KORBAN mala petaka kebakaran reaktor nuklir di Chernobyl terus berjatuhan. Empat dokter sukarelawan Amerika-Israel di Rumah Sakit Nomor 6, Moskow, terus berkutat mencoba menyelamatkan korban yang ada. Namun, apa boleh buat, kehebatan mereka rupanya belum menjadi jaminan. Pekan silam, Dr. Robert Dale, ketua tim dokter sukarelawan itu menyebut 13 orang tewas sejak mala petaka terjadi akhir bulan lalu. Laporan yang disiarkan IAEA (Badan Tenaga Atom Internasional) awal bulan ini mengatakan, 204 petugas reaktor nuklir dan pemadam kebakaran yang berupaya mengatasi kebakaran terkena radiasi tingkat pertama hingga keempat, tingkat terparah. Mereka terpaksa dirumahsakitkan di Moskow, tulis laporan tadi. Pekan lalu, jumlah ini sudah meningkat hingga 299 pasien. Menurut perkiraan sementara, sedikitnya 100 ribu korban lainnya diduga terkena radiasi. Mengutip keterangan dua ahli kedokteran Soviet, kantor berita Novosti melaporkan, 39 orang dipastikan dalam keadaan gawat empat orang lebih banyak dari yang disebut tim dokter sukarelawan. Kondisi mereka hanya terpaut selangkah dari lubang kubur. Dapatkah maeka diselamatkan? Dr. Dale, ahli bedah transplatasi sumsum tulang tersohor, dengan nada pasrah berucap, "Kami tidak punya banyak pengalaman dalam menangani kasus serupa ini." Sejauh ini belum ada angka-angka maupun penjelasan baru yang dikeluarkan Kremlin. Hal ini memang tidak terlalu mengherankan. Bencana-bencana sebelumnya juga nyaris terlewat begitu saja tanpa keterangan apa pun, kendati korban bergelimpangan. Misalnya saja pada kasus yang menimpa reaktor atom Rovno. Desember 1981. Tapi kali ini lain. Ketertutupan para pejabat berwenang bukan berarti tak menimbulkan tanda tanya di kalangan mereka sendiri. Harian Pravda dalam terbitan awal pekan ini menulis, "Di hari-hari pertama, masyarakat diliputi ketidakpastian." Ini merupakan "kemajuan". Biasanya corong resmi Partai Komunis Uni Soviet itu tak berani mengungkapkan keadaan seperti itu. Sambil menyiarkan di halaman muka laporan korespondennya dari lokasi terdekat dengan reaktor, Pravda mengharapkan agar pemerintah mau mengembalikan kepercayaan kepada rakyat yang telah menunjukkan keteguhan mereka untuk tetap tenang - tenang karena mereka sebenarnya tidak mendapat cukup gambaran tentang akibat musibah tersebut. Belum jelas apakah hal ini mengisyaratkan adanya keresahan. Yang pasti, keberanian menyibak ketertutupan yang selama ini lazim di sana, cukup mencengangkan. Media massa Soviet berlomba-lomba menyuguhkan kepada pembacanya akibat musibah Chernobyl. Kantor berita Novosti, misalnya, mewawancarai Ivan Yemelianov, ahli fisika nuklir Soviet ternama, pemegang penghargaan Bintang Lenin - yang mencoba meyakinkan bahwa kecelakaan tersebut bukanlah disebabkan oleh kegagalan teknologi Soviet. Baru setahun lalu, Radio Kiev melaporkan, reaktor yang dibangun di atas kawasan yang telah diperhitungkan keselamatan ekologisnya itu berada dalam kondisi prima. Karena itu, tidak sedikit pihak yang menyebutkan, media massa Soviet kali ini berjasa sebagai salah satu pendorong Gorbachev buka mulut. Dalam pidato televisi sepanjang 25 menit yang dipancarkan ke pelosok negeri pekan lalu, Gorbachev mengakui adanya kecelakaan yang menimpa salah satu reaktor nuklir di negaranya. Ia menyampaikan rasa dukacitanya terhadap para korban. Ada yang menduga, keterlambatan Gorbachev beraksi disebabkan tidak memadainya laporan-laporan yang sampai di mejanya. Kabarnya, laporan-laporan tersebut mengecilkan arti akibat yang bisa ditimbulkan musibah semacam itu. Sementara itu, larangan impor bahan pangan dari Soviet dan beberapa negara Eropa yang diduga terkena kontaminasi radiasi masih terus berlanjut. Bahkan Arab Saudi pun sudah mengambil langkah serupa yang dituangkan dalam keputusan yang tidak diumumkan resmi. Krisis internasional pertama bagi Gorbachev ini cukup memusingkan kepalanya. Namun, ia masih mencoba mengajak seteru utamanya, Amerika Serikat, merundingkan kembali soal pembatasan senjata nuklir yang sampai saat ini masih terkatung-katung. Imbauan ini disambut dingin oleh Washington. Sebuah perkiraan yang dilontarkan oleh Prof. Angelina Guskova (kepala klinik institut biofisika) dan Andrei Vorobyov (hematolog) menyebutkan, sekiranya terjadi perang nuklir tidak ada pusat kesehatan di mana pun yang dapat menangani para korban Sebab, setiap pasien yang terkena radiasi tingkat menengah sedikitnya harus ditangani oleh 25 dokter berbagai keahlian. Itu paling tidak akan memakan ongkos US$ 1.000 per hari. Lalu bagaimana nasib korban Chernobyl ? James R. Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini