri—sebenarnya berpihak. Requiescat in pace.

Philipus Parera (AP/Reuters/CSMonitor/Time)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus