Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Janji Putra Imigran Utara

Korea Utara dan Selatan mulai menjalankan kesepakatan perdamaian. Janji kampanye Presiden Korea Selatan Moon Jae-in.

5 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah teknisi dan tentara Korea Selatan dan Korea Utara terlihat mulai membersihkan Joint Security Area di Panmunjom serta kawasan Arrowhead Hill di Cheorwon, Provinsi Gangwon, dari ranjau darat, Senin pekan lalu. Ini adalah lokasi tempat dua korea merencanakan penggalian bersama pertama mereka terhadap sisa-sisa tentaranya yang tewas selama Perang Korea 1950-1953.

Pembersihan ini merupakan implementasi pertama dari Perjanjian tentang Implementasi Deklarasi Panmunjom Bersejarah dalam Domain Militer yang ditandatangani Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, di Pyongyang, tiga pekan lalu. Itu pertemuan kedua mereka setelah di Panmunjom, April lalu. Perjanjian ini dimaksudkan untuk mencegah konfrontasi militer di Semenanjung Korea.

Dalam sambutannya pada Hari Angkatan Bersenjata Korea Selatan ke-70, Senin pekan lalu, Moon Jae-in menyebutkan kesepakatan militer itu akan mengakhiri semua permusuhan di darat, laut, dan langit di antara dua Korea. Namun ia juga menyerukan pertahanan nasional yang lebih kuat karena, ”Perdamaian hanya dapat berlanjut ketika kita memiliki kekuatan dan kepercayaan untuk melindungi diri kita sendiri.”

Tak semua memuji langkah agresif Moon untuk merintis perdamaian dengan negara tetangganya itu. ”Saya pikir itu adalah perjanjian Korea Selatan-Korea Selatan terburuk karena membuat konsesi dalam posisi pertahanan sebelum perlucutan senjata nuklir (Korea Utara) tercapai,” kata Shin Won-sik, mantan wakil penasihat strategis militer Korea Selatan, seperti dilansir The Diplomat.

Langkah Moon ini memicu banyak tafsir soal motifnya. Ia memang punya akar dari Utara. Itu tak bisa dimungkiri. Ayah dan ibunya, Moon Yong-hyung dan Kang Han-ok, adalah pengungsi dari Provinsi Hamgyeong Selatan, Korea Utara. Moon termasuk 14 ribu pengungsi yang dievakuasi beberapa jam sebelum pasukan komunis Cina dan Korea Utara memasuki daerah itu. Mereka diangkut dengan kapal Amerika Serikat, SS Meredith Victory, dan bertolak ke Pulau Geoje di Provinsi Gyeongsang Selatan pada malam Natal tahun 1950.

Ibu negara Korea Selatan, Kim Jung-sook (tengah), mengisi botol minummya di Gunung Paektu, Korea Utara, 20 September 2018.

Moon lahir pada 24 Januari 1953 di Geoje, kota di lepas pantai Busan. Ayah dan ibunya bekerja siang dan malam, tapi penghasilan mereka tak mencukupi kebutuhan keluarga itu. Sebagai anak lelaki, tulis Korea Herald, Moon harus menunggu dalam antrean untuk tepung jagung dan susu bubuk yang diberikan oleh gereja-gereja Katolik. Dia tidak suka melakukannya, tapi menyukai para biarawati yang selalu baik kepadanya.

Ketika memasuki Gyeongnam Middle School yang bergengsi di Busan, Moon terkejut melihat teman sekelasnya yang kaya makan makanan yang berbeda dan tinggal di rumah yang berbeda. Pada masa itulah ia menjadi sadar akan ketidaksetaraan sosial di negerinya.

Moon berpartisipasi dalam protes anti-pemerintah pada 1969, ketika Park Chung-hee, Presiden Korea Selatan selama 1963-1979 dan ayah dari Park Geun-hye, Presiden Korea Selatan selama 2013-2017, mencoba merevisi konstitusi untuk membuka jalan bagi masa jabatan ketiganya. Setelah memasuki Sekolah Tinggi Hukum di Kyung Hee University pada 1972, Moon melanjutkan penentangannya terhadap Park Chung-hee.

Suatu hari dalam sebuah unjuk rasa, Moon terkena gas air mata dan jatuh pingsan. Ketika bangun, dia melihat Kim Jung-sook, teman sekampusnya, menyeka wajahnya dengan handuk basah. Tidak butuh waktu lama baginya untuk jatuh cinta dan menikahi perempuan Katolik yang mengingatkannya pada biarawati dari masa kecilnya itu. Moon akhirnya ditangkap dan dipenjara di Pusat Penahanan Seodaemun di Seoul.

Pada 1976, Moon menjalani wajib militer di Pasukan Khusus. Ia ambil bagian dalam banyak misi, termasuk menangani Insiden Pembunuhan Kapak pada 1976. Insiden itu terjadi ketika tentara Korea Utara membunuh dengan kapak dua perwira Amerika Serikat yang sedang menebang pohon poplar di area perbatasan. Tentara Korea Utara menganggap pohon itu ditanam oleh pemimpin mereka, Kim Il-sung.

Setelah menjalani wajib militer, Moon mengikuti ujian pengacara pada 1980. Tapi dia tidak bisa menjadi hakim seperti yang ia harapkan karena catatan protes anti-pemerintahnya. Beberapa firma hukum besar menawarinya pekerjaan bergaji tinggi, tapi ia memutuskan menjadi pengacara bagi pekerja di Busan.

Pada masa inilah ia bertemu dengan Roh Moo-hyun, yang kemudian menjadi Presiden Korea selama 2003-2008. Moon dan Roh bekerja untuk orang-orang yang tidak mampu membayar pengacara. Banyak dari mereka adalah karyawan pabrik yang dieksploitasi dengan upah murah. Menurut Korea Herald, Moon dan Roh menjadi tokoh utama dalam gerakan pro-demokrasi yang menerpa negara itu dan menyebabkan pemilihan demokratis pertama Korea Selatan pada 1987.

Setelah bertahun-tahun membantu buruh, Roh memutuskan terjun ke arena politik. Dia membujuk Moon bergabung, tapi Moon menolak. Namun, ketika Roh menjadi presiden pada 2002, Moon akhirnya menerima tawarannya untuk menjadi Kepala Sekretaris Kepresidenan.

Pemerintah Roh mencoba banyak cara untuk mencapai reformasi politik, tapi gagal memenuhi tingginya harapan di pundaknya. Selama periode ini, Moon mengaku mengalami banyak ”kepuasan dan frustrasi”. Moon mengatakan bekerja untuk pemerintah seperti ”mengenakan pakaian orang lain” dan ia rindu bekerja sebagai pengacara.

Namun mimpinya tentang kehidupan sederhana hancur ketika Roh melakukan bunuh diri pada 2009 ketika penyelidikan kasus korupsinya mendekati final. Dia dituding menerima suap US$ 4,6 juta. Moon sangat terpengaruh oleh kematiannya. Dalam memoar tahun 2011, dia menulis: ”Jika saya tidak bertemu dengan Roh, saya mungkin akan hidup lebih nyaman, tapi semangatnya selalu membangkitkan saya. Begitu juga kematiannya. Itu menarik saya kembali ke jalan tersebut.”

Pada 2012, Moon maju untuk kursi di Majelis Nasional dalam pemilihan legislatif ke-19 dari Partai Demokrat Bersatu dan menang. Pada tahun itu juga partainya mengusung dia sebagai calon presiden, yang menantang Park Geun-hye dari Partai Nasional, tapi kalah. Pemakzulan Park Geun-hye pada 9 Desember 2016 mendorong adanya pemilihan presiden pada 2017.

Dalam kesempatan kedua ini Moon menawarkan program untuk menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kekuatan chaebol, konglomerat Korea. Namun program yang tak kalah penting adalah soal penyelesaian krisis dengan Korea Utara. Ia meneruskan Kebijakan Sinar Matahari yang diperkenalkan Kim Dae-jung, Presiden Korea selama 1998-2003. Ini kebijakan Seoul untuk bersikap lunak terhadap Pyongyang berdasarkan cara tradisional orang Korea: memberi musuh hadiah untuk mencegah musuh mencelakai.

”Saya bersedia pergi ke mana saja untuk perdamaian Semenanjung Korea. Jika diperlukan, saya akan segera terbang ke -Washington, Beijing, dan Tokyo. Jika kondisinya membaik, saya akan pergi ke Pyongyang,” ucap Moon saat menyampaikan pidato kemenangannya dalam pemilihan presiden 9 Mei 2017.

Saat Moon minum teh dengan Presiden Amerika Donald Trump sebelum pertemuan bilateral pada November 2017 di Seoul, Trump sempat bertanya, ”Apakah Anda (dua Korea) harus bersatu kembali?” Moon lantas menjelaskan rasa tanggung jawabnya yang besar terhadap orang-orang di Korea Utara yang masih hidup menderita di bawah perlakuan tidak manusiawi serta soal perlunya membawa cahaya demokrasi kepada tetangganya. Mendengar penjelasan itu, Trump lantas bertanya, ”Lalu apa yang bisa saya lakukan untuk Korea?”

Setelah melalui upaya pendahuluan yang panjang, Moon akhirnya bisa bertemu dengan Kim Jong-un di Panmunjom pada 27 April lalu. Pertemuan ini diikuti dengan tatap muka bersejarah antara Kim dan Trump di Singapura pada Juni lalu. Tiga bulan kemudian, Moon bertemu lagi dengan Kim. Kali ini di ibu kota Korea Utara, Pyongyang.

ABDUL MANAN (KOREA TIMES, KOREA HERALD, WASHINGTON POST, REUTERS)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus