Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Intervensi malaysia ?

Sultan pirzuda hassan bolkiah menuduh malaysia menyokong partai rakyat brunei setelah diketemukannya pamflet gelap yang menuntut kemerdekaan, pemilihan bebas dan penarikan tentara gurkha. (ln)

10 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLITIK, di negeri seluas 5700 KmÿFD itu, ternyata tidak ju~ga mati. Penguasa tunggal Brunei, Sunan Pirzuda Hassan Bolkiah, memang rapat betul menjaga ketenangan wilayahnya. Tapi Senin minggu lalu, Sultan Bolkiah sendiri yang melontarkan suara keras, dan bergaung di ibukota Bandar Seri Begawan -- serta ibu kota tetangga, Kuala Lumpur. Berbicara di sidang pembukaan Badan Legislatif Brunei, Sultan berkata: "Sebuah negara tetangga yang pada suatu waktu sangat erat dan dekat dengan kita kini secara terbuka dan terang-terangan mendukung para pengkhianat, dalam usaha mereka untuk menghidupkan kembali Partai Rakyat Brunei". Yang dimaksud jelas Malaysia. Terdengarnya ucapan paling keras sejak ia naik tahta tahun 1968 itu - meskipun isinya tidak baru -- menggambarkan keadaan di utara Kalimantan kini. Malaysia nampaknya dituduh punya niat tertentu terhadap Brunei. Pemimpin Partai Rakyat Brunei yang mencetuskan pemberontakan bersenjata Desember 1962, A.M. Azahari, kini mendapat tempat yang aman di Malaysia, meskipun Azahari dulu menentang terbentuknya federasi yang menyatukan Semenanjung dengan Sabah dan Serawak itu. Tapi niat Azahari dulu, ialah buat menyatukan Sabah, Serawak dan Brunei sebagai suatu kesatuan tersendiri terlepas dari kekuasaan Kuala Lumpur. Ia disokong oleh Indonesia waktu itu, sampai dengan terjadinya "konfrontasi". Kini keadaan berubah. Brunei sendirian di tengah-tengah Sabah dan Serawak yang sudah jadi bagian Malaysia, - tapi dengan kekayaan yang lebih menonjol. Dengan jumlah penduduk cuma sekitar 150.000 orang, Brunei bagaikan Kuwait di Asia Tenggara. Kekayaan minyak dan gas alamnya, 95% dari seluruh ekspor, meletakkan Brunei sebagai negeri minyak ketiga di seluruh Persemakmuran (setelah Kanada dan Nigeria). Dan Sultan Bolkiah pun menghubungkan keadaan ini dengan sikap tetangganya: "Tidak disangsikan lagi, bahwa kondisi kita yan makmur kini merupakan sumber iri-hati bagi tetangga kita itu". Limbag Bagi banyak pengamat, jika memang Malaysia menginginkan sesuatu dari Brunei, agaknya itu tidak ada hubungannya dengan iri hati. Dari soal minyaknya saja Brunei tentulah lebih menarik ketimbang, misalnya, Timor Portugis. Maka siapa saja yang bisa mengontrol Brunei bakal punya posisi yang lumayan. Meskipun begitu, belum ada tanda-tanda bahwa Kuala Lumpur punya rencana mengambil-alih Brunei di masa depan. Tapi hubungan Malasia dengan Brunei memang berantakan ejak 1964 Ayah Sultan Bolkiah, Sir Omar Ali Saifuddin, mendesak Perdana Menteri (waktu itu) Tunku Abdu1 Rahman untuk menyelesaikan klaim Brunei atas daerah Limbang di Serawak. Malaysia tentu saja menolak sampai kini. Pertengahan 1974 PM Tun Razak menecam Sir Onlar yan selalu memperburuk hubungan antara kedua negara. Razak mendukung Menteri Besar Serawak, Datuk Abdul Rahman, yang membalas ucapan-ucapan dari Brunei. Bagi pejabat-pejabat Brunei, soalnya lebih dari sekedar perang kata. Pertengahan tahun lalu diketemukan pamlet gelap, yang menurut dugaan lembaa mata-mata atau Special Branch Brunei, dicetak di Serawak dan diselundupkan dengan restu Datuk Rahman. Pamflet itu--yang antara lain berhasil dipasang di papan pengumuman markas pasukan Gurkha - menuntut kemerdekaan, pemilihan bebas dan penarikan mundur batalion Gurkha dan seluruh pasukan Inggeris yang menjaga Brunei sejak pemberontakan 1962. Sebetulnya nada pamflet cukup moderat. Bahkan di dalamnya dinyatakan "rasa cinta" kepada Sultan Bolkiah. Tapi Special Branch Brunei yang dipimpin perwira Inggeris, yang suka mengusir orang dengan segala alasan, asal hisa dianggap "mengacau", memang bukan badan yang toleran. Dan Brunei masih berada dalam keadaan "darurat", semenjak usaha pemberontakan oleh Partai Rakyat yang ditumpas pasukan Inggeris 13 tahun yang lalu itu. Apalagi dalam Juli 1973 tujuh tahanan politik di kamp Berakas berhasil melarikan diri, di antaranya Zaini Haji Ahmad, wakil Azahari. "Kami Akan Balik" Kawan-kawan Azahari, para tokoh Partai Rakyat, memang belum putus asa. Dalam pemilu pertama September 1962 Partai Rakyat memenangkan seluruh kursi parlemen. Merasa cukup kuat untuk membebaskan sama sekali Brunei dari Inggeris--yang merupakan pelindung kesultanan di bidang petahanan sejak perjanjian 1959 - Partai Rakyat dan TNKU (Tentara Nasional Kalimantan Utara) berontak tiga bulan kemudian. Usaha yang gagal ini tampaknya tak akan diulangi Azahari dan lawan-kawan. Dalam suatu pernyataan oktober yang lalu Yasin Afandi, Sekjen Partai Rakyat yang berada di Kucing Serawak, menyatakan: "Jika Sultan setuju untuk mengadakan pemilu yan bebas dan demokratis, kami akan balik ke Brunei". Tokoh partai dalam pengasinan itu menambahkan: "Yang kami inginkan hanya melepaskan belenggu Inggeris". Inggeris sendiri belum tentu terlalu bersemangat untuk tetap pasang belcnggu. Meskipun kepentingan swasta lnggeris bukannya tak ada: perusahaan minyak Shell oleh Sultan diberi 70%, dari bagi hasil. Kerajaan ini sejak pertengahan abad ke-l9 pelan-pelan memang diserahkan sendiri oleh para sultan kepada pedagang-pedagang Inggeris. Penjualan negara tersebut sedikit berubah jadi resmi dalam perjanjian 1888, di mana segala urusan diserahkan Sultan kepada Residen Inggeris - kecuali soal agama Islam dan adat Melayu. Inggeris tentu saja berperan dalam menimbulkan perubahan. Di tahun 1929 minyak mulai muncrat di dekat kota Seria. Dan sampai 1941 -- ketika Brunei jatuh ke tangan Jepang -- kemajuan ekonomi cukup mantap. Kemudian, pelan-pelan proses "dekolonisasi" berjalan. Perjanjian 1959 menyatakan Inggeris hanya akan mengurus soal pertahanan dan politik luar negeri. Perjanjian 1971 menyatakan soal pertahanan jadi tanggungjawab bersama antara pemerintah Brunei dengan London. Lalu, dalam "Buku Putih" soal pertahanan, yang diterbitkan di London Maret yang lalu terdapat saran, agar pasukan Gurkha ditarik sama sekali dari Brunei. Bulan Januari ini diharapkan Menteri Luar negeri dan Persemakmuran, Lord Goronway-Roberts, akan tiba di Bandar Seri Begawan buat membicarakan biaya pasukan Inggeris. London merasakannya terlalu berat. Dan tentu saja Brunei, yang kaya minyak di masa krisis energi ini, diharapkan membayar sebagian besar kwitansi tentara Gurkha di sana. Memang diduga setidaknya sampai akhir 1976 pasukan itu akan tetap di Brunei. Tapi sulit buat Inggeris untuk menetap sampai tua. Dan jika terjadi persoalan politik dalam negeri Brunei, Inggeris mustahil bertindak seperti zaman dahulu ketika masih jadi semacam centeng - dan cukong -- Sultan. Dalam pemungutan suara di Majelis Umum PBB lopember yang lalu, untuk mengukuhlian hak Brunei untuk bebas dan menentukan nasib sendiri, Inggeris bahkan cuma absen. Satu-satunya keberatan nampaknya hanya terhadap seruan PBB agar Inggeris menyelenggarakan pemilu yang bebas di Brunei. Sebab London tak merasa jadipemegangpemerintahan Brunei. Melihat ini, nasib Brunei di masa depan memang tak begitu cerah buat Sultan. Kecuali jika ia memberi ruang buat suatu perubahan sikap--mungkin terhadap Partai Rakyat, dan lebih perlu lagi terhadap Malaysia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus