Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Akhir tragedi, awal tragedi ?

Menlu suriah, halim khaddam berhasil mengajukan kon sep 7 pasalnya untuk membantu perdamaian di libanon. gencatan senjata dan persamaan jumlah anggota parlemen golongan islam dan kristen disepakati. (ln)

31 Januari 1976 | 00.00 WIB

Akhir tragedi, awal tragedi ?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BERBAGAI gencatan senjata telah dicapai di Libanon sejak berlangsungnya sengketa berdarah yang berlarut-larut selama 9 bulan. Tapi yang tercapai akhir pekan silam jelas berbeda. Di tengah-tengah invasi pasukan-pasukan Palestina dari wilayah Suriah ke Libanon, Menlu Suriah, Halim Khadam, bekerja keras bersama sejumlah diplomat Arab. Dan akhirnya dicapailah suatu gencatan senjata yang mengubah segalanya yang pernah diletakkan Perancis di tahun 1943. Suriah yang berbatasan dengan Libanon sejak lama merupakan negara yang berusaha keras untuk mengatasi ketegangan yang memperhadapkan golongan Islam dan Kristen dalam pertikaian berdarah. Penamaan agama ini tidak sepenuhnya tepat, karena dalam konflik ini bercampur pula masalah kelas sosial dan ideologi politik. Kebanyakan golongan Islam memang dipengaruhi faham Nasser, dan mereka berasal dari kelas yang lebih melarat. Kebanyakan golongan Kristen yang bertempur memang "kanan" -- dan banyak Kristen "kiri" yang ikut melawan mereka. Mungkin itulah sebabnya orang Suriah yang "revolusioner" yang diterima mereka. Dan pekan silam, diplomasi Khaddam berhasil dengan konsep 7 pasalnya. Mula-mula golongan Kristen kanan memang enggan menerima kenyataan perubahan sosial yang mengakhiri hak-hak istimewa mereka di Libanon, tapi tekanan dari berbagai pihak (termasuk Perancis, yang kini dipercayai golongan Kristen untuk memperjuangkan kepentingan mereka) akhirnya tidak bisa dielakkan. Penundaan penyelesaian damai hanya akan membawa Libanon ke perpecahan menjadi 2 negara -- Islam dan Kristen -- sebagai yang kabarnya sudah dibicarakan di Gedung Putih pertengahan pekan silam. Orang-orang Kristen Maronit yang ketika dimerdekakan Perancis di tahun 1943 merupakan mayoritas di Libanon, kini hanya merupakan 40 persen dari seluruh penduduk Libanon. Dalam keadaan demikianlah datangnya konsep damai Suriah yang memutuskan bahwa kini tidak banyak lagi hak-hak Istimewa orang-orang Kristen --mempunya anggota parlemen lebih banyak dari pihak Islam (perbandingan 6 lawan 5) menduduki posisi penting dalam kemiliteran dan sebagainya -- sebagai yang ditetapkan Perancis ketika memerdekakan negeri itu di tahun 1943. Sejak lama golongan Islam yang makin besar jumlahnya itu menghendaki mereka diwakili dengan pantas di parlemen, tapi pihak Kristen yang selalu menunjuk pada undang-undang dasar selalu menolak. Akhirnya terjadilah perpecahan berdarah yang bermula 9 bulan yang lalu. Dan perpecahan itu betul-betul sesuatu yang mengerikan, antara lain karena campur tangan pasukan Palestina yang memihak golongan Islam. Lebih dari 9 ribu orang tewas dalam 9 bulan suatu jumlah yang 4 kali lebih besar dari korban di Irlandia Utara selama 4 tahun terakhir. Perampokan dan perusakan terjadi di mana-mana, tapi terutama terhadap sarana-sarana turisme di Beirut. Kota yang dijuluki Paris di Timur Tengah itu berantakan tidak karuan setelah dihancurkan dan ditinggal pergi bukan saja oleh para turis dan orang asing yang menetap, tapi juga sepersepuluh dari penduduk Libanon yang berjumlah 3 juta jiwa itu. Tentara Libanon yang didominir oleh perwira-perwira Kristen juga tidak bisa berbuat banyak. Dari 1 ribu tentara, hanya sejumlah kecil saja yang merupakan pasukan tempur. Libanon yang dari dulu merupakan negeri turis dan tidak pernah secara militer terangterangan melibatkan diri pada sengketa dengan Israel, memang cuma butuh polisi. Dan tentara yang jumlahnya sedikit itu pun ditakutkan juga akan berantakan kalau mencoba memihak suatu golongan yang bertikai. Kini, ada lagi gencatan senjata baru. Juga ada perubahan pola sosial politik: jumlah anggota parlemen golngan Islam menjadi sama dengan Kristen Perdana Menteri dipilih oleh parlemen Dibentuk Mahkamah Konstitusi, dan sebagainya. Tapi Libanon masih harus menghadapi berbagai cobaan sebagai yang telah dialami oleh sejumlah gencatan senjata terdahulu. Tantangan terutama terhadap keadaan damai baru ini adalah keengganan beberapa pemuka Kristen -- dan mereka mempunyai pasukan pribadi -- untuk tunduk pada kesepakatan yang telah diterima oleh Presiden Sulaiman Franjih. Tapi jika toh keengganan itu menyebabkan pertumpahan darah berlanjut, Libanon akhirnya tidak bisa lain kecuali menjadi 2 negara: Islam dan Kristen. Kini pun wilayah negeri itu secara tidak resmi sebenarnya sudah terbagi dua, daerah urban diduduki Kristen, dan pinggiran o]eh pihak Islam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus