Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) memprotes penempatan tembakau pada kelompok zat adiktif dalam Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan. Tak hanya memprotes, forum diskusi antar ahli keilmuan Islam di PBNU ini menolak dan meminta agar pengaturan soal tembakau dihapus total dalam RUU tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami menolaknya," kata Ketua LBM PBNU Mahbub Ma'afi saat dihubungi, Senin, 8 Mei 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ma'afi, aturan soal tembakau cukup diserahkan ke aturan yang saat ini sudah berlaku saja. Ketentuan yang dimaksud yaitu Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Sikap resmi dari LBM PBNU ini akan segera tertuang dalam rekomendasi yang tengah mereka susun. "Satu dua hari ini akan selesai," kata dia.
Tolak pasal 154
Penolakan ini disampaikan setelah LBM PBNU menggelar bahtsul masail yang diikuti para kiai dan nyai se-Indonesia di Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Purwakarta, Jawa Barat, Sabtu, 6 Mei 2023. Salah satu yang dibahas yaitu soal aturan di Pasal 154 yang menyejajarkan tembakau dengan zat adiktif lain seperti psikotropika, narkotika, dan alkohol.
Para kiai yang hadir dari berbagai daerah pun secara bergantian mengeluarkan argumentasinya. Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU Nur Kholis misalnya, menyoroti nasib para pekerja yang menggantungkan hidupnya di dalam industri tembakau.
Padahal, Nur Kholis mengatakan bahwa undang-undang dibuat harus menjadi sebagai pemecah dari permasalahan sosial. “Nah, masyarakat yang sangat bergantung dengan industri tembakau berjumlah 6 juta jiwa. Di mana letak penyelesaian masalahnya jika 6 juta jiwa ini terancam karena undang-undang ini?” ujar pria yang pernah menjabat Ketua Komnas HAM itu, dikutip dari laman resmi PBNU.
Berikutnya, Katib Syuriyah PBNU Sarmidi Husna juga menyebut pemerintah telah bersikap diskriminatif terhadap produk olahan tembakau.
"Ini membuat kita bertanya-tanya kenapa kok pemerintah begitu diskriminatif? Jangan-jangan karena miras itu mayoritas produk impor?” kata Sarmidi yang juga Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) ini.
Pasal 154 RUU Kesehatan
Dalam draf RUU Kesehatan yang dirilis di laman resmi Kementerian Kesehatan, ada beberapa poin yang diatur dalam Pasal 154 tersebut. Bunyi lengkapnya yaitu sebagai berikut:
(1) Produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan
lingkungan.
(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua bahan atau produk yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi
dirinya dan/atau masyarakat.
(3) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. narkotika;
b. psikotropika;
c. minuman beralkohol;
d. hasil tembakau; dan
e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
(4) Produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a sampai dengan huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan huruf e harus memenuhi standar dan/atau persyaratan
Kesehatan.
(6) Hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dapat berupa:
a. sigaret;
b. cerutu;
c. rokok daun;
d. tembakau iris; dan
e. tembakau padat dan cair yang digunakan untuk rokok elektrik.
(7) Hasil pengolahan zat adiktif lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dapat berwujud padat, cair, atau wujud lainnya yang tidak mengandung hasil tembakau.
Selanjutnya: LBM PBNU bicara soal buruh pabrik
Lebih lanjut, LBM PBNU menilai pasal tersebut secara tidak langsung akan menjadikan para petani tembakau dan seluruh pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) sebagai seorang kriminil layaknya penanam ganja, pemakai, atau bahkan pengedar narkoba. Tak hanya itu, ruang-ruang yang tersedia bagi buruh, pekerja, dan ekosistem IHT dikhawatirkan akan semakin menyempit.
"Penyempitan ruang gerak serta stigmatisasi buruk sebagai dampak yang dikhawatirkan dari adanya RUU Kesehatan ini berbanding terbalik dengan kontribusi IHT terhadap beberapa sektor ekonomi strategis negara,” demikain pernyataan sikap LBM PBNU.
LBM PBNU menilai, industri tembakau lahan strategis dan signifikan bagi lapangan pekerjaan rakyat Indonesia. Mereka mengutip data Kementerian Perindustrian menyebutkan, total tenaga kerja yang terserap dalam industri rokok sebanyak 5,98 juta orang. Angka tersebut terdiri dari 4,28 juta orang bekerja di sektor manufaktur dan industri. Sementara 1,7 juta orang sisanya bekerja di sektor perkebunan.
"Segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) merupakan tumpuan ladang kerja bagi para ibu rumah tangga dan dalam beberapa titik juga banyak ditemui para penyandang disabilitas," demikian bunyi dalam keterangan itu.
Tempo menghubungi Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi soal penolakan PBNU ini, namun belum ada tanggapan hingga berita ini diturunkan.
Sebelumnya, juru bicara Kementerian Kesehatan RI Mohammad Syahril memastikan pemerintah tidak lantas menyamakan perlakuan tembakau dan juga alkohol dengan narkotika serta psikotropika. Maksud dari pengelompokan tersebut hanya dikaitkan dengan zat adiktif yang memiliki unsur ketergantungan jika dikonsumsi.
"Pengelompokan tersebut bukan berarti tembakau dan alkohol diperlakukan sama dengan narkotika dan psikotropika di mana kedua unsur tersebut ada pelarangan ketat dan hukuman pidananya," katanya dalam keterangan tertulis 14 April lalu.
"Narkotika dan psikotropika diatur dalam Undang-Undang khusus. Tembakau dan alkohol tidak akan dimasukkan ke dalam penggolongan narkotika dan psikotropika karena berbeda undang-undangnya," lanjut dia.
Syahril juga membantah kemungkinan pelarangan dan pidana tembakau serta alkohol disamakan dengan ganja dan lainnya. Pengelompokan tembakau dan alkohol sebagai zat adiktif disebutnya juga sudah ada dalam UU Kesehatan yang saat ini berlaku, sehingga tidak benar jika tembakau dan alkohol akan diperlakukan sama dengan narkotika dan psikotropika melalui RUU Kesehatan Omnibus Law.
Pilihan Editor: Kemenkes Imbau Dokter Tak Tinggalkan Pelayanan karena Demo Tolak RUU Kesehatan