Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Akad Nikah Kaum Sodom

Mahkamah Agung Kanada mengesahkan perkawinan gay-lesbi. Bisnis wisata pun menggeliat.

20 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada yang lebih membahagiakan sepasang kekasih selain naik pelaminan. Tapi, bagi pasangan lesbi Erin Scriven dan Lisa Stumborgasal dari Provinsi Saskatchewan, Kanada, kebahagiaan itu belum lengkap. Soalnya, setelah menikah di St. Thomas-Wesley United Church Kota Saskatoon, akta nikah mereka ditolak pemerintah. "Padahal kami perlu legitimasi karena kami berencana punya anak," ujar Erin Scriven. Mereka pun mengajukan gugatan ke pengadilan Provinsi Saskatchewan.

Untungnya, hakim setempat mengabulkan gugatan sekaligus mengesahkan perkawinan mereka bersama empat pasangan gay lainnya. "Menikah adalah hak asasi manusia," ujar Hakim Jonas Wilsons, November silam. Saskatchewan menjadi provinsi Kanada keenam yang menyetujui perkawinan antar-gay. Itu sebulan silam. Kalau saja Erin dan Lisa menikah sekarang, mereka tak perlu repot-repot menggugat. Sebab, pekan ini Mahkamah Agung Kanada mengabulkan permintaan Pemerintah Federal Kanada untuk mengundang-undangkan perkawinan antar-gay. "Paling telat, awal tahun baru ini akan diundang-undangkan," janji Perdana Menteri Paul Martin.

Nantinya, tiap pasangan gay di seluruh negara bagian Kanada dimungkinkan menikah dan mendapat akta nikah. Rancangan undang-undang itu diajukan ke Mahkamah Agung oleh Jean Chrétien, perdana menteri sebelumnya, sejak Juli tahun lalu. Saat itu, saking geramnya, Uskup Calgary bahkan mengancam akan mempermandikan Chrétien sekali lagi karena ia dianggap membela kaum sodom—sebutan untuk kaum gay di Alkitab.

Chrétien sendiri tak bisa menyangkal makin banyaknya pasangan gay menuntut persamaan hak perkawinan. Saat itu, hanya beberapa provinsi yang membolehkan perkawinan gay—Toronto, misalnya, termasuk salah satu provinsi yang pertama mengesahkannya. Saat itu, 2.000 lebih pasangan sejenis mendapat akta nikah.

Setelah berbulan-bulan memproses drafnya, Mahkamah akhirnya meminta pemerintah mendefinisikan ulang arti perkawinan dalam undang-undang sebagai "sahnya perkawinan antar-dua manusia" dalam pengesahannya. Soalnya, Mahkamah juga menimbang norma religi masyarakat yang umumnya menolak perkawinan (seks) sejenis.

"Kami percaya hal ini juga penting. Tapi itu bukan berarti kami membatasi perkawinan di negeri ini. Kami juga tidak ingin ada dua kelas warga negara di sini," ujar Martin. Hingga kini, kaum konservatif Kanada memang mengecam keputusan Mahkamah itu. Pemimpin fraksi konservatif di parlemen Kanada, Stephen Harper, bahkan menganggap Mahkamah telah melanggar konstitusi sebelumnya. Dalam Undang-Undang Dasar 1867 disebutkan, perkawinan yang sah adalah antara lelaki dan perempuan. Mahkamah menangkisnya dengan, "Kanada itu plural, dan konstitusi kami layaknya pohon tumbuh yang sangat progresif menerima realitas gaya hidup modern yang mendunia."

Kanada kini menjadi negara ketiga—setelah Belgia dan Belanda—yang mengesahkan perkawinan gay di seluruh wilayah negara mereka. Tidak seperti Norwegia (lihat boks, Dari Bali ke Norwegia) atau Amerika, yang hanya membolehkannya di beberapa negara bagian. Harper, yang merupakan wakil dari Provinsi Alberta—paling konservatif di Kanada—mengancam tak akan berhenti menjegal undang-undang itu. "Lihat nanti, di parlemen kami akan minta amendemen. Kalau perlu, kami menuntut referendum," ujar Stephen Harper, yang meminta dukungan dari kalangan liberal.

Namun, masyarakat Kanada justru merespons positif keputusan Mahkamah itu. Sebagian besar responden beberapa jajak pendapat memberinya dukungan. Terlebih para ekonom. Komite Pembangunan Ekonomi Toronto, misalnya, ikut menunggu keputusan tersebut karena akan menjadikan Kanada tujuan wisata kaum gay dunia. "Kami kehilangan peluang ini sejak dulu, dan kini bakal terwujud," ujar Kyle Rae, anggota komite itu.

Bruce McDonald, pendiri kamar dagang gay Kanada, bahkan sudah menghitung keuntungan yang bakal diraup: mencapai US$ 1 miliar atau sekitar Rp 9 triliun per tahun. "Itu baru devisa, belum dihitung (keuntungan) bisnis wisata lainnya," ujarnya. McDonald membandingkan pendapatan tahunan Amerika dari pelancong gay, yang sekitar US$ 54 miliar. Mungkin keuntungan itu juga akan disumbangkan kaum gay Indonesia, yang selama ini lebih memilih "berakad nikah" di Norwegia atau Belanda.

Endah W.S. (Reuters, AP, The Economist, Queerday Online)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus