Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ngobyek Pemilu

Orang-orang melakukan kegiatan menurut bakat dan kesempatan masing-masing dalam pemilu. bisa menulis buku pemilu 1976, digali dari pandangan-pandangan mahasiswa, pegawai negeri, dsb, membuat kotak suara pun jadi.

24 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENAR juga Edmund Burke, fikir Theodore H. White. Berhubung pers itu "Kekuatan ke-4" dalam negara di samping Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif, buat apa pilih yang lain? Oleh sebab itu, wartawan majalah Time dan koran The New York Times ini tidak berselera jadi anggota DPR atau Senat. Tidak juga jadi Hakim atau Jaksa. Bahkan jadi Gubernur atau Presiden sekalipun. Kalau begitu halnya, apa yang diperbuatnya tatkala Pemilu AS yang berlangsung 4 tahun sekali itu? Mendingan bikin buku saja. Maka keluarlah buku The Making of The President tahun-tahun 1960, 1964, 1968, dan 1972. Untuk Pemilu 1976 ini pun, Theodore H. White sudah siap-siap. Barangkali dia hilir-mudik mendekati Ronald Reagan, Jimmy Carter, atau Presiden Ford. Persis seperti dia lakukan di tahun 1960 terhadap John F. Kennedy dan Richard lixon, atau di tahun 1964 terhadap Lyndon B. Johnson dan Barry M. Goldwater, atau di tahun 1968 terhadap Richard Nixon dan Hubert Humprey. Dan tatkala Nixon jatuh, dia tak lupa bikin edisi ekstra Breach of Faith, The Fall of Richard Nixon. Mau dibilang hasil kerja profesi bisa, mau dibilang hasil obyekan apalagi. Berjuta-juta eksemplar bukunya laku terjual. White berkesimpulan, biarpun "Kekuatan ke-4" namanya, jangan sekali-kali mengecilkan arti rezeki. Naiknya seorang Presiden atau turunnya seorang Presiden, sama-sama komersiil, asal mampu diungkapkan secara baik. DI NEGERI KITA Di negeri kita ini, bagi yang tidak berselera jadi anggota DPR. atau bagi yang berselera tapi tak tahu bagaimana jalannya, dapat pula bergiat dalam Pemilu menurut bakat dan kesempatan masing-masing. Lapangan tersedia luas, barangkali jauh lebih luas dari di Amerika sendiri. Ini berkat sifatnya yang masih sedang berkembang, sehingga hampir tiap jengkal menanti tangan turun meracik. Barangsiapa kepingin jadi Theodore H. White "melayu", boleh mulai berkiprah sejak kemarin-kemarin, yang bermula dari lika-liku lahirnya UU No.15 tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No.4 tahun 1975 yang menyempurnakan UU terdahulu. Memang, buku Pemilu AS enggan mengunyah-ngunyah pasal perundang-undangan, khawatir pembaca bisa tertegun-tegun. Tapi, buat negeri yang gemar rule of law seperti Indonesia, menyuguhkan hal-hal macam itu belum bisa diremehkan. Selesai itu, giliran orang-orang. Buat buku Pemilu 1976 ini, yang pertama-tama mesti digali pandangan-pandangannya adalah para mahasiswa dan pemuda-pemuda tanggung. Makin banyak digali makin baik. Siapa tahu, pendapat-pendapat mereka aneh-aneh, sesuatu yang amat berharga buat buku yang baik dan jujur. Sesudah itu baru gelandangan dan pegawai negeri tingkat bawah. Pemungkasnya barulah mencatat mutiara-mutiara fikiran dari Amir Murtono. Sanusi Hardjadinata, dan jangan lupa Mintaredja. Apabila Mintaredja dirasa kurang cukup, dipersilahkan ke Idham halid. Bisa ditanyakan, bagaimana caranya menyusun daftar calon dengan sepotong pensil. NONSENS Kemudian kampanye. Ini saat yang paling meriah, sarat janji dan sumpah, yang apabila segalanya terbukti, akan merubah negeri ini menjadi semacam cerita dongeng. Tak jadi apa, asal teliti memilih, mana yang layak dicatat dan mana yang tidak. Theodore H. White sendiri, tatkala Pemilu AS tahun 1968, dari 80 buku penuh catatan, tidak lebih dari 10-nya yang bisa terpakai. Sisanya nonsens. Sedangkan bagi yang kurang berminat dalam hal tulis-menulis, tidak usah memaksa diri. Boleh menaruh minat, misalnya, pada pesanan cetak-mencetak, atau bikin kotak-suara lengkap dengan koncinya sekaligus. Bukankah tanpa kotak-suara, sukar terjamin sifat rahasia dari suatu Pemilu? Apabila kerja ini dipandang terlampau enteng, bisa melego barang-barang yang lebih berbobot. seperti mobil atau motorbot, mesin ketik atau hitung, menurut saluran yang tidak bisa ditulis di sini. Bagi mereka yang tidak punya perhatian terhadap ngobyek-mengobyek, masih tersedia satu lowongan yang paling terhormat, yaitu jadi penyoblos saja. Justru, penyoblos inilah jenis yang paling penting dari apapun. Coba saja bayangkan. andaikata tidak ada mereka ini, apa yang bakal terjadi? Gedung DPR akan tampak lengang, karena yang duduk cuma anggota-anggota angkatan yang tersipu-sipu. MPR akan kosong melompong. Lantas siapa pula yang akan pilih Presiden serta wakil? Berikutnya akan lebih mencemaskan lagi: kalau tidak ada Presiden, siapa pula yang bisa angkat Menteri? Angkat Dirjen? Angkat Gubernur? Angkat petugas pajak? Angkat masinis? Bisa kiamat!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus