SENJA musim dingin menyentuh La Guardia. Lapangan Udara di New
York itu seperti biasa saja di hari Senin menjelang. tutup tahun
1975 itu. Di tempat penerimaan bagasi perusahaan penerbangan
Trans World Airways, orang ramai berkerumun, mencari bagasi
serta penjemput. Tiba-tiba, waktu jam nenunjuk 18.30, sebuah
ledakan dahsyat terdengar. Orang-orang berjatuhan: 1) tewas
seketika. Lantai tingkat di atas ambruk. Jendela kaca 3 meter
tingginya terlontar dan hancur memmpa kerumunan orang. Pintu
berbingkai baja nampak melengkung. Suatu kebakaran setempat
terjadi. Pipa air di langit-langit pecah, aimya mancur ke lantai
- bercampur darah manusia. Sebab di lantai itu bergelimang
darah, di antara potongan tubuh, sepatu-sepatu yang terlontar,
robekan kain. Tak lama kemudian tercatat 11 orang mati, 75
Jukaluka. "Ya, Tuhan, apa yang telah terjadi?" teriak seorang
petugas keamanan.
Jawaban atas teriakan itu segera bisa diberikan: yang, terjadi
adalah pembantaian manusia, yang tidak jelas salahnya dan tidak
jelas pula dibantai untuk apa. Zuhdi Tervi, peninjau Organisasi
Pembebasan Palestina di PBB, menyatakan bahwa orgamsasinya
secara pasti dan, tegas membantah keterlibatan dalam perbuatan
kriminil itu. Terkenal sehagai tempat berkumpulnya pejuang yang
melakukan dan menghalalkan apa yang kemudian disebut "teror",
O nampaknya telah membedakan inana yang krimind dan mana yang
bukan. Bagi sejumlah besar manusia yang dengan hati takut kini
naik turun pesawat terbang, kereta api, jalan-Jalan di pojok
kota atau sekedar berada di kantornya sendiri, perbedaan semacam
itu tak pernah jelas. Kini nyaris siapa saja, di mana saja,
kapan saja, bisa terbunuh - atas nama suatu perjuangan atau
sekedar kegilaan: Peristiwa di La Guardia itu tak diketahui
motifnya. Tak diketahui siapa yang melakukannya. Dan beberapa
hari saja terjadi setelah pembajakan di Markas Besar OPEC
(TEMPO, 3 Januari), peristiwa awal pekan lalu itu seakan-akan
melengkapkan tahun 1975 sebagai "Tahun Teror Internasional".
Bukan Rakyat Melarat
Tentu saja pernbajakan dan pemboman serta pembantaian terhadap
orang-orang yang "tak-siap-perang" oleh Pelbagai grup-itu tak
cuma tetjadi di tahun 1975. Juga ada alasan bahwa peristiwanya
kebanyakan terjadi di negara-negara kaya dan para korban juga
bukan rakyat yang melarat. Tapi tahun 1975 agaknya juga ditandai
oleh makin menyebarnya teror itu. Agustus 1975, lima anggota
"Tentara Merab" Jepang mengambil-alih gedung kedutaan AS di
Kuala Lumpur dan menyandera 51 orang. Mereka m.enuntut
dibebaskannya 7 orang rekan mereka yang dipenjarakan di Jepang
dan kalau tidak, gedung akan diledakkan. Tindakan, ini agaknya
yang kemudian menyebabkan hampir semua kedutaan AS - termasuk di
Jakarta-- dijaga ketat. Bisa difahami: sejak 1968, saat
terbunuhnya Dutabesar John G. Mein oleh para penculik Guatemala,
lebih dari 80 diplomat atau pejabat AS di luar negeri kena
serang dan hampir 20 orang mati akibatnya. Perwakilan Inggeris,
Kanada, Jepang, Perancis, Jerman Barat, Mesir dan terakhir
Indonesia (lihat Laporan Utama) juga mengalami nasib yang sama.
Makin tersebar-luasnya terorisme ini betapapun nampakitya belum
dirasakan perlu ditanggulangi secara internasional. Orang
Amerika mengeluh, bahwa usul AS di Komite liukum Majelis Umum
PBB di tahun 1972 - yang menghendaki para negara anggota
mengembalikan pelaku teror untuk diadili di negeri terjadinya
perbuatan - ditolak. Yang diterima, detrgan suara 76. lawan 34,
ialah suatu "penelaahan". Bisa saga di harapkan bahwa setelah
teror mengenai juga orang Mesir, Malaysia, dan Indonesia - dan
mungkin kelak hampir setiap bangsa kerjasama internasional
melawan terorisme itu akan dilaksanakan.
Namun selama ini latar belakang nasional masmg-masing negara
terkadang menyebabkan kerjasama itu suht dilakukan. Sementara
itu, terorisme, dengan tnudah menyebar bersama menyebarnya
pengguhaan teknologi - baru. Peralatan baru di bidang senj.ata
menyebabkan sebuah grup kecil bisa memiliki kekuatan yang ampuh.
Misalnya, sebuah pesawat komersiil bisa ditembak dengan
peluru-kendali-pencari-panas SA-7 bikinan Soviet, yang bisa
dilontarkan dari peluncur ringan yang disangga di bahu.
Pemancaran televisi ke seluruh dunia juga bisa menyajikan drama
pembajakan dengan memikat, dan sering dianggap hal itu
merangsang bagi para calon teroris.
Yang Tanpa Warisan
Namun tentunya bukan cuma teknologi yang menciptakan terorisme.
Ketidak-puasan yang tak bisa tersalur secara damai masih cukup
meluas. Dunia kini melihat makin banyak pemuda yang, lantaran
ledakan penduduk, tak menemukan pintu bai suatu masa depan yang
berarti. Sementara itu tersebarnya pengertian tentang persamaan
hak dan keadilan membangkitkan pelbagai golongan minoritas dari
kebisuannya: pemuda hitam di kota-kota AS, orang-orang keturunan
Perancis di Quebec, bangsa Bask di Spanyol, dan para pengungsi
Palestina. Seorang Palestina muda menulis misalnya dalam
bukunya, Yang Tanpa Warisan (1972): "Kubenci dunia dan tata
susunan kenyataan di sekelilingku. Kubenci keadaan di mana aku
direnggutkan dari suatu bangsa dan suatu identitas. Kubenci
diriku menjadi parah, menjadi angka nol. Beri aku pistol, bung,
dan akan kuledakkan otakku dan otak seseorang lain".
Barangkali meluasnya teror internasional mencerminkan di satu
fihak kesewenang-wenangan internasional--dan di lain fihak
semacam fatalisme yang mencengkam banyak orang melihat keadaan
dunia kini dan nanti. Itu tidak berarti bahwa teror hanyalah
senjata kaum pejuang yang fanatik nekad, putus-asa ataupun yang
ingin cita-citanya lebih diacuhkan secara layak. Penyanderaan,
dalam bentuk penculikan dengan minta tebusan, bukanlah taktik
baru kaum bandit. Kqadian di La Guardia bahkan mungkin
diakibatkan oleh sekedar fikiran sinting. Menghadapi semua itu,
orang sering menuntut tindakan pencegahan dari fihak polisi
secara lebih efektif. Tapi sudah jelas, sebagaimana terasa di
pelbagai lapangall udara yang sesak di mana harnpir tiap orang
wajib diperiksa, banyak hal tak enak terjadi. Lebih tidak enak
bil. orang ke mana saja harus diperiksa, di mata-matai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini