Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dari Bali ke Norwegia

20 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU malam di bulan September 1999. Hulu Café di Denpasar, Bali, menjadi saksi kisah-kasih sepasang pria gay. Berawal ketika Hengky, 31 tahun—ini nama samaran—bersama satu teman gay menonton pentas kabaret di tempat itu. Joshtein, seorang tamu asal Norwegia, melintas di depan mereka, lalu duduk di lain meja. "Lihat itu ada cowok ganteng. Taruhan, siapa yang dapat duluan," kata teman Hengky sembari melirik pria bule itu. Keduanya mendekati meja Josh dan cinta pun terbuhul segera antara Hengky dan Josh. Suatu ketika, Josh menawari pria Medan itu berlibur ke Norwegia. "Alangkah bodohnya kalau saya bilang tidak," kata Hengky kepada Tempo melalui sambungan internasional pekan lalu. Selain urusan cinta, Hengky juga menimbang Norwegia bisa mengubah nasibnya. Saat itu dia baru saja menganggur setelah terkena PHK. Hengky berangkat ke Bali dengan niat mencoba usaha wiraswasta. Di Denpasar, ia kemudian bertautan hidup de-ngan Josh.

Pada Februari 2000, Hengky berangkat ke Norwegia. Izin visa berlibur ia peroleh untuk jangka tiga bulan. Tiba di Kota Oslo di Norwegia, Hengky mengaku kian kepincut oleh negara itu. Syahdan, ia bahkan keceplosan mengajak kekasihnya menikah layaknya suami-istri. Norwegia memang melegalkan perkawinan sesama jenis. Josh setuju, meski izin berlibur Hengky hampir kedaluwarsa. Hengky kembali ke Indonesia mengurus surat-surat syarat perkawinan. Ia urus segala tetek-bengek di Bali, seperti surat belum pernah menikah dan akta kelahiran serta fotokopi paspor. "Waktu melapor ke konsulat di Bali, saya mengaku akan sekolah lagi. Makanya, dikasih izin hanya enam minggu," tuturnya. Selain itu, ia juga mengurus transkrip nilai dan ijazah dari Universitas Trisakti di Jakarta—tempatnya tamat kuliah—untuk mencari kerja di Norwegia.

Juni 2000, Hengky dan Josh menikah di pengadilan Norwegia. Prosesnya tak berbelit, cukup melapor ke kepolisian Norwegia dan Konsulat RI di Oslo. Secara otomatis, pernikahan itu memberinya izin tinggal gratis yang harus diperpanjang setiap satu tahun. Di tahun ketiga, perpanjangan diperlonggar dua tahun. Biaya setiap perpanjangan Rp 750 ribu. Hengky pun berumah tangga dan menikmati hidup tenang di sana. Ia kini bekerja di satu perusahaan asuransi.

Hartanto Reksodiputro, Duta Besar Republik Indonesia di Norwegia, menjelaskan kepada Tempo bahwa fenomena masuknya gay Indonesia ke Norwegia dengan tujuan menikah mulai terlihat sejak 1999. Di Norwegia, perkawinan sesama jenis memang diperbolehkan secara legal. Negara itu memiliki undang-undang perkawinan gay dan lesbian pada pertengahan 1990. "Ada undang-undangnya," kata Hartanto di sela-sela Rapat Kerja Seluruh Dubes RI di Departemen Luar Negeri, pekan lalu. Malahan, Norwegia kini sedang membahas izin adopsi anak bagi pasangan gay.

Hampir semua yang menikah berjenis kelamin pria. Gay WNI yang menikah, dalam catatan KBRI Norwegia, sudah ada 16 orang yang berasal dari Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, Kupang, dan Flores. Muara pertemuan dengan orang Norwegia cenderung bermula dari Bali dan Jawa Timur. Hampir semua dari mereka tak kembali ke Indonesia setelah menikah. Mereka memilih menetap, meski dengan izin tinggal sementara.

Dorongan terbesar menikah lantaran ingin mencari hidup bebas layaknya orang normal. Mereka merasa sulit hidup di Indonesia karena sulit diterima di masyarakat. Selain itu, hidup di Norwegia lebih terjamin secara ekonomi. "Sebagian besar bekerja di sana," kata Duta Besar Hartanto, Meski begitu, ia menegaskan hal yang utama tetap persoalan legalitas.

Jumlah perkawinan gay WNI di Norwegia terus bertambah. Kepala Bidang Penerangan KBRI di Oslo, Norwegia, Aris Triyono, menyatakan jumlah mereka meningkat dua kali lipat sejak tahun 2000. Tadinya cuma 6 orang, kini sudah 12 WNI yang menemukan pasangan hidup sesama gay di Norwegia.

Rata-rata para gay ini betah. Selain mendapat pasangan dan pekerjaan, mereka juga tak direpotkan banyak aturan. Syaratnya untuk tinggal di sana pun mudah saja: jangan melanggar hukum Norwegia.

Eduardus Karel Dewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus