SERENTETAN peristiwa pembajakan yang dilakukan oleh
pemuda-pemuda "RMS" di Negeri Belanda telah membangkitkan
pertanyaan: seberapa luas pemilikan senjata api di antara
mereka? Seorang Maluku Selatan yang dikutip oleh koran Belanda
NRC-Handelsblad menyebutkan bahwa tiap pemuda Maluku Selatan
punya senjata. Info ini tidak banyak berbeda denan angka yang
dikemukakan dari kalangan yayasan Door de eeuwen trouw, yakni
99,9%.
Ada berbagai cara bagi pemuda-pemuda itu untuk mendapatkan
senjata api secara tidak sah. Senjata itu bisa dibeli,
seringkali di Belgia, tapi juga di Negeri Belanda. Contohnya
senjata yang digunakan dalam penyerbuan rumah kediaman dubes
Indonesia di Wassenaar, tahun 1970. Menurut penyelidikan polisi
Belanda, senjata itu dibeli pada seorang yang bernama Derk K. di
kota Enschede, yang bersama saudaranya Rika membuka toko
alat-alat besi - sekaligus menjual senjata gelap.
Bulan September yang lalu dua orang Maluku ditangkap di Smilde
karena terlibat dalam perdagangan senapan-senapan mesin eks PD
II. Sebelumnya, pada bulan April tahun yang sama, dua pemuda
Maluku ditahan di Kaatsheuvel, Brabant, ketika baru pulan dari
berbelanja di Belgia: di dalam mobil mereka ternyata ditemukan
sepucuk senapan semi-otomatis, 2 senapan flobert dengan teropong
pembidik, sebuah senapan berburu berlaras tunggal, dan 500 butir
peluru. Namun di samping perdaganan gelap dan penyelundupan
senjata dari negeri-negeri tetangga Belanda, ada juga yang
memperoleh senjatanya secara cuma-cuma: dengan mencurinya dari
tangsi tentara. Tahun 1973 dua orang pemuda Maluku ditangkap di
Apeldoorm karena mencuri senjata dari tangsi. Bulan Mei tahun
1975 peristiwa selupa terulang lagi dengan pelakunya 3 orang
Maluku di Breda. Bulan Juni 1975 seorang Maluku ditahan di Assen
karena kedapatan mencuri sepucuk senapan Fal dari tangsi di mana
dia sendiri pernah tinggal sebagai tentara wajib-latih.
Pemuda-pemuda Maluku itu sudah tidak sembunyi-sembunyi lagi
dalam urusan pemilikan senjata itu. Itu dapat disimpulkan dari
ucapan ketua Angkatan Muda MaluJu Merdeka, Ftti Aponno yang
telah menuntut supaya Korps Penjaga Kearnanan (KPK) -barisan
pengawal pribadi ir. Manusama - dipersenjatai secara legal.
Adapun ir. Manusama sendiri, yang menyebut dirinya "presiden"
RMS, sampai bulan Juli 1974 masih berpura-pura tidak tahu-menahu
tentang persenjataan para pemuda itu. Waktu itu di terowongan IJ
di Amsterdam baru saja ada 9 pemuda Maluku ditahan polisi,
karena membawa-bawa 2 senapan mesin, 4 pucuk pistol lengkap
dengan amunisinya. Pemuda-pemuda itu mengaku bahwa mcreka
termasuk pengawal pribadi ir. Manusama, dan setelah bertugas di
flat "presiden"nya sedang menuju ke rumah mereka di Friese
Marum. Komentar ir. Manusama waktu itu: "Ini meninlbulkan kesan
pada masyarakat Belanda lahwa setiap orang Maluku keliling
dengan senjata api. Padahal tentu saja itu tidak benar. Paling
banter hanya ada segelintir yang puny. senjata. Itu pun bukan
untuk maksud-maksud buruk, tapi sekedar untuk bela diri".
Siaran TV
Sebelum peristiwa pembajakan awal Desember lalu, masalah itu
belum banyak disoroti oleh pemerintah dan parlemen Belanda.
Masalah ini pernal ditanyakan oleh anggota parlemen dari partai
VVD, Geertsema, 4 tahun yang lalu. Sekretaris negara bidang
Kehakiman waktu itu, Wiersma, memanr menyatakan bahwa
organisasi-organisasi "para-militer" Maluku Selatan ilu perlu
ditindak. Namun terbentur pada tafsiran undang-undang yang
melarang organisasi sejenis itu, tertanggal 22 April 1855. 20
Januari tahun lalu hal itu diingatkan lagi oleh 2 politisi VVD
lainnya, Keja dan Geurtsen, gara-gara siaran TV yang
mempertontonkan latihan kemiliteran kelompok-kelompok pemuda
Maluku Selatan di Negeri Belanda. 4 bulan kemudian baru
keluar jawaban dari pemerintah, lewat surat. Menanggapi siaran
TV itu, Menteri Kehakiman Van Agt dalam suratnya tanggal 14 Mei
1975 menjelaskan bahwa kelompok pemuda Maluku Selatan itu
tergolong dalam organisasi yang terlarang menurut UU tentang
Korps-Korps Pertahanan.
Namun tanpa mengambil tindakan apa-apa, Menteri Van Agt hanya
meminta pengawasan polisi dan aparat kementeriannya terhadap
organisasi-organisasi Maluku Selatan itu. Sebelumnya, pada
tanggal 22 Januari 1975 Kementerian Kebudayaan, Rekreasi &
Sosial (CRM) bersanla sebuah komisi tetap parlemen Belanda telah
mengundang 2 kelompok Maluku Selatan untuk berapat dalam ruang
tertutup secara bergiliran. Kelompok pertama yang
pro-Indonesia, sangat menekankan bahaya pemuda-pemuda Maluku
Selatan yang bersenjata itu. Namun terhadap kelompok kedua yang
pro RMS anggota-anggota parlemen itu kabarnya tidak mengusut
lebih jauh seberapa kuat persenjataan mereka dan apa
sesungguhnya peranan "hansip" dan "pasukan pengawal" mereka.
Baru setelah insiden di Beilen di mana tiga orang Belanda
ditembak mati oleh pemuda-pemuda berandal ini. Kementerian
Kehakiman Belanda memutuskan untuk membentuk kelompok studi yang
bakal mempelajari cara-cara menanrani organisasi-organisasi
bersenjata Maluku Selatan di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini