Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan setelan jas licin, Senator Antonio Trillanes IV melenggang keluar dari sel penjara. Tatanan rambutnya tetap klimis seperti empat jam sebelumnya, saat ia digelandang aparat menuju kantor polisi Makati di Metro Manila, Filipina, Selasa dua pekan lalu.
Trillanes tak perlu mendekam lama dalam kurungan. Pria 47 tahun ini segera bebas setelah membayar uang jaminan 200 ribu peso atau sekitar Rp 55,5 juta. Politikus Partai Magdalo tersebut langsung meluncur kembali ke kantornya di gedung Senat pukul 5 sore itu.
Wajah Trillanes masih terlihat segar. Ia sesekali melempar senyum kepada orang-orang yang menyambutnya. “Kepolisian sangat profesional. Mereka memperlakukan saya dengan baik,” katanya di Senat.
Trillanes sudah lama tak pulang ke rumah. Sejak 4 September lalu, ia memilih ngumpet di kantor Senat. Dia makan, tidur, dan bekerja di sana. Ini terjadi sejak Presiden Rodrigo Duterte mengumumkan pencabutan amnestinya. Dengan bersembunyi di kantor, Trillanes yakin tak bakal ditangkap karena ia punya kekebalan hukum sebagai senator.
Namun keyakinan itu pupus. Sejak pengampunannya dicopot Duterte, Trillanes tidak lagi jadi orang bebas. Ia bisa ditangkap setelah pengadilan regional Makati mengabulkan permohonan Departemen Kehakiman untuk menahannya.
Trillanes menghadapi dakwaan makar dan pemberontakan. Posisinya sebagai senator tak bisa melindunginya. “Semua lembaga penegak hukum dapat menahannya,” ucap Menteri Kehakiman Menardo Guevarra, seperti dikutip Inquirer.
Trillanes adalah senator oposisi kedua di era Duterte yang merasakan dinginnya tembok penjara. Sebelumnya, Duterte memenjarakan Leila Magistrado de Lima, senator yang vokal terhadap praktik pembunuhan ekstrayudisial dalam kampanye antinarkotik Duterte yang telah menewaskan ribuan pengedar dan pemadat obat terlarang.
Sejumlah kelompok pegiat hak asasi manusia menilai penangkapan Trillanes dan De Lima tak ada bedanya, yaitu bertujuan membungkam pengkritik Duterte. Trillanes juga pengkritik keras kebijakan perang narkotik. “Hari ini demokrasi kami lenyap,” ujar Trillanes setelah penangkapannya. “Ini pelecehan murni Duterte terhadap para kritikus politiknya dan mereka yang menyuarakan kebenaran.”
Penangkapan Trillanes tidak lepas dari dosa masa lalunya. Veteran tentara Angkatan Laut berpangkat letnan ini pernah terlibat dalam dua kali kudeta yang gagal. Ia berperan dalam pemberontakan Oakwood pada 2003 dan pengepungan Hotel Peninsula Manila empat tahun kemudian. Keduanya terjadi pada era Presiden Gloria Macapagal-Arroyo. Arroyo, 71 tahun, kini mengetuai Dewan Perwakilan Rakyat dan menjadi sekutu kuat Duterte di parlemen.
Pada Juli 2003, Trillanes dan sembilan perwira militer lain, yang tergabung dalam kelompok Magdalo, memimpin sekitar 300 prajurit untuk menduduki apartemen elite Oakwood Premier di Makati, lalu memasanginya bahan peledak. Aksi ini adalah bentuk protes Trillanes dan kelompoknya terhadap Arroyo, yang mereka tuduh melakukan korupsi.
Setelah negosiasi dengan pemerintah selama lima jam, kelompok Magdalo menyerah. Sembilan perwira yang mengaku terlibat dihukum lima tahun penjara. Trillanes, yang menolak mengaku berperan dalam aksi itu, divonis tujuh tahun bui. Empat tahun berselang, Trillanes kembali terseret dalam aksi pembangkangan.
Setelah Arroyo tak lagi berkuasa, penerusnya, Benigno Aquino III, mengampuni Trillanes pada 2011. Ini dimungkinkan karena Aquino pada November 2010 meneken surat ketetapan untuk memberi amnesti kepada para personel militer yang pernah melakukan makar.
Namun ketenangan Trillanes tak bertahan lama. Saat Duterte mencabut amnestinya, kedamaian pria yang terpilih sebagai senator pada 2007, ketika ia masih dipenjara, ini kembali terusik. Trillanes disebut tak mematuhi persyaratan karena tidak mengajukan permohonan amnesti. Ia juga dituding tidak mengakui kesalahannya dalam dua peristiwa kudeta.
Trillanes telah menunjukkan setumpuk bukti untuk membantah tudingan pemerintah, termasuk sertifikat amnesti dan surat perintah pemecatannya sebagai tentara yang diteken Presiden Aquino dan disetujui Kongres. Namun upaya itu mental. “Kasus ini melampaui saya. Saya tidak berbuat jahat. Saya sudah diberi amnesti tujuh tahun lalu,” tuturnya.
Trillanes telah lama membuat Duterte berang. Pria yang pernah mencalonkan diri sebagai kandidat wakil presiden ini tidak hanya mengutuk kampanye antinarkotik Duterte. Trillanes juga menuduh Duterte, anggota pemerintah, serta putranya, Paolo Duterte, melakukan korupsi.
Di kalangan senator, Trillanes termasuk yang paling getol mendukung penyelidikan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terhadap dugaan pembunuhan ekstrayudisial Duterte dalam perang melawan narkotik. Ia mengetuai Komisi Pelayanan Sipil Senat, yang mengusut kasus serupa. Duterte saat ini menghadapi dua dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan di ICC.
Trillanes makin bersemangat setelah Duterte, dalam pidatonya pada Kamis dua pekan lalu, mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan ekstrayudusial. “Apa dosa saya? Apakah saya mencuri uang? Apakah saya mengadili seseorang yang saya kirim ke penjara?” kata Duterte di Istana Kepresidenan Malacanang. “Satu-satunya dosa saya adalah pembunuhan di luar hukum.”
Pernyataan Duterte itu, menurut Trillanes, bakal mempercepat penyelidikan Mahkamah Pidana Internasional terhadap sang Presiden. “Pengakuan itu akan dianggap serius oleh Mahkamah Pidana Internasional,” ucap Trillanes, yang pernah berkomunikasi dengan ICC.
Sebulan setelah dilantik menjadi presiden, Duterte melancarkan perang narkotik, Agustus dua tahun lalu. Kampanye ini berfokus membasmi sabu. Filipina tercatat sebagai negara dengan tingkat konsumsi sabu tertinggi di Asia Timur. Barang durjana itu tersebar luas sehingga memicu masalah serius. Bahkan banyak warga miskin dengan mudah mengantongi sabu, yang dijuluki sebagai kokain orang melarat.
Masalahnya, perang narkotik Duterte terbilang meresahkan. Pembunuhan di luar hukum atau ekstrayudisial kental mewarnai operasi pemberantasan obat terlarang itu. Amnesty International mencatat, ribuan orang menjadi korban penembak-an di gang-gang, jalan, juga rumah penduduk. Nahasnya, sebagian besar korban justru orang biasa, masyarakat miskin di lingkungan kumuh.
Duterte sebenarnya telah menuai kecaman dari banyak pihak. Namun bekas Wali Kota Davao itu bergeming. Ia hanya sedikit merunduk saat meletus beberapa kali unjuk rasa yang memprotes kebijakan kontroversialnya tersebut. Pria 73 tahun ini berkukuh melanjutkan perang narkotiknya.
Duterte bahkan tak segan menyerang balik para pengkritiknya, seperti yang dilakukannya terhadap Senator Leila da Lima. Menteri Kehakiman di kabinet Benigno Aquino ini dipenjara sejak Februari tahun lalu.
De Lima ditangkap atas tuduhan menerima suap dari gembong narkotik. Perempuan 59 tahun ini menganggap tuduhan itu sengaja diracik untuk membungkamnya. Ia ditahan menyusul investigasi yang dilancarkannya terhadap dugaan pembunuhan di luar hukum selama perang narkotik.
Bagi De Lima, kriminalisasi terhadap Trillanes tidak asing. “Trillanes adalah ancaman karena saya adalah ancaman. Karena kebebasan berbicara dan demokrasi merupakan ancaman bagi Duterte,” tuturnya kepada Time.
Menurut De Lima, Duterte sebagai presiden tidak bisa secara terang-terangan membunuh lawan politik tanpa menciptakan krisis nasional. “Jadi dia berusaha memenjarakan kami sebagai penjahat biasa.”
Carlos Conde, peneliti dari Human Rights Watch Filipina, menilai penangkapan Trillanes dan De Lima adalah bagian dari penganiayaan terhadap para pengkritik pemerintah Duterte. “Insiden semacam ini dapat menimbulkan ’pengaruh yang mengerikan’ pada para pengkritik lain,” kata Conde.
Namun, di mata Trillanes, Duterte, yang dijulukinya “setan”, tak pernah membuatnya gentar. Ia tetap yakin tudingan dan perkataannya tentang Duterte kelak terbukti. “Keyakinan saya berasal dari fakta bahwa, dalam sejarah dunia, kejahatan tidak pernah menang. Mereka mungkin mendapat kemenangan kecil, tapi pada akhirnya kejahatan akan dikalahkan.”
MAHARDIKA SATRIA HADI (PHIL STAR, INQUIRER, TIME, AL JAZEERA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo