Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kekuasaan dua dekade Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan akan berlanjut setelah menang dalam pemilihan umum putaran kedua pada Minggu, 28 Mei 2023. Terkenal akan populisme yang agresif dan pembentukan kembali undang-undang untuk konsolidasi kekuasaan, Erdogan kini melihat masa jabatan lima tahun ke depan sebagai kekhawatiran yang berkelanjutan tentang arah dan demokrasi negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sang petahana berhasil meraih sekitar 52,14 persen suara melawan Kemal Kilicdaroglu. Pada pidato kemenangan di Istana Kepresidenan Ankara, Erdogan menyerukan kemenangannya atas nama bangsa Turki. Hal yang lantas menjadi fokus saat ini adalah kondisi demokrasi negara tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Turki telah memainkan peran yang semakin kuat dan terkadang kontroversial di panggung global sebagai anggota utama NATO dan kekuatan militer utama di Laut Hitam. Namun di dalam negeri, negara ini masih menghadapi inflasi yang melonjak, respons lamban yang sangat dikritik terhadap gempa Bumi besar Februari lalu, serta ancaman pemerintahan otoriter.
Lantas, apa yang sebenarnya menjadi kunci kemenangan Erdogan di Pemilu Turki 2023? Simak penjabaran berikut dilansir dari npr.org.
1. Propaganda Stabilitas Negara
Ia memimpin kampanye yang memecah belah, memanfaatkan ketakutan publik akan ketidakstabilan pasca-upaya kudeta 2016 dan berbagai konflik. Ia menuduh lawannya memiliki hubungan dengan militan Kurdi yang melakukan serangan terhadap pasukan keamanan Turki di wilayah tenggara. Ia juga mengingatkan orang-orang tentang perang saudara yang sedang berlangsung di negara tetangga, Suriah. Erdogan menggunakan retorika religius dan nasionalis dalam janji untuk menjadikan Turki sebagai kekuatan militer dan industri global, bahkan menggunakan mobil listrik buatan dalam negeri pada aktivitas kampanyenya.
Itu semua tampaknya membantu dalam mengatasi ketidakpuasan yang meluas terhadap krisis ekonomi penyebab inflasi tinggi dan melemahnya mata uang (diperparah oleh penekanan Erdogan untuk mempertahankan suku bunga rendah). Penegakan aturan bangunan yang buruk dari pemerintah dan respons lamban terhadap gempa Februari masih disalahkan oleh banyak orang atas tingginya angka kematian—sekitar 50.000 nyawa hilang di Turki.
2. Kenangan Elitisme Pemerintahan Sebelumnya
Dua dekade lalu, Erdogan mulai menjabat sebagai pendukung kelas pekerja dan konservatif religius yang merasa diabaikan dan ditekan oleh pemerintahan sekuler. Selama bertahun-tahun, wanita berjilbab pernah dilarang untuk bersekolah maupun bekerja. Erdogan pun mengubah undang-undang itu dan hingga hari ini, banyak orang terutama wanita konservatif, melihat dirinya sebagai seorang penolong.
Di sebuah tempat pemungutan suara di Istanbul, seorang ibu dan anak berjilbab memberikan suara mereka untuk Erdogan. Mereka tak hanya berpikir kalau Erdogan akan membuat sesuatu yang lebih baik, tetapi juga merasa dihormati atas pilihan dan kebebasan mereka. Hal itu semakin terbukti ketika ada dua perempuan pendukung oposisi melontarkan hinaan tentang jilbab.
3. “Kuasai” Demokrasi Turki
Kelangsungan hidup demokrasi di Turki masih dipertaruhkan. Bagi jutaan orang yang memilih oposisi, Erdogan dipandang sebagai seorang otoriter. Ia telah memengaruhi lembaga pengadilan, memonopoli media, dan memenjarakan yang dianggap lawan (termasuk jurnalis dan kritikus di media sosial). Ia juga dituduh membiarkan korupsi berkembang—menyebabkan konstruksi yang jelek dan mudah runtuh akibat gempa. Ia menggantikan wali kota oposisi meskipun mereka memenangkan pemilihan lokal.
Posisi Erdogan menjadikan pemilu ini pertarungan yang tidak adil. Ia memiliki kendali hampir total atas media penyiaran Turki. Sementara Erdogan sering tampil di televisi, Kilicdaroglu hanya bisa menggunakan media sosial dalam berkampanye. Erdogan juga memanfaatkan sumber daya pemerintah untuk membagikan keuntungan kepada jutaan warga dan menaikkan upah minimum beberapa kali dalam setahun terakhir.
Namun, Pemilu Turki 2023 tampaknya telah menggelorakan budaya demokrasi negara itu. Jumlah pemilih tinggi (84 persen) dan banyak orang Turki mengajukan diri sebagai saksi warga untuk memastikan keamanan surat suara. Banyak yang bersumpah untuk melanjutkan upaya menekan penyalahgunaan kekuasaan.
Ada kekhawatiran bahwa Erdogan akan terus memupuk kekuasaan tunggal. Banyak perempuan dan aktivis LGBTQ khawatir kebebasan mereka akan semakin menurun dalam lima tahun ke depan. Selama kampanyenya, Erdogan melontarkan beberapa komentar yang menyerang komunitas LGBTQ Turki. Organisasi dan aktivis HAM pun menyerukan persatuan untuk melindungi kebebasan sipil.
4. Dukungan Pengungsi Suriah
Banyak pengungsi Suriah melihat kemenangan Erdogan sebagai sebuah kelegaan. Hampir 4 juta pengungsi Suriah di Turki turut merayakannya. Satu dekade lalu, Erdogan mengawasi kebijakan pintu terbuka bagi para pengungsi yang melarikan diri dari perang di negara tetangga meskipun hidup kebanyakan pengungsi masih sulit.
Saat ekonomi Turki goyah, penduduk setempat mulai melihat pengungsi Suriah sebagai beban. Politikus oposisi—termasuk Kilicdaroglu—mengambinghitamkan pengungsi dan kebijakan Erdogan, berujung pada peningkatan diskriminasi dan serangan kebencian. Kilicdaroglu menjalankan kampanye anti-pengungsi secara terbuka. Janjinya untuk mengirim semua warga Suriah kembali ke negara asal adalah salah satu slogan yang paling sering diulang.
Erdogan juga menyerah pada tekanan publik tentang masalah pengungsi. Sementara ia mengutuk Kilicdaroglu karena bahasanya yang menghasut, pemerintah Turki telah mendeportasi ratusan pria Suriah. Erdogan sendiri berkata akan membangun perumahan di bagian timur laut Suriah yang dikuasai Turki untuk “memukimkan kembali” 1 juta pengungsi secara sukarela. Banyak pengungsi masih melihat Erdogan sebagai orang yang lebih bersimpati kepada mereka.
5. Seimbang Timur dan Barat dalam Isu Internasional
Turki adalah anggota NATO, duduk dekat dengan perang Ukraina dan Suriah, dan sering membuat frustasi kekuatan Barat dalam proses negosiasi konflik tersebut.
Erdogan telah mempertahankan hubungan dekat dengan Rusia dan menolak dalam partisipasi sanksi Barat. Secara bersamaan, ia juga memasok senjata ke Ukraina. Erdogan pada akhirnya juga menyetujui keanggotaan Swedia di NATO—yang penting bagi Barat untuk melawan Rusia—dengan imbalan pesawat tempur F-16 dari Amerika Serikat (AS). Ia pun menunjukkan kegunaan Turki bagi Barat dalam membantu menengahi kesepakatan dengan PBB antara Ukraina dan Rusia dalam ekspor biji-bijian Ukraina melalui blokade Rusia.
Sementara itu, Erdogan juga memperluas jangkauan dan kendali militer Turki atas wilayah-wilayah di Suriah Utara atas keprihatinan terhadap kelompok-kelompok Kurdi yang bersekutu dengan AS dalam perang berkelanjutan melawan sisa-sisa ISIS. Lima tahun ke depan, masyarakat mungkin akan melihat kelanjutan Erdogan dengan pendekatan transaksionalnya terhadap kebijakan luar negeri.
Analis politik Selim Koru mengatakan bahwa tak ada alasan untuk berpikir jika Erdogan akan berbalik arah atau melunakkan pendekatannya. Ada semacam blok Barat yang geopolitiknya selaras secara luas dan ingin Turki berada di kubunya. Turki pada dasarnya menolak dan tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam penyelarasan geopolitik apa pun kalau bukan negara itu yang menjadi pemimpinnya.
Pilihan editor: PR Erdogan setelah Jadi Presiden 3 Periode: Perpecahan Bangsa sampai Kecurigaan NATO
SYAHDI MUHARRAM