Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah tiga pekan ini Melati bersandar di pelabuhan Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau. Tongkang bernomor lambung 210 itu terikat diam, tak ada tanda-tanda bakal berlayar. Ops..., jangan salah, meski namanya menyiratkan sesuatu yang indah, bersih, dan membawa keharuman, Melati yang satu ini ternyata justru sebaliknya, mengangkut 1.149,4 ton limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), juga berbau.
Sebelum teronggok di pelabuhan Tanjung Balai itu, tongkang yang bermuatan limbah tersebut rencananya berlayar dari Pulau Galang Baru, Batam, membawa kembali (reekspor) limbah B3 menuju negara asalnya, Singapura. Tapi pihak Po-lisi Kelautan (Marine Police) Singapura melarang kapal ini memasuki wilayah perairan negaranya. Di perairan Tanjung Medang Luar di Selat Panjang, tongkang yang ditarik kapal Tiong Woon Ocean berbendera Honduras itu akhirnya terpaksa berbalik arah.
Padahal Rahmat sudah bertekad, sampah berbahaya itu harus bisa kembali ke Singapura. Tak mengherankan, gagalnya tongkang limbah menerobos masuk negara kota ini membuat Rahmat Witoelar tampak terkejut sekaligus kecewa. Dua hari sebelumnya, Menteri Negara Lingkungan Hidup itu melepas si Melati dan mewanti-wanti agar tongkang tersebut tak lagi kembali. Bahkan, Rahmat ikut pula menyaksikan tumpukan peti seberat 1.149,4 ton ini disingkirkan dari penampungannya di Pulau Galang Baru.
Sebaliknya, pihak Singapura berkeras tak bersedia menerima kembali limbah tersebut. Selain dengan alasan sudah diloloskan Bea dan Cukai Batam, "barang" yang diimpor oleh PT Asia Pacific Eco Lestari (APEL) awal Maret lalu itu dikatakan merupakan "bahan organik" berupa kompos yang biasa digunakan sebagai pupuk tanah.
Hanya, uji laboratorium yang dilakukan KLH, Sucofindo, Australian Laboratory Services Indonesia, juga Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), berkesimpulan yang dikatakan Singapura bahwa "barang" di tongkang itu adalah bahan organik tidaklah benar. Material yang diteliti, yang antara lain berupa potongan kayu dan ranting dalam limbah itu, rupanya telah bercampur dengan semacam serbuk yang mengandung bahan radioaktif.
"Lha, kalau bukan limbah beracun, mengapa Singapura menolak reekspor?" kata Rahmat bersungut-sungut. Cuma, agak disayangkan jika berita yang mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup menolak bertemu Singapura guna membahas kasus ini benar adanya.
Memang, perkara sampah dari seberang ini tidak hanya terjadi di Batam. Bekasi juga menerima paket serupa yang dikaitkan dengan PT Gunung Garuda. Menurut Slamet Daroyni, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta, perusahaan itu telah melanggar tata cara pembuangan limbah B3 seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 18/1999.
Slamet menuding polisi maupun pemerintah Kabupaten Bekasi terlalu lamban dalam menangani kasus dugaan pencemaran ini. "Padahal jelas korban sudah jatuh," katanya. Meski persoalan itu sudah diserahkan Kepolisian Resor Bekasi kepada Polda Metro Jaya, penanganan kasus dugaan pencemaran limbah B3 yang dilakukan PT Gunung Garuda ini masih tak jelas benar kelanjutan perkaranya, padahal sudah berjalan tiga bulan.
Memang tak semua cerita berakhir dengan kegagalan. Pekan lalu dari Jakarta, 19 kontainer berisi limbah B3 dikirim kembali ke negara asalnya, Inggris. Meski sebelumnya barang tersebut sempat ngendon hampir dua bulan di Terminal Kontainer Internasional Tanjung Priok dan Kawasan Berikat Nusantara, Marunda.
Buntunya penyelesaian limbah B3 impor ini sebenarnya tak terjadi jika penegakan hukum di Indonesia telah berjalan dengan baik. Selain Pasal 21 ayat 2 dan Pasal 21 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup, dalam Pasal 1 (b) dan 4 (e) Konvensi Basel juga jelas-jelas disebutkan, bila negara tujuan ekspor menyatakan limbah impor sebagai limbah B3, negara pengekspor harus mengikuti keputusan tersebut. Artinya, negara pengekspor harus bersedia menerima kembali limbah itu. "Aturan hukum kita sebenarnya cukup kuat, hanya pelaksanaannya yang belum terbiasa," ujar Rahmat.
Tapi, justru itulah pangkal soalnya. Lemahnya penegakan hukum di negara ini membuat para pengusaha gampang menyurukkan limbah B3-nya ke Indonesia. Contohnya, ya, itu tadi, jika Bea dan Cukai atau aparat keamanan lainnya mudah diajak kompromi. "Kita dianggap gampangan," kata Rahmat, terdengar mengeluh.
Raju Febrian, Rinaldi D. Gultom, Rumbadi Dalle (Batam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo