Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan suara parau, Imam Nahrawi mengucapkan sa-lam perpisahan kepada semua pegawai Kementerian Pe--muda dan Olahraga pada Ka--mis, 19 September lalu. Bukan karena kabinet akan berganti, politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu berpamitan lantaran ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di ujung masa jabatannya. Imam mengatakan sudah menyampaikan surat pengunduran diri kepada Presiden Joko Widodo. “Saya ingin berfokus menghadapi itu,” ujarnya masygul di Aula Wisma Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Pengunduran diri Imam hanya berselang sehari dengan penetapan tersangka. Komisi antikorupsi menetapkan bekas Sekretaris Jenderal PKB itu sebagai -tersangka suap pengurusan dana hibah Komite Olah-raga Nasional Indonesia (KONI). KPK me-ngantongi bukti Imam menerima duit Rp 14,7 miliar melalui asisten pribadinya, Mif-tahul Ulum, dari proyek hibah KONI. “IMR (Imam Nahrawi) selaku Menpora juga diduga meminta uang Rp 11,8 miliar dalam rentang waktu 2016-2018,” kata Alexander Marwata, Wakil Ketua KPK.
Menurut Alex, besel tersebut adalah com-mitment fee atas proposal pengurusan hibah yang diajukan KONI kepada Kemente-rian Pemuda dan Olahraga pada 2018. Imam juga diduga menerima duit suap terkait dengan posisinya sebagai Ketua Dewan Pengarah Satuan Pelaksana Program In--donesia Emas. “Uang itu digunakan untuk kepentingan pribadi Menpora dan pihak lain,” ujar Alex.
Proses penyelidikan kasus Imam dan Ulum dimulai pada Juni lalu. Ini merupakan pengembangan kasus operasi tangkap tangan Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara KONI Johnny F. Awuy, Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi dan Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga Mulyana, serta Pejabat Pembuat Komitmen Kementerian Pemuda dan Olahraga Adhi Purnomo dan anggota stafnya, Eko Triyanto, pertengahan Desember 2018.
Ketika itu, Hamidy dan Johnny baru saja mencairkan dana hibah dari Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk pengawasan dan pendampingan seleksi bakal calon atlet dan pelatih SEA Games 2019 senilai Rp 17,9 miliar. Dari jumlah tersebut, sekitar 19 persen dialokasikan untuk fee kepada Ulum dan beberapa pejabat Kementerian Olahraga.
Dari proses persidangan Hamidy dan Johnny terungkap keduanya memberikan duit pelicin kepada Menteri Imam Nahrawi melalui Ulum. Keterangan ini kemudian diperkuat amar putusan terhadap Hamidy dan Johnny pada 20 Mei 2019.
Ulum diduga yang menyarankan Hamidy mengajukan proposal pengawasan dan pendampingan Rp 25 miliar kendati sudah memasuki akhir tahun. Ulum sempat memanggil Hamidy ke ruang kerjanya di lantai 10 gedung Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Ruang kerja Ulum berada di samping ruangan menteri. Ulum menjelaskan kepada Ha-midy mengenai banyaknya pejabat Kementerian Olahraga yang dipanggil Kejaksaan Agung pada Juli 2018. Pemanggilan ini terkait dengan dana bantuan Rp 25 miliar dari Kementerian Olahraga kepada KONI pada 2017.
Kejaksaan menganggap ada kesalahan terkait dengan bantuan pengawasan dan pendampingan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk KONI pada 2017 yang diusulkan lewat proposal Rp 26,5 miliar. Sedangkan anggaran yang turun hanya Rp 25 miliar. Perubahan jumlah dana yang turun tersebut tidak ada dasarnya dan tidak ada rencana anggaran belanja.
Menurut Ulum, seperti tertuang dalam dokumen persidangan yang diperoleh Tempo, Kejaksaan Agung akan memanggil KONI. Karena itu, Ulum mengajukan proposal dana Rp 7 miliar untuk biaya entertainment penghentian pemanggilan para pejabat Kementerian Olahraga.
Proposal ini sempat mangkrak dua bulan karena tim verifikasi menganggapnya janggal dan mereka tak berani memprosesnya. Sebab, beberapa bulan sebelumnya ditandatangani nota kesepakat-an pemberian bantuan dana dari Kementerian Pemuda dan Olahraga kepada KONI dalam rangka pengawasan dan pendampingan sebesar Rp 30 miliar. Nota kesepakatan bantuan Rp 30 miliar ini berlaku setahun alias sampai Desember 2018, sehing-ga tidak mungkin lagi ada pemberian bantuan dengan kegiatan yang sama.
Mulyana menyiasatinya dengan mengubah judul proposal dan peruntukan anggarannya menjadi database atlet dalam rapat pada Oktober 2018. Menurut Mulyana, rapat tersebut legal karena berdasarkan disposisi Menteri Imam Nahrawi yang bertulisan “telaah dan laporkan”. Mulyana juga di--kejar-kejar Ulum agar segera -memproses proposal yang disebut “untuk entertainment” itu.
Karena ada permintaan khusus itu, Mulyana beserta tim verifikasi dan tim hukum akhirnya menyetujui anggaran proposal Rp 15 miliar. Namun Hamidy merasa anggaran tersebut kurang karena ada daftar permintaan dari Ulum untuk biaya menyelesaikan perkara sehingga diotak-atik lagi menjadi Rp 17,9 miliar. Proposal yang disetujui Rp 17,9 miliar itu kemudian digunakan untuk fee Kementerian Pemuda dan Olahraga Rp 3,4 miliar, biaya operasional KONI, serta alokasi biaya entertainment Kejaksaan Agung Rp 6-7 miliar.
Bukan cuma sekali ini Hamidy dan Ulum memainkan anggaran kementerian -dengan pemberian fee. Di persidangan, Hamidy meng-aku mendapat laporan dari Johnny F. Awuy bahwa telah memberikan uang kepada Menteri Pemuda dan Olahraga melalui Ulum berupa kartu anjungan tunai mandiri dengan saldo Rp 100 juta dan pemberian lain.
Hamidy mengatakan total pemberian kepada Ulum sebesar 5-7 persen dari besaran anggaran yang dicairkan. Namun anggaran tersebut bisa lebih besar jika anak buah Hamidy sekiranya mampu menyiasati laporan pertanggungjawabannya nanti.
Dalam persidangan juga terungkap bahwa Menteri Imam pernah meminta honor kepada Mulyana. Dalam keterangan Mulyana di persidangan, Imam menanyakan honor Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas ketika di lapangan bulu tangkis Kementerian Olahraga pada awal 2018.
Mulyana yang saat itu baru diangkat sebagai deputi IV langsung memanggil pejabat pembuat komitmen bernama Chandra. Saat itu, kata Mulyana, terjadi diskusi di antara mereka yang kemudian sepakat memberikan uang Rp 1 miliar kepada Imam. “Saya sampaikan (kepada Chandra) karena beliau sebagai menteri, beri saja Rp 400 juta. Terus Pak Chandra bilang, ‘Jangan, Rp 1 miliar saja,’” ucap Mulyana. Setelah kesepakatan itu, Mulyana meminta sopirnya memberikan uang melalui Ulum.
Berbekal fakta-fakta yang muncul di persidangan dan amar putusan itu, penyelidik KPK mengusut keterlibatan Imam dan Ulum selama dua bulan. Tiba saat gelar perkara pada 22 Agustus 2019, kelima pemimpin KPK bersepakat menaikkan kasus Imam dan Ulum ke penyidikan.
Pimpinan KPK kemudian menerbitkan surat perintah penyidikan dengan nomor Sprin.Dik/93/DIK.00/01/08/2019 untuk tersangka Miftahul Ulum dan Sprin.Dik/94/DIK.00/01/08/2019 bertanggal 28 Agustus 2019 atas nama tersangka Imam Nahrawi. Setelah penerbitan surat perintah penyidik-an ini, KPK kemudian meminta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mencegah Imam dan Ulum bepergian ke luar negeri.
Imam Nahrawi membantah menerima suap. “Saya tidak pernah menerima dan me-minta,” ujarnya. Ulum juga tak mengakui menerima duit-duit tersebut. “Saya tidak tahu dan tidak pernah merasa menerima,” ucap Ulum.
LINDA TRIANITA, IRSYAN HASYIM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengalir Lewat Asisten Pribadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo