Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAK menyambung tali silaturahmi dan menapak tilas ke masa silam, mendadak satu delegasi Partai Nasionalis Cina alias Kuomintang berkunjung ke Cina Daratan, Senin pekan lalu. Kunjungan perutusan partai yang dalam waktu lama pernah memerintah Taiwan ini terasa nyeleneh karena justru ketika semangat anti-Cina menyembur-nyembur dari setiap pojok jalan di Taipei.
"Kuomintang tidak pro-Cina," kata Chiang Pin-kung, wakil ketua partai, yang mengajak 30 anggotanya menengok negeri leluhur. "Partai ini pro-ekonomi dan pro-rakyat Taiwan." Adapun tujuan kunjungan itu, menurut Chiang, tidak lain daripada mempromosikan perdamaian dan harmoni di kawasan Selat Taiwan.
Rombongan Chiang masuk dari Guangzhou di selatan dan melakukan upacara penghormatan bagi 72 anggota Kuomintang yang gugur dalam upaya penggulingan Dinasti Qing, sebelum partai itu berhasil mendirikan Republik Cina, pada 1912. Dari Guangzhou mereka ke Nanjing, menziarahi makam Dr Sun Yat-sen, pendiri Kuomintang 110 tahun silam dan presiden Cina 1923-1925.
Akhirnya, tentu rombongan tiba di Beijing, sampai Jumat petang, sebelum balik ke Taipei. Di Beijing, rombongan disambut Jia Qinglin, Ketua Konferensi Perwakilan Politik Masyarakat dan politikus nomor empat dalam hierarki Komite Politbiro Kuncantang alias Partai Komunis Cina. Ini yang membuat mayoritas rakyat Taiwan waswas akan alasan Chiang.
Prioritas pembicaraan ternyata menyangkut topik peka, Undang-Undang Antipemisahan yang baru disahkan Kongres Rakyat Nasionalalias parlemen Cinatiga pekan lalu. Undang-undang itu menjadi dasar hukum yang baru bagi Cina untuk menggunakan "cara-cara nondamai" jika Taiwan berkeras memproklamasikan kemerdekaannya. Termasuk dalam kriteria "cara-cara nondamai" itu adalah serangan militer dari Beijing bila Taiwan menolak melakukan reunifikasi melalui meja perundingan.
Selama ini Beijing melihat Taiwan tak lebih dari satu provinsi dalam skema politik "Satu Cina, Dua Sistem". Walhasil, kelompok-kelompok prokemerdekaan di Taiwan, seperti Persatuan Solidaritas Taiwan (TSU) atau Partai Progresif Demokrasi (DPP) yang kini berkuasa, menuding kunjungan itu sebagai bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita rakyat Taiwanyang fondasinya justru dibangun Kuomintang sendiri.
Pengamat politik di Institut Hubungan Internasional Taiwan, George Tsai, menganalisis kunjungan Chiang sebagai langkah awal untuk menyiapkan kunjungan Ketua Kuomintang, Lien Chan, ke Cina Daratan pada Juni 2005. "Secara ideologis, Partai Komunis Cina akan memberi peran yang lebih penting bagi Kuomintang dalam hubungan bilateral Taiwan-Cina," ujar Tsai.
Bila kunjungan dilakukan bukan oleh Kuomintang, mungkin masalahnya tak jadi ramai. Sebab, Kuomintang adalah kekuatan yang terusir dari Cina Daratan ketika Partai Komunis Cina mengambil alih kekuasaan pada 1949. Kuomintang, yang kala itu dipimpin Chiang Kai-shek, pindah ke Taiwan dengan dua juta pengikut dan sejumlah harta negara milik pemerintah.
Di pulau yang terletak 100 mil laut dari Cina bagian selatan itu, Kuomintang mendominasi kekuasaan politik sampai 2000, ketika DPP memenangkan pemilihan presiden yang mengantarkan Chen Shui-bian menggantikan Lee Teng-hui dari Kuomintang sebagai presiden. Sejak itu, Kuomintang berubah menjadi partai oposisi terbesar.
Dengan menggandeng partai-partai lain seperti Partai Utamakan Rakyat (PFP) dan Partai Baru Cina (CNP), Kuomintang membentuk poros Koalisi Biru, yang menginginkan reunifikasi negeri itu dengan Cina Daratan. Adapun partai-partai lain yang menginginkan Taiwan merdeka sebagai negara berdaulat yang setara dengan Cina bersatu membentuk poros Koalisi Hijau.
Manuver politik Kuomintang itu dipandang skeptis oleh Joseph Wu, salah seorang tokoh pembuat kebijakan strategis di pemerintahan Chen Shui-bian. "Saya tidak yakin apakah upaya Kuomintang akan membuahkan hasil," katanya, seperti dikutip Reuters. Dua hari sebelum keberangkatan rombongan Chiang ke Cina, terjadi unjuk rasa besar-besaran yang diikuti lebih dari 270 ribu rakyat Taiwan, termasuk Presiden Chen Shui-bian, meskipun ia tidak menyampaikan orasi politik.
Mereka menentang UU Antipemisahan yang akan dijalankan Beijing. Di Hong Kong, ratusan orang juga turun ke jalan memberi dukungan kepada Taipei. "Taiwan adalah pulau kecil sehingga kami harus berteriak sekeras-kerasnya agar dunia mendengar bahwa kami sedang menghadapi iblis raksasa," ujar Vivian Wang, pekerja restoran berusia 38 tahun, kepada AP.
Di Cina sendiri, demonstrasi itu digambarkan media pemerintah dengan mengutip komentar Wang Chinping, Presiden Yayasan Cina-Taiwan, sebagai "karnaval politik yang menggunakan uang rakyat". Eskalasi ketegangan politik ini menambah rumit hubungan kedua negara sejak Cina mengumumkan RUU itu pada awal Maret lalu.
Ketika itu, menjelang pengesahan RUU, Perdana Menteri Taiwan Frank Hsieh mengultimatum Beijing bahwa Taiwan akan mengamendemen konstitusinya jika parlemen Cina mengesahkan RUU tersebut. "Bila (Cina mengesahkan UU yang memperbolehkan) mereka menggunakan kekerasan terhadap kami, dan memasukkan Taiwan sebagai bagian Republik Rakyat Cina, maka saya mendukung amendemen konstitusi," kata Hsieh dalam salah satu sesi pertemuan dengan parlemen Taiwan. Hsieh tidak memberikan perincian revisi macam apa yang bakal dilakukan terhadap konstitusi negerinya.
Konstitusi Taiwan sudah lama merupakan hal sensitif yang ingin "dilupakan" Beijing. Naskah konstitusi itu sebenarnya ditulis di Cina oleh Kuomintang untuk menggenjot pencapaian demokrasi dan pertumbuhan ekonomi Cina pasca-Perang Dunia II. Tapi, naiknya Kuncantang ke panggung kekuasaan membuat Kuomintang tersingkir, dan membawa konstitusi itu untuk diterapkan di negeri baru. Konstitusi itu menyebutkan nama resmi Taiwan adalah Republik Cina, dengan wilayah meliputi Taiwan, Cina Daratan, dan Mongolia.
Bagi Beijing, amendemen konstitusi Taiwan yang dilancarkan Hsieh akan membawa dampak sangat berbahaya: munculnya negara Taiwan. Presiden Chen Shui-bian sendiri telah menegaskan, perubahan konstitusi, kalaupun dilakukan, tak akan menyinggung soal nama baru, teritorial, maupun isu-isu kedaulatan seperti yang dilakukan Beijing. Namun, langkah nekat Kuomintang memotong kebijakan pemerintahnya dengan bernegosiasi langsung dengan Beijing membuat pilihan Taipei semakin terbatas.
Akmal Nasery Basral (BBC, The CS Monitor, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo