Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERDANA Menteri Ethiopia Abiy Ahmed dianugerahi Nobel Perdamaian karena perannya dalam mengakhiri konflik panjang dengan negara tetangganya, Eritrea. Komite Nobel, dalam pengumumannya pada Jumat, 11 Oktober lalu, menyatakan penghargaan ini, “Untuk upayanya mencapai perdamaian dan kerja sama internasional, khususnya inisiatifnya mencari jalan keluar atas konflik perbatasan dengan Eritrea.”
Abiy, yang menjadi perdana menteri sejak April 2018, mengawali kepemimpinannya dengan mengambil keputusan yang berani dengan membebaskan tahanan politik, mengecam praktik penyiksaan, dan membebaskan jurnalis yang dipenjara. Ia juga bertemu dengan oposisi dan masyarakat sipil membahas reformasi. Ia menunjukkan komitmennya terhadap kesetaraan gender dengan mengisi separuh kabinetnya dengan perempuan.
Abiy menyelesaikan konflik Ethiopia dengan Eritrea pada Juni lalu dengan mengumumkan bahwa Ethiopia menghormati putusan Komisi Perbatasan tahun 2000. Komisi menyatakan bahwa Badme, kota yang disengketakan sejak 1998, diserahkan kepada Eritrea. Penolakan Ethiopia atas putusan Komisi inilah yang menyebabkan pertikaian selama dua dekade. Menurut Vox.com, sengketa perbatasan ini menewaskan sekitar 10 ribu orang dan membuat ribuan lainnya mengungsi.
SURIAH
Militer Turki Gempur Rojava
SERANGAN militer Turki terhadap wilayah Kurdistan di timur laut Suriah, yang disebut juga Rojava, hingga Jumat, 11 Oktober lalu, menewaskan sedikitnya 277 orang. Otoritas Turki mengklaim para korban tewas itu merupakan “teroris” anggota Pasukan Demokratik Suriah (SDF).
Turki melancarkan serangan udara di daerah perbatasannya dengan Suriah utara sejak 8 Oktober setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menarik serdadunya dari wilayah yang dikuasai pasukan Kurdi tersebut. Ribuan warga sipil melarikan diri dari perbatasan ketika militer Turki merangsek masuk ke Rojava.
Keputusan Trump menarik pasukan Amerika dari Rojava menuai kecaman global. Selama ini SDF, yang dimotori pasukan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG), adalah kekuatan utama dalam pertempuran melawan milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah. Kerja sama militer Amerika dengan pasukan Kurdi telah sukses menumbangkan ISIS.
MALAYSIA
Undang-Undang Anti-Berita Palsu Dicabut
PARLEMEN Malaysia, setelah melalui perdebatan selama dua hari, akhirnya mencabut Undang-Undang Anti-Berita Palsu, Rabu, 9 Oktober lalu. Sebanyak 92 anggota Dewan Rakyat, majelis rendah negeri itu, memilih untuk menyetip aturan kontroversial tersebut melawan 51 anggota yang menolaknya.
“Berita pencabutan undang-undang yang sarat penyelewengan hak warga negara ini telah ditunggu lama,” kata Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Watch Asia, seperti diberitakan Reuters.
Undang-undang itu disahkan Perdana Menteri Najib Razak hanya beberapa pekan sebelum ia kalah dalam pemilihan umum 2018. Koalisi Pakatan Harapan, yang dipimpin perdana menteri terpilih saat itu, Mahathir Mohamad, telah berjanji membatalkan aturan tersebut.
Berdasarkan undang-undang itu, siapa saja yang menyebarkan apa yang dianggap pemerintah sebagai “berita palsu” dapat dihukum hingga enam tahun penjara. Penyebaran melalui media apa pun, dari media cetak hingga media sosial, juga dapat didenda hingga 500 ribu ringgit (sekitar Rp 1,6 miliar). Para pengamat menganggap Najib membuat aturan ini untuk membungkam para pengkritiknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo