Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia, Jenderal Manuel Antonio Noriega Moreno, 72 tahun, tampak serius. Rambutnya disepuh hitam, klimis, disisir rapi ke belakang. Di pengadilan Miami, Florida, Amerika Serikat, Senin pekan lalu, bekas penguasa Panama itu berusaha menangkap tiap-tiap kata, baik dari pengacaranya maupun jaksa. Pada sepasang telinganya terdapat alat penerjemah—dari bahasa Inggris ke bahasa Spanyol.
Hari pembebasannya dari penjara Miami sudah di ujung hidung: 9 September. Tapi, ke mana ia akan melangkahkan kaki pada usia yang sudah tak muda lagi, belum juga jelas. Ia sendiri minta dipulangkan ke negara asalnya. Menurut tim pengacaranya, statusnya tahanan perang—Noriega dijungkalkan dari kekuasaan lewat serangan militer Amerika Serikat ke Panama pada 1989. Dan sesuai dengan Konvensi Jenewa 1949, Noriega harus dipulangkan ke Panama.
Tapi jaksa Federal, Sean Cronin, berkeras mengirim Noriega ke Prancis. Di negeri itu, ia akan menjalani hukumannya. Menurut Cronin, konvensi itu tidak melarang ekstradisi Noriega ke Prancis. Lelaki kelahiran Kota Panama ini memang tersangkut kasus pencucian uang di sana. Dalam sidang tanpa terdakwa (in absentia) di Paris pada 1999, Noriega telah divonis 10 tahun penjara. Ia terbukti bersalah membelanjakan US$ 3,15 juta atau sekitar Rp 28,35 miliar hasil penjualan obat bius untuk membeli tiga apartemen mewah di kota mode itu.
Namun tim pembela Noriega kemudian mengaku mencium sebuah strategi. ”Pemerintah Amerika, untuk alasannya sendiri, sangat ingin Jenderal Noriega dikirim ke Prancis,” kata Jon May kepada ketua majelis hakim William Hoeveler. Menurut anggota tim lainnya, Frank Rubino, Noriega yang sekarang menjadi penganut Katolik yang taat itu ingin lebih dekat dengan keluarganya di Panama.
Noriega telah menjalani setengah dari 30 tahun hukuman penjara. Pria yang dijuluki ”Si Muka Nanas” lantaran kulit wajahnya yang kasar ini menerima pengurangan hukuman setelah berkelakuan baik selama ditahan. Ia diadili dengan tudingan pemerasan, pencucian uang, dan penyelundupan obat bius. Ia menyerahkan diri setelah pasukan Amerika membombardirnya dengan lagu Panama dari Van Halen dengan suara sangat keras saat ia berlindung di Kedutaan Besar Vatikan di Kota Panama.
Awalnya, diktator militer Panama sepanjang 1983-1989 yang tak pernah menjadi presiden ini adalah sekutu dekat Amerika. Ia seorang informan CIA dalam memerangi peredaran obat bius di Amerika Tengah ketika George Bush Senior mengepalai lembaga dinas rahasia itu. Ia digaji US$ 110 ribu atau sekitar Rp 990 juta per bulan.
Hoeveler akhirnya menunda sidang hingga Jumat pekan ini untuk memutuskan permohonan pihak mana yang akan dikabulkan. Hanya, dalam persidangan Senin pekan lalu itu, ia mempertanyakan kenapa Noriega harus dikirim ke Prancis, padahal kejahatannya di Panama lebih serius.
Ia divonis 60 tahun penjara dalam sidang in absentia di Panama pada 1995 setelah terbukti bersalah terlibat pembunuhan terhadap lawan-lawan politiknya, termasuk Hugo Spadafora. Tapi Noriega boleh bernapas lega. Hukum di Panama telah berubah sejak Januari lalu. Ia hanya akan menjalani hukuman 20 tahun. Itu pun cuma tahanan rumah lantaran usianya sudah lebih dari 70 tahun, batas maksimal orang boleh dipenjarakan. Ia pun mungkin bisa bebas sepenuhnya karena Panama tidak lagi mengakui sidang in absentia.
Menjelang kebebasan Noriega, kontroversi melanda rakyat Panama. Jajak pendapat di koran La Prensa menyebutkan 47 persen dari 1.218 responden mendukung kepulangan Noriega untuk menjalani hukumannya di Panama. Sedangkan 44 persen lainnya lebih suka ia dikirim ke negara lain.
Delapan belas tahun setelah pasukan Amerika menyeretnya ke Miami, kontroversi tentang dirinya masih berdenyut di Panama. Bagi kalangan menengah ke atas, Noriega masa lalu yang harus dilupakan. ”Kenapa memulangkan dia ketika keadaan sudah sangat baik?” tanya Sam Taliaferro, developer terkenal asal Amerika. Tapi, bagi 40 persen rakyat miskin dari 3 juta penduduk Panama, Noriega adalah pahlawan. ”Ada orang yang ingin Noriega pulang untuk memperbaiki negara ini,” ujar Andres Lee Lopez, yang kiosnya di pinggir jalan dipenuhi gambar sang pemimpin.
Faisal Assegaf (Independent, International Herald Tribune, Telegraph)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo