Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar 5 ribu buruh pabrik garmen bergaji rendah di Bangladesh dipecat oleh para bos mereka setelah ambil bagian dari aksi mogok kerja menuntut kenaikan upah. Mogok kerja itu, dilakukan pada awal Januari 2019 dan berubah menjadi aksi kekerasan. Para buruh pabrik garmen ini rata-rata diberi gaji US$95 atau sekitar Rp 1,3 juta per bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sejauh ini pabrik-pabrik telah memecat 4.899 buruh karena aksi mogok kerja yang berubah menjadi kerusuhan,” kata seorang aparat kepolisian, yang tak mau dipublikasi identitasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ribuan buruh pabrik garmen di Bangladesh melakukan aksi mogok kerja karena menuntut kenaikan upah. Sumber: Mohammad Ponir Hossain/Reuters/aljazeera.com
Serikat buruh mengatakan jumlah buruh yang kena pecat mendekati 7 ribu orang dan lebih dari 100 buruh ditahan. Kepolisian Bangladesh menolak berkomentar atas tuduhan derasnya penangkapan terhadap para buruh yang berunjuk rasa.
Dikutip dari aljazeera.com, Rabu, 30 Januari 2019, ribuan buruh pabrik garmen di penjuru Bangladesh melakukan mogok kerja dan berdemonstrasi hingga memenuhi jalan-jalan kota. Aksi protes ini berlangsung selama beberapa hari. Mereka yang turun ke jalan kena tembakan peluru karet polisi dan gas air mata saat aparat berusaha membubarkan demonstrasi.
Dalam demonstrasi ini, satu orang buruh tewas dan lebih dari 50 orang luka-luka saat demonstrasi berujung ricuh di kota Ashulia, sebuah kawasan industri di luar ibu kota Dhaka. Di kawasan industri itu, para buruh garmen ini menjahit pakaian untuk merek H&M, Walmart dan banyak lagi merek pakaian terkenal lainnya.
Kepolisian Bangladesh mengatakan ribuan buruh pabrik yang dipecat itu karena diduga terlibat penjarahan dan vandalisme selama aksi mogok kerja berlangsung. Namun serikat buruh menuding pemecatan ini sebagai bentuk intimidasi dan tindakan keras pihak dari pemilik pabrik.