Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Teror di Siang Bolong

SeranganĀ terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto secara menohok telah mempermalukan aparat intelijen dan kepolisian.

12 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Teror di siang bolong

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski gagal, percobaan pembunuhan itu juga membunyikan alarm bahwa sel-sel terorisme masih hidup dan membahayakan.

Wiranto diserang di tempat terbuka, dari jarak dekat, di alun-alun Menes, Pandeglang, Banten, pekan lalu. Penyerangnya bukan penembak jitu yang mengintai dari tempat tersembunyi, melainkan lelaki kerempeng yang cuma berbekal pisau tajam.

Si penyerang, Syahrial Alamsyah alias Abu Rara, menunggu targetnya di belakang polisi. Begitu Wiranto turun dari mobil, secepat kilat dia menerobos pengawalan, lalu menusuk perut mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia itu. Dari rekaman video yang beredar luas, Wiranto dan pengawalnya tampak tak siap menghadapi serangan mendadak itu.

Peristiwa ini jelas mencemaskan. Bila dalam mengamankan pejabat tinggi saja aparat teledor, bagaimana mereka bisa melindungi rakyat biasa. Padahal Kepala Badan Intelijen Negara dan petinggi Kepolisian RI menyatakan Abu Rara sudah lama masuk radar aparat. Informasi intelijen juga menyebutkan Abu Rara dan istrinya, Fitria Diana, adalah anggota Jamaah Ansharud Daulah (JAD) Bekasi, yang disebut terkait dengan jaringan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Aparat intelijen dan kepolisian juga mengklaim sudah memantau pergerakan Abu Rara sejak September lalu, ketika pentolan JAD Bekasi, Fazri Pahlawan alias Abu Zee Ghuroba, ditangkap bersama sejumlah pengikutnya. Aparat bahkan tahu bahwa Abu Rara belakangan sibuk mengumpulkan senjata tajam—tindakan yang bisa dibaca sebagai persiapan melakukan serangan. Sungguh aneh jika aparat tidak mengambil tindakan, sementara undang-undang terorisme yang baru menyebutkan mereka yang melakukan persiapan, percobaan, bahkan sekadar pemufakatan untuk melakukan teror sudah bisa ditindak.

Penyerang pejabat negara harus dihukum. Jaringan terorisme di belakang mereka juga mesti diberantas. Tapi pengejaran terhadap jaringan teroris hendaknya tetap menghormati hak asasi manusia. Berkaca pada pengalaman dalam merespons beberapa serangan terorisme sebelumnya, perburuan jaringan teroris yang tak memperhatikan hak asasi malah menjadi teror baru bagi masyarakat.

Pemberantasan terorisme tak cukup dengan penegakan hukum atau pemulihan keamanan semata. Apalagi rekrutmen dan pengorganisasian teroris belakangan ini berlangsung dalam sel-sel kecil yang otonom. Jaringan teroris kini lebih sulit dipetakan. Terorisme pun menjadi kian berbahaya karena kian tidak kasatmata. Dengan analisis intelijen yang baik sekalipun, pencegahan serangan terorisme tak akan 100 persen berhasil.

Dalam konteks ini, yang penting diperhatikan adalah mengubah aspirasi ideologis anggota jaringan teroris serta memutus jaringan mereka. Upaya deradikalisasi paham keagamaan mantan teroris harus menjadi perhatian serius. Memang proses deradikalisasi membutuhkan waktu panjang—kalah cepat oleh radikalisasi yang bisa dipicu pelbagai kondisi dan peristiwa. Sampai di sini, deradikalisasi mesti dilaksanakan bersamaan dengan upaya memerangi kemiskinan dan ketidakadilan sosial, yang dipercaya menjadi salah satu penyebab radikalisme. Abu Rara, misalnya, ditengarai menjadi makin radikal setelah keluarganya di Medan menjadi korban penggusuran.

Karena itu, perang melawan terorisme juga harus memperhatikan aspek sosial dan ekonomi. Mereka yang sempat terpapar paham radikal, setelah disadarkan, mesti mendapat kesempatan untuk bisa kembali hidup normal di tengah masyarakat. Mereka juga harus mendapat peluang berusaha agar bisa hidup layak secara ekonomi. Tanpa kesempatan itu, mantan anggota jaringan teroris rawan kembali ke pangkuan jaringan lama atau malah membentuk jaringan teroris baru.

Sembari melanjutkan upaya deradikalisasi, pemerintah mesti menjadikan penyerangan terhadap Wiranto sebagai momentum untuk membenahi lembaga intelijen dan pasukan antiteror. Keduanya adalah lembaga negara, bukan lembaga pemerintah. Keluhan bahwa badan intel terlalu sibuk memetakan dan memberangus oposisi harus menjadi perhatian. Penyalahgunaan wewenang yang diduga dilakukan mereka, termasuk penggunaan perangkat intelijen untuk menjatuhkan lawan politik—juga pesaing dalam memperebutkan jabatan publik—hendaknya dihentikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus