POLITIK, di negeri seluas 5700 KmÿFD itu, ternyata tidak ju~ga mati.
Penguasa tunggal Brunei, Sunan Pirzuda Hassan Bolkiah, memang
rapat betul menjaga ketenangan wilayahnya. Tapi Senin minggu
lalu, Sultan Bolkiah sendiri yang melontarkan suara
keras, dan bergaung di ibukota Bandar Seri Begawan -- serta ibu
kota tetangga, Kuala Lumpur. Berbicara di sidang pembukaan Badan
Legislatif Brunei, Sultan berkata: "Sebuah negara tetangga yang
pada suatu waktu sangat erat dan dekat dengan kita kini secara
terbuka dan terang-terangan mendukung para pengkhianat, dalam
usaha mereka untuk menghidupkan kembali Partai Rakyat Brunei".
Yang dimaksud jelas Malaysia.
Terdengarnya ucapan paling keras sejak ia naik tahta tahun 1968
itu - meskipun isinya tidak baru -- menggambarkan keadaan di
utara Kalimantan kini. Malaysia nampaknya dituduh punya niat
tertentu terhadap Brunei. Pemimpin Partai Rakyat Brunei yang
mencetuskan pemberontakan bersenjata Desember 1962, A.M.
Azahari, kini mendapat tempat yang aman di Malaysia, meskipun
Azahari dulu menentang terbentuknya federasi yang menyatukan
Semenanjung dengan Sabah dan Serawak itu. Tapi niat Azahari
dulu, ialah buat menyatukan Sabah, Serawak dan Brunei sebagai
suatu kesatuan tersendiri terlepas dari kekuasaan Kuala Lumpur.
Ia disokong oleh Indonesia waktu itu, sampai dengan terjadinya
"konfrontasi". Kini keadaan berubah. Brunei sendirian di
tengah-tengah Sabah dan Serawak yang sudah jadi bagian Malaysia,
- tapi dengan kekayaan yang lebih menonjol. Dengan jumlah
penduduk cuma sekitar 150.000 orang, Brunei bagaikan Kuwait di
Asia Tenggara. Kekayaan minyak dan gas alamnya, 95% dari seluruh
ekspor, meletakkan Brunei sebagai negeri minyak ketiga di
seluruh Persemakmuran (setelah Kanada dan Nigeria). Dan Sultan
Bolkiah pun menghubungkan keadaan ini dengan sikap tetangganya:
"Tidak disangsikan lagi, bahwa kondisi kita yan makmur kini
merupakan sumber iri-hati bagi tetangga kita itu".
Limbag
Bagi banyak pengamat, jika memang Malaysia menginginkan sesuatu
dari Brunei, agaknya itu tidak ada hubungannya dengan iri hati.
Dari soal minyaknya saja Brunei tentulah lebih menarik
ketimbang, misalnya, Timor Portugis. Maka siapa saja yang bisa
mengontrol Brunei bakal punya posisi yang lumayan. Meskipun
begitu, belum ada tanda-tanda bahwa Kuala Lumpur punya rencana
mengambil-alih Brunei di masa depan. Tapi hubungan Malasia
dengan Brunei memang berantakan ejak 1964 Ayah Sultan Bolkiah,
Sir Omar Ali Saifuddin, mendesak Perdana Menteri (waktu itu)
Tunku Abdu1 Rahman untuk menyelesaikan klaim Brunei atas daerah
Limbang di Serawak. Malaysia tentu saja menolak sampai kini.
Pertengahan 1974 PM Tun Razak menecam Sir Onlar yan selalu
memperburuk hubungan antara kedua negara. Razak mendukung
Menteri Besar Serawak, Datuk Abdul Rahman, yang membalas
ucapan-ucapan dari Brunei.
Bagi pejabat-pejabat Brunei, soalnya lebih dari sekedar perang
kata. Pertengahan tahun lalu diketemukan pamlet gelap, yang
menurut dugaan lembaa mata-mata atau Special Branch Brunei,
dicetak di Serawak dan diselundupkan dengan restu Datuk Rahman.
Pamflet itu--yang antara lain berhasil dipasang di papan
pengumuman markas pasukan Gurkha - menuntut kemerdekaan,
pemilihan bebas dan penarikan mundur batalion Gurkha dan seluruh
pasukan Inggeris yang menjaga Brunei sejak pemberontakan 1962.
Sebetulnya nada pamflet cukup moderat. Bahkan di dalamnya
dinyatakan "rasa cinta" kepada Sultan Bolkiah. Tapi Special
Branch Brunei yang dipimpin perwira Inggeris, yang suka
mengusir orang dengan segala alasan, asal hisa dianggap
"mengacau", memang bukan badan yang toleran. Dan Brunei masih
berada dalam keadaan "darurat", semenjak usaha pemberontakan
oleh Partai Rakyat yang ditumpas pasukan Inggeris 13 tahun yang
lalu itu. Apalagi dalam Juli 1973 tujuh tahanan politik di kamp
Berakas berhasil melarikan diri, di antaranya Zaini Haji Ahmad,
wakil Azahari.
"Kami Akan Balik"
Kawan-kawan Azahari, para tokoh Partai Rakyat, memang belum
putus asa. Dalam pemilu pertama September 1962 Partai Rakyat
memenangkan seluruh kursi parlemen. Merasa cukup kuat untuk
membebaskan sama sekali Brunei dari Inggeris--yang merupakan
pelindung kesultanan di bidang petahanan sejak perjanjian 1959
- Partai Rakyat dan TNKU (Tentara Nasional Kalimantan Utara)
berontak tiga bulan kemudian. Usaha yang gagal ini tampaknya tak
akan diulangi Azahari dan lawan-kawan. Dalam suatu pernyataan
oktober yang lalu Yasin Afandi, Sekjen Partai Rakyat yang
berada di Kucing Serawak, menyatakan: "Jika Sultan setuju untuk
mengadakan pemilu yan bebas dan demokratis, kami akan balik ke
Brunei". Tokoh partai dalam pengasinan itu menambahkan: "Yang
kami inginkan hanya melepaskan belenggu Inggeris".
Inggeris sendiri belum tentu terlalu bersemangat untuk tetap
pasang belcnggu. Meskipun kepentingan swasta lnggeris bukannya
tak ada: perusahaan minyak Shell oleh Sultan diberi 70%, dari
bagi hasil. Kerajaan ini sejak pertengahan abad ke-l9
pelan-pelan memang diserahkan sendiri oleh para sultan kepada
pedagang-pedagang Inggeris. Penjualan negara tersebut sedikit
berubah jadi resmi dalam perjanjian 1888, di mana segala urusan
diserahkan Sultan kepada Residen Inggeris - kecuali soal agama
Islam dan adat Melayu. Inggeris tentu saja berperan dalam
menimbulkan perubahan. Di tahun 1929 minyak mulai muncrat di
dekat kota Seria. Dan sampai 1941 -- ketika Brunei jatuh ke
tangan Jepang -- kemajuan ekonomi cukup mantap. Kemudian,
pelan-pelan proses "dekolonisasi" berjalan. Perjanjian 1959
menyatakan Inggeris hanya akan mengurus soal pertahanan dan
politik luar negeri. Perjanjian 1971 menyatakan soal pertahanan
jadi tanggungjawab bersama antara pemerintah Brunei dengan
London. Lalu, dalam "Buku Putih" soal pertahanan, yang
diterbitkan di London Maret yang lalu terdapat saran, agar
pasukan Gurkha ditarik sama sekali dari Brunei. Bulan Januari
ini diharapkan Menteri Luar negeri dan Persemakmuran, Lord
Goronway-Roberts, akan tiba di Bandar Seri Begawan buat
membicarakan biaya pasukan Inggeris. London merasakannya terlalu
berat. Dan tentu saja Brunei, yang kaya minyak di masa krisis
energi ini, diharapkan membayar sebagian besar kwitansi tentara
Gurkha di sana. Memang diduga setidaknya sampai akhir 1976
pasukan itu akan tetap di Brunei. Tapi sulit buat Inggeris untuk
menetap sampai tua. Dan jika terjadi persoalan politik dalam
negeri Brunei, Inggeris mustahil bertindak seperti zaman dahulu
ketika masih jadi semacam centeng - dan cukong -- Sultan. Dalam
pemungutan suara di Majelis Umum PBB lopember yang lalu, untuk
mengukuhlian hak Brunei untuk bebas dan menentukan nasib
sendiri, Inggeris bahkan cuma absen. Satu-satunya keberatan
nampaknya hanya terhadap seruan PBB agar Inggeris
menyelenggarakan pemilu yang bebas di Brunei. Sebab London tak
merasa jadipemegangpemerintahan Brunei.
Melihat ini, nasib Brunei di masa depan memang tak begitu cerah
buat Sultan. Kecuali jika ia memberi ruang buat suatu perubahan
sikap--mungkin terhadap Partai Rakyat, dan lebih perlu lagi
terhadap Malaysia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini