Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Angin Segar untuk Pengusaha

Jangan heran jika kelak apartemen di Jakarta dan kota-kota besar Tanah Air disesaki orang asing.

21 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bekas tambang batu bara di Kecamatan Samboja, Kutai Kartane­gara, Kalimantan Timur, 28 Agustus 2019./ ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Itu karena Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah membuka peluang seluas-luasnya bagi mereka untuk membeli properti. “Sekarang mereka bisa memperoleh apartemen dengan status hak milik,” ujar anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pertanahan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Wibowo, Jumat, 20 September lalu.

Menurut Arif, pengaturan hak dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan mengubah paradigma lama yang hanya memperbolehkan pemanfaatan properti dengan alas hak sewa atau hak pakai. Konsep tersebut diakuinya membuat pasar properti lebih kompetitif dan bergairah. Namun, menurut dia, hal ini bisa berdampak pada ketimpangan sosial jika struktur kepemilikannya dikuasai korporasi besar. “Kepemilikan modal asing akan ikut menentukan perolehan nilai atas aset properti,” ucapnya.

Dalam situasi tersebut, kata Arif, konsumen dalam negeri yang memiliki modal pas-pasan harus rela membeli apartemen segmen menengah-bawah. Itu pun di wilayah yang jauh dari pusat kota. Padahal kelompok kelas menengah merupakan kelas pekerja yang juga memiliki kebutuhan atas hunian yang bisa memudahkan mereka menjangkau tempat kerja serta sarana pendukung dengan mudah dan ekonomis. “Mereka harus mengeluarkan biaya untuk transportasi,” ujarnya.

Masalah kepemilikan asing merupakan salah satu ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang memantik penolakan sejumlah kalangan. Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin mengatakan rumusan pasal-pasal dalam rancangan tersebut memberi keistimewaan bagi pemilik modal, terutama pengusaha perkebunan, pertambangan, dan properti. “Merekalah yang paling berkepentingan dengan aturan ini,” katanya.

Menurut Iwan, Rancangan Undang-Undang Pertanahan juga dinanti para pengusaha hitam yang mengelola lahan secara tidak prosedural. Melalui aturan yang baru, pelanggar-an tersebut bisa diputihkan oleh kementerian melalui mekanisme penetapan hak pengelolaan lahan. “Kalau disahkan nanti, rancangan ini memberi impunitas,” ujarnya.

Anggota Komisi IV yang membidangi kehutanan dan pertanian, Darori Wonodipuro, menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertanahan semestinya melibatkan anggota Dewan lintas komisi di tingkat panitia khusus. Sebab, kata dia, regulasi pertanahan juga beririsan dengan bidang lain, seperti pertanian dan pertambangan. “Terlalu sempit jika hanya dibahas Komisi Pemerintahan (Komisi II),” ucap bekas Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam itu.

Ia menduga rumusan pasal-pasal dalam aturan tersebut ditunggangi kepentingan pengusaha hitam. Sebab, terdapat celah yang memungkinkan pemutihan terhadap pengusaha yang melanggar prosedur perizinan melalui penetapan hak pengelolaan lahan. “Tahun 2012 tercatat ada 2.585 pelaku usaha pertambangan dan perkebunan bermasalah dengan total luas lahan 17 juta hektare. Patut diduga mereka ikut bermain,” tuturnya.

Nilai kerugian negara atas pelanggaran mereka, kata Darori, tidaklah kecil. Jika para pengusaha tersebut mematuhi regulasi perizinan, kontribusi terhadap negara untuk tebangan pohon saja ditaksir mencapai Rp 362 triliun. Karpet merah bagi mereka bakal terbentang luas jika aturan tersebut disahkan DPR pada akhir September ini. “Struktur kepemi-likan tanah akan tetap timpang. Reforma agraria terancam gagal,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang Himawan Arief Sugito meminta masyarakat tak khawatir akan kepemilikan asing. Sebab, fasilitas yang mereka peroleh terbatas untuk hunian satuan rumah susun. Rancangan ini juga tak begitu saja memutihkan perusahaan yang terbukti melanggar prosedur perizinan atau menyalahgunakan keber-adaan bank tanah. “Memang ada potensi moral hazard. Tapi kami yakin negara ini akan terus dipimpin orang baik,” katanya.

RIKY FERDIANTO

 


 

Pro-investasi, Sarat Kriminalisasi

DIUSULKAN Dewan Perwakilan Rakyat sejak 2 Februari 2015, Rancangan Undang-Undang Pertanahan mengandung sejumlah ketentuan yang dianggap bermasalah. Rancangan yang rencananya disahkan DPR dalam rapat paripurna Selasa, 24 September 2019, ini dianggap mengutamakan kepentingan investasi dan merugikan masyarakat karena terdapat sejumlah pasal yang bisa menjadi celah kriminalisasi. Berikut ini sejumlah pasal kontroversial rancangan yang bakal menyempurnakan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut.

 

Pasal 4-9

Rumusan pasal yang mengatur hak pengelolaan merupakan penyimpangan hak menguasai dari negara. Pasal ini mengembalikan konsepsi penguasaan negara terhadap tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya (domein verklaring).

Padahal putusan Mahkamah Kon­­sti­tusi menyatakan negara meru­pa­kan otoritas pengambil kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan untuk lahan yang berstatus hak milik negara, tapi bu­­kan sebagai pemilik tanah. Ini berarti semua tanah yang tak bisa dibuktikan kepemilikannya akan diklaim seba­gai tanah negara. Konsep yang du­lu diterapkan Stamford Raffles sa­­at menjajah Indonesia itu jelas ber­ten­tangan dengan konstitusi. Banyak penduduk dan masyarakat adat yang tak memiliki sertifikat tanah karena berbagai alasan akan dirugikan.

 

Pasal 6-7

Mereduksi pengertian hak tanah ulayat terbatas untuk kawasan nonhutan. Pemberian hak atas tanah kepada individu atau badan hukum tidak dapat diberikan di atas tanah ulayat secara langsung, tapi harus dialihkan lebih dulu statusnya menjadi tanah negara.

Ketentuan Rancangan Pertanahan dipersoalkan lantaran menghapus hukum adat sebagai salah satu in­stru­men pengaturan tentang pengua­saan, kepemilikan, dan penggu­naan tanah sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria.

Suasana Kampung Gajeboh, Kanekes, Lebak, Banten, 10 Januari 2016./ dok. TEMPO/Aditia Noviansyah

 

Pasal 15

Pemidanaan terhadap seseorang atau badan hukum yang menguasai dan memanfaatkan hak atas tanah yang spekulatif. Pasal ini memperluas jerat pidana terhadap rakyat karena pengertian atas penerapan aturan tersebut tidak cukup jelas.

 

Pasal 26

Ayat 1-6

Lahan berstatus hak guna usaha (HGU) bisa dikuasai korporasi selama 70 tahun. Menteri juga diberi diskresi menambah alokasi perpanjangan status lahan lanjutan selama 20 tahun. Total masa berlaku HGU selama 90 tahun itu memberikan banyak keistimewaan kepada korporasi. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, perpanjangan hanya bisa dilakukan satu kali.

 

Pasal 26

Ayat 9

Memberikan impunitas kepada perusahaan yang selama ini menabrak aturan kepemilikan hak guna usaha. Korporasi yang seharusnya dihukum karena menguasai lahan yang berlebihan malah diputihkan.

 

Pasal 38

Hak milik atas satuan rumah susun dibuka bagi warga negara asing ataupun korporasi asing. Mekanisme penerbitan hak ini bisa beralaskan tanah hak milik, tanah negara, atau hak pengelolaan lahan. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, asing hanya bisa menggunakan hak pakai dan hak sewa.

 

Pasal 70-78

Lembaga Pengelolaan Tanah (bank tanah) memainkan peran sebagai badan yang mengatur bisnis pertanahan. Lembaga ini memperlakukan tanah semata sebagai barang komoditas dan berpotensi menyuburkan praktik para spekulan. Sementara itu, Undang-Undang Pokok Agraria menganut asas fungsi sosial.

Bank tanah berpeluang dikuasai asing karena lembaga ini membuka sumber pendanaan secara luas tak hanya bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tapi juga berasal dari pinjaman, penyertaan modal dalam bentuk aset, atau kerja sama pihak ketiga.

 

Pasal 91

Ancaman kriminalisasi bagi masyarakat yang berusaha mempertahankan tanahnya dari penggusuran.

 

Pasal 95

Ancaman pidana bagi setiap orang atau kelompok yang menyebabkan sengketa lahan. Padahal, menurut catatan Ya­­ya­­san Lembaga Bantuan Hukum In­do­­nesia, laporan kasus pertanahan menjadi aduan yang paling banyak ma­suk ke lembaga pada 2018, yakni 300 kasus.

 

NASKAH: RIKY FERDIANTO
SUMBER: KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA, KOMNAS HAM, HARTONO KARTODIHARDJO, MARIA S.W. SUMARDJONO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus