BERBAGAI gencatan senjata telah dicapai di Libanon sejak
berlangsungnya sengketa berdarah yang berlarut-larut selama 9
bulan. Tapi yang tercapai akhir pekan silam jelas berbeda. Di
tengah-tengah invasi pasukan-pasukan Palestina dari wilayah
Suriah ke Libanon, Menlu Suriah, Halim Khadam, bekerja keras
bersama sejumlah diplomat Arab. Dan akhirnya dicapailah suatu
gencatan senjata yang mengubah segalanya yang pernah diletakkan
Perancis di tahun 1943.
Suriah yang berbatasan dengan Libanon sejak lama merupakan
negara yang berusaha keras untuk mengatasi ketegangan yang
memperhadapkan golongan Islam dan Kristen dalam pertikaian
berdarah. Penamaan agama ini tidak sepenuhnya tepat, karena
dalam konflik ini bercampur pula masalah kelas sosial dan
ideologi politik. Kebanyakan golongan Islam memang dipengaruhi
faham Nasser, dan mereka berasal dari kelas yang lebih melarat.
Kebanyakan golongan Kristen yang bertempur memang "kanan" -- dan
banyak Kristen "kiri" yang ikut melawan mereka. Mungkin itulah
sebabnya orang Suriah yang "revolusioner" yang diterima mereka.
Dan pekan silam, diplomasi Khaddam berhasil dengan konsep 7
pasalnya. Mula-mula golongan Kristen kanan memang enggan
menerima kenyataan perubahan sosial yang mengakhiri hak-hak
istimewa mereka di Libanon, tapi tekanan dari berbagai pihak
(termasuk Perancis, yang kini dipercayai golongan Kristen untuk
memperjuangkan kepentingan mereka) akhirnya tidak bisa
dielakkan. Penundaan penyelesaian damai hanya akan membawa
Libanon ke perpecahan menjadi 2 negara -- Islam dan Kristen --
sebagai yang kabarnya sudah dibicarakan di Gedung Putih
pertengahan pekan silam.
Orang-orang Kristen Maronit yang ketika dimerdekakan Perancis di
tahun 1943 merupakan mayoritas di Libanon, kini hanya merupakan
40 persen dari seluruh penduduk Libanon. Dalam keadaan
demikianlah datangnya konsep damai Suriah yang memutuskan bahwa
kini tidak banyak lagi hak-hak Istimewa orang-orang Kristen
--mempunya anggota parlemen lebih banyak dari pihak Islam
(perbandingan 6 lawan 5) menduduki posisi penting dalam
kemiliteran dan sebagainya -- sebagai yang ditetapkan Perancis
ketika memerdekakan negeri itu di tahun 1943. Sejak lama
golongan Islam yang makin besar jumlahnya itu menghendaki mereka
diwakili dengan pantas di parlemen, tapi pihak Kristen yang
selalu menunjuk pada undang-undang dasar selalu menolak.
Akhirnya terjadilah perpecahan berdarah yang bermula 9 bulan
yang lalu.
Dan perpecahan itu betul-betul sesuatu yang mengerikan, antara
lain karena campur tangan pasukan Palestina yang memihak
golongan Islam. Lebih dari 9 ribu orang tewas dalam 9 bulan
suatu jumlah yang 4 kali lebih besar dari korban di Irlandia
Utara selama 4 tahun terakhir. Perampokan dan perusakan terjadi
di mana-mana, tapi terutama terhadap sarana-sarana turisme di
Beirut. Kota yang dijuluki Paris di Timur Tengah itu berantakan
tidak karuan setelah dihancurkan dan ditinggal pergi bukan saja
oleh para turis dan orang asing yang menetap, tapi juga
sepersepuluh dari penduduk Libanon yang berjumlah 3 juta jiwa
itu.
Tentara Libanon yang didominir oleh perwira-perwira Kristen juga
tidak bisa berbuat banyak. Dari 1 ribu tentara, hanya sejumlah
kecil saja yang merupakan pasukan tempur. Libanon yang dari dulu
merupakan negeri turis dan tidak pernah secara militer
terangterangan melibatkan diri pada sengketa dengan Israel,
memang cuma butuh polisi. Dan tentara yang jumlahnya sedikit itu
pun ditakutkan juga akan berantakan kalau mencoba memihak suatu
golongan yang bertikai.
Kini, ada lagi gencatan senjata baru. Juga ada perubahan pola
sosial politik: jumlah anggota parlemen golngan Islam menjadi
sama dengan Kristen Perdana Menteri dipilih oleh parlemen
Dibentuk Mahkamah Konstitusi, dan sebagainya. Tapi Libanon masih
harus menghadapi berbagai cobaan sebagai yang telah dialami oleh
sejumlah gencatan senjata terdahulu. Tantangan terutama terhadap
keadaan damai baru ini adalah keengganan beberapa pemuka Kristen
-- dan mereka mempunyai pasukan pribadi -- untuk tunduk pada
kesepakatan yang telah diterima oleh Presiden Sulaiman Franjih.
Tapi jika toh keengganan itu menyebabkan pertumpahan darah
berlanjut, Libanon akhirnya tidak bisa lain kecuali menjadi 2
negara: Islam dan Kristen. Kini pun wilayah negeri itu secara
tidak resmi sebenarnya sudah terbagi dua, daerah urban diduduki
Kristen, dan pinggiran o]eh pihak Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini