BENAR juga Edmund Burke, fikir Theodore H. White. Berhubung pers
itu "Kekuatan ke-4" dalam negara di samping Legislatif,
Eksekutif, dan Yudikatif, buat apa pilih yang lain? Oleh sebab
itu, wartawan majalah Time dan koran The New York Times ini
tidak berselera jadi anggota DPR atau Senat. Tidak juga jadi
Hakim atau Jaksa. Bahkan jadi Gubernur atau Presiden sekalipun.
Kalau begitu halnya, apa yang diperbuatnya tatkala Pemilu AS
yang berlangsung 4 tahun sekali itu? Mendingan bikin buku saja.
Maka keluarlah buku The Making of The President tahun-tahun
1960, 1964, 1968, dan 1972. Untuk Pemilu 1976 ini pun, Theodore
H. White sudah siap-siap. Barangkali dia hilir-mudik mendekati
Ronald Reagan, Jimmy Carter, atau Presiden Ford. Persis seperti
dia lakukan di tahun 1960 terhadap John F. Kennedy dan Richard
lixon, atau di tahun 1964 terhadap Lyndon B. Johnson dan Barry
M. Goldwater, atau di tahun 1968 terhadap Richard Nixon dan
Hubert Humprey. Dan tatkala Nixon jatuh, dia tak lupa bikin
edisi ekstra Breach of Faith, The Fall of Richard Nixon.
Mau dibilang hasil kerja profesi bisa, mau dibilang hasil
obyekan apalagi. Berjuta-juta eksemplar bukunya laku terjual.
White berkesimpulan, biarpun "Kekuatan ke-4" namanya, jangan
sekali-kali mengecilkan arti rezeki. Naiknya seorang Presiden
atau turunnya seorang Presiden, sama-sama komersiil, asal mampu
diungkapkan secara baik.
DI NEGERI KITA
Di negeri kita ini, bagi yang tidak berselera jadi anggota DPR.
atau bagi yang berselera tapi tak tahu bagaimana jalannya, dapat
pula bergiat dalam Pemilu menurut bakat dan kesempatan
masing-masing. Lapangan tersedia luas, barangkali jauh lebih
luas dari di Amerika sendiri. Ini berkat sifatnya yang masih
sedang berkembang, sehingga hampir tiap jengkal menanti tangan
turun meracik.
Barangsiapa kepingin jadi Theodore H. White "melayu", boleh
mulai berkiprah sejak kemarin-kemarin, yang bermula dari
lika-liku lahirnya UU No.15 tahun 1969 tentang Pemilu dan UU
No.4 tahun 1975 yang menyempurnakan UU terdahulu. Memang, buku
Pemilu AS enggan mengunyah-ngunyah pasal perundang-undangan,
khawatir pembaca bisa tertegun-tegun. Tapi, buat negeri yang
gemar rule of law seperti Indonesia, menyuguhkan hal-hal macam
itu belum bisa diremehkan.
Selesai itu, giliran orang-orang. Buat buku Pemilu 1976 ini,
yang pertama-tama mesti digali pandangan-pandangannya adalah
para mahasiswa dan pemuda-pemuda tanggung. Makin banyak digali
makin baik. Siapa tahu, pendapat-pendapat mereka aneh-aneh,
sesuatu yang amat berharga buat buku yang baik dan jujur.
Sesudah itu baru gelandangan dan pegawai negeri tingkat bawah.
Pemungkasnya barulah mencatat mutiara-mutiara fikiran dari Amir
Murtono. Sanusi Hardjadinata, dan jangan lupa Mintaredja.
Apabila Mintaredja dirasa kurang cukup, dipersilahkan ke Idham
halid. Bisa ditanyakan, bagaimana caranya menyusun daftar calon
dengan sepotong pensil.
NONSENS
Kemudian kampanye. Ini saat yang paling meriah, sarat janji dan
sumpah, yang apabila segalanya terbukti, akan merubah negeri ini
menjadi semacam cerita dongeng. Tak jadi apa, asal teliti
memilih, mana yang layak dicatat dan mana yang tidak. Theodore
H. White sendiri, tatkala Pemilu AS tahun 1968, dari 80 buku
penuh catatan, tidak lebih dari 10-nya yang bisa terpakai.
Sisanya nonsens.
Sedangkan bagi yang kurang berminat dalam hal tulis-menulis,
tidak usah memaksa diri. Boleh menaruh minat, misalnya, pada
pesanan cetak-mencetak, atau bikin kotak-suara lengkap dengan
koncinya sekaligus. Bukankah tanpa kotak-suara, sukar terjamin
sifat rahasia dari suatu Pemilu? Apabila kerja ini dipandang
terlampau enteng, bisa melego barang-barang yang lebih berbobot.
seperti mobil atau motorbot, mesin ketik atau hitung, menurut
saluran yang tidak bisa ditulis di sini.
Bagi mereka yang tidak punya perhatian terhadap
ngobyek-mengobyek, masih tersedia satu lowongan yang paling
terhormat, yaitu jadi penyoblos saja. Justru, penyoblos inilah
jenis yang paling penting dari apapun. Coba saja bayangkan.
andaikata tidak ada mereka ini, apa yang bakal terjadi? Gedung
DPR akan tampak lengang, karena yang duduk cuma anggota-anggota
angkatan yang tersipu-sipu. MPR akan kosong melompong. Lantas
siapa pula yang akan pilih Presiden serta wakil? Berikutnya akan
lebih mencemaskan lagi: kalau tidak ada Presiden, siapa pula
yang bisa angkat Menteri? Angkat Dirjen? Angkat Gubernur? Angkat
petugas pajak? Angkat masinis? Bisa kiamat!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini