Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sahar Khodayari baru selesai menjalani persidangan saat dia memutuskan mem-bakar dirinya di luar gedung Pengadilan Ershad di Kota Teheran, Iran. Persidangan pada Senin, 2 September lalu, itu sebenarnya ditunda setelah hakim tidak dapat hadir karena ada urusan keluarga mendadak.
Dengan dua tuduhan berat yang di-alamat--kan kepadanya, yaitu “secara ter-buka berbuat dosa dengan tampil di depan umum tanpa jilbab” dan “menghina pe-jabat”, Khodayari sadar bahwa dia tidak akan lolos dari ancaman bui. Apalagi kasus-nya akan diproses lebih lanjut di Penga-dilan Revolusi Islam, yang biasa mem-vonis orang-orang yang dianggap sebagai musuh negara, dengan ancaman hukuman pen-jara selama dua tahun.
Khodayari, yang menurut keluarganya pernah menderita gangguan bipolar dan berhenti menjalani pengobatan setahun lalu, mengambil jalan pintas. Perempuan 29 tahun ini keluar dari gedung pengadilan untuk mengambil bensin lalu menuangkan bahan bakar itu ke tubuhnya dan menyu-lutnya.
Dia terbakar hebat. Kondisinya terlalu parah saat dilarikan ke rumah sakit. Dengan luka bakar hingga 90 persen, nya-ris seluruh tubuhnya harus dibalut per-ban. Khodayari sempat dirawat intensif selama sepekan, termasuk menggunakan alat bantu pernapasan, hingga ajal menjemputnya. “Anak perempuan saya memi-liki kelainan neurologis. Hari itu dia sangat marah. Dia sampai berkelahi dengan petugas penegak hukum,” kata ayah--nya, Heidar Ali Khodayari, seperti dikutip kantor berita Mehr.
Sahar Khodayari dituding berbuat dosa gara-gara ingin menonton pertandingan sepak bola di Stadion Azadi pada 12 Maret lalu. Saat itu, klub idolanya, Esteghlal FC, bertanding melawan Al-Ain dari Uni Emirat Arab dalam kualifikasi grup Liga Cham-pions Asia. Karena kaum Hawa di Iran dilarang menonton pertandingan sepak bola di stadion, Khodayari menyamar se-perti lelaki. Dia mengenakan penutup ke-pala biru dan jaket biru serta mengecat wajah-nya sesuai dengan kelir khas tim favoritnya.
Khodayari tengah antre untuk memasuki pintu stadion saat langkahnya terhenti oleh pemeriksaan petugas. Satu per satu suporter pria di depannya masuk stadion setelah digeledah badannya. Petugas semula tak menaruh curiga pada Khodayari. Tapi, begitu salah satu petugas bersiap memeriksa badannya, Khodayari mengelak dan menjelaskan bahwa dia seorang perempuan dan tak membiarkan petugas menyentuhnya. Kedoknya seketika terbongkar dan petugas menggiringnya keluar dari antrean.
Sahar Khodayari/REUTERS
Tidak hanya gagal menyaksikan para pemain Esteghlal FC berlaga, Khodayari bahkan ditahan di Penjara Qarchak. Pen-jara di timur Teheran ini dikenal se-bagai penjara paling berbahaya dan terburuk bagi kaum perempuan. Ratusan perem-puan yang dihukum karena berbagai pelanggaran dikurung di wilayah bekas peternakan ayam itu dalam keadaan penuh sesak dan kotor. Setelah diterungku selama tiga hari, Khodayari dibebaskan dengan jamin-an dan menunggu enam bulan untuk menjalani persidangan.
Tapi pengalaman mencicipi bui keburu membuatnya mengalami trauma sehingga Khodayari memilih untuk mengakhiri hidupnya. Kabar kematiannya yang tragis menjalar cepat di dunia maya dan memantik kemarahan global, terutama di kalangan atlet dan pencinta sepak bola. Berbagai media berbahasa Farsi dan Inggris tidak luput menyorotinya. Warganet berempati dengan mengunggah dan membagikan foto Khodayari yang berpakaian serba biru, lantas menjulukinya sebagai “Gadis Biru”.
Sejak Ayatullah Khomeini mendirikan Republik Islam Iran pada 1979, perempuan tak lagi leluasa beraktivitas layaknya lelaki. Syariah Islam diterapkan secara ketat. Selain mewajibkan kaum Hawa mengenakan jilbab atau kerudung di tempat umum, rezim mullah membatasi ruang gerak mereka, termasuk larangan bagi perempuan untuk menonton langsung Khodayari sepak bola di stadion.
Pemerintah Iran tidak memperbolehkan perempuan suporter sepak bola mendatangi stadion sejak 1981. Saat itu, para ulama berpendapat bahwa gadis ataupun perempuan dewasa harus dilindungi kehormatannya dari atmosfer maskulin dan tatapan para pria. Di tempat umum seperti stadion, ketika suporter lelaki dan perempuan bisa duduk bercampur, kaum Hawa dianggap tak terlindungi.
Larangan ini tidak ada pada rezim sebelumnya. “Sahar adalah satu dari jutaan perempuan yang setiap hari menjadi korban hukum syariah di Iran. Gadis Biru terbakar dalam kegilaan Khomeinisme, bukan bunuh diri,” ucap Kaveh Taheri, aktivis hak asasi manusia Iran, kepada Tempo, 19 September lalu.
Taheri, bekas tahanan politik yang dipenjara selama tiga tahun karena dituding menyebarkan propaganda me-lawan pemerintah, mengatakan, sejak rezim mullah berkuasa di Iran, perempuan telah kehilangan banyak hak. Menurut dia, perempuan dipaksa untuk hidup sebagai warga negara kelas dua. Kaum lelaki secara hukum memiliki kendali “perwalian” atas semua keputusan kehidupan perempuan. “Larangan memasuki stadion hanya salah satu diskriminasi yang dialami perempuan,” ujar pria 38 tahun ini.
Lelaki yang menjadi eksil di Turki sejak 2013 ini menuturkan, bermacam belenggu semacam itu merugikan perempuan Iran. Jumlah perempuan yang bekerja, misalnya, hanya 16 persen. Ini 49 persen lebih rendah dari pria. Sebanyak 1,8 juta perempuan di Iran buta huruf. Di sejumlah provin-si, tingkat buta huruf kaum Hawa mencapai 30 persen.
Di bidang politik, diskriminasi membuat perem-puan di Iran tidak dapat menjabat se-bagai presiden. Jika anak perempuan di negeri itu ingin menikah, mereka harus mendapatkan persetujuan ayah--nya. Setelah menikah, perempuan kehilangan haknya atas pendidikan, kecuali atas persetujuan suaminya. Tekan-an besar terhadap perempuan ini yang diduga memicu bunuh diri. “Sebagian besar pelaku bunuh diri adalah perem-puan,” kata Taheri.
Sahar Khodayari tak luput dari diskri-minasi keluarga. Tumbuh sebagai satu dari delapan anak dalam keluarga yang tradisional dan saleh, dia terpaksa me--lawan ayahnya, yang ingin ia bekerja sebagai pegawai negeri. Sang ayah menganggap putrinya tak pantas menjadi polisi karena dia seorang “gadis dan lemah”.
Masyarakat internasional tentu masih mengingat gerakan Rabu Putih pada 2017. Saat itu, sejumlah perempuan Iran yang menentang aturan menutupi rambut di area publik ramai-ramai berswafoto saat mencopot kerudung putihnya. Gerakan yang berawal di Teheran itu menular ke wilayah lain di Iran dan menjadi aksi simbolis perlawanan terhadap rezim mullah.
Mengenakan hijab atau kerudung di tempat umum wajib hukumnya bagi semua perempuan Iran. Mereka yang melanggar atur-an ini dapat dipenjara selama dua bulan dan dikenai sejumlah denda. Tapi demonstran Rabu Putih ditangkap dan dituduh melancarkan propaganda me-lawan rezim dan menganjurkan prostitusi dengan ancaman belasan tahun penjara.
Sama halnya bila perempuan memasuki stadion. Walaupun tidak ada larangan resmi, cukup sulit bagi perempuan Iran untuk menghadiri acara olahraga karena mereka sering ditolak masuk stadion. Sejak bertahun-tahun lalu, mereka yang doyan menonton langsung pertan-dingan sepak bola harus adu siasat dan mene-rap-kan berbagai trik, dari sekadar berpakaian ala pria hingga memakai wig, jenggot, dan kumis palsu.
Aksi kucing-kucing-an ini bukan tanpa risiko. Pada 16 Agustus lalu, misal-nya, enam pe-rem-puan ditangkap pasuk--an Garda Revolusi karena men-coba memasuki stadion sepak bola di Teheran. Seperti Khodayari, mereka ditahan di Penjara Qarchak. Bahkan Zahra Khoshnavaz, pengacara terkemuka yang berkampanye untuk mengakhiri larangan ini, dan Forough Alaei, jurnalis foto terkenal yang mengabadikan perjuangan perempuan Iran memasuki stadion, tidak luput dari jeruji besi.
“Perempuan Iran seharusnya tidak menghabiskan satu detik pun di penjara hanya karena menonton pertandingan sepak bola. Iran harus segera dan tanpa syarat membebaskan mereka dan mencabut larangan diskriminatif itu,” ujar Minky Worden, Direktur Inisiatif Global dari Human Rights Watch.
Desakan juga meluncur dari Presiden Badan Sepak Bola Dunia (FIFA) Gianni Infantino. “Posisi kami jelas dan tegas. Perempuan harus diizinkan masuk ke stadion sepak bola di Iran,” kata Infantino. Tapi rezim mullah tampaknya bergeming.
MAHARDIKA SATRIA HADI (TEHRAN TIMES, CHRI, GULF NEWS)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo