KAUM teroris sejak beberapa bulan ini semakin menghantui rakyat
Turki. Tidak hanya penduduk di kota besar seperti Ankara dan
Istanbul terancam, tapi juga mereka yang tinggal di kota kecil
dan desa. Bahkan tidak sedikit di antara penduduk yang sudah
menutup pintu rapat-rapat pada sore hari. Sementara kalangan
bisnis menyewa body-guard. Dan tak jarang mereka harus mengubah
rute perjalanan setiap hari.
Suasana teror itu tidak bisa dilepaskan dari keguncangan politik
yang terjadi sejak diangkatnya PM Suleyman Demirel, November
tahun lalu. Dan ini diikuti dengan semakin menajamnya
pertentangan Partai Keadilan (JP) yang dipimpin Demirel dengan
Partai Republik Rakyat (RPP) yang dipimpin bekas PM Bulen
Ecevit.
Ecevit yang menjadi pemimpin partai oposisi dan berhaluan kiri
telah berulang kali mengajak Demirel membentuk pemerintahan
koalisi besar. Tapi Demirel tetap menolak. PM itu rupanya
mengharapkan dukungan Partai Aksi Nasionalis(NAP) yang berhaluan
ekstrim kanan dan Partai Keselamatan Nasional (NSP) yang
didukung kaum Muslim fundamentalis.
Pertentangan ini sudah membuahkan berbagai pembunuhan politik.
Akhir Mei, misalnya, Gun Sazak, bekas menteri dan tokoh NAP,
terbunuh akibat tembakan kelompok revolusioner Marxis.
Sifat ketegangan antara kelompok ekstrim kanan dan ekstrim kiri
sudah hampir melembaga. Sehingga setiap pembunuhan politik
disusul dengan tindakan pembalasannya. Melihat keadaan ini,
pihak militer jauh hari sudah memperingatkan bahwa "intervensi
militer mungkin tidak bisa dielakkan." Apalagi keadaan ekonomi
negara itu semakin memburuk. Bila tingkat inflasinya sudah
mencapai 100% setahun, tingkat penganggurannya mencapai 20%,
sementara meningkatnya urbanisasi.
Apa Ya?
"Kesabaran kami ada batasnya," demikian Jenderal Kenan Evren,
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Turki dalam suatu surat
(Februari) kepada pimpinan partai politik. Namun intervensi
tentara Turki tertunda oleh ancaman sanksi AS. Soalnya ialah AS
mensuplai banyak kebutuhan militer Turki. Sampai sekarang Turki
berutang US$ 16 milyar dari AS dan negara Barat lainnya.
Tapi di tengah memuncaknya krisis politik dan semakin
meningkatnya aksi teror, para jenderal akhirnya tak punya
pilihan lain. Suatu kudeta tak berdarah berlangsung pekan lalu.
Tank dan kendaraan berlapis baja tampak menyusuri jalan-jalan
strategis di Ankara. Sementara satuan tentara secara terpencar
mendatangi rumah para tokoh politik.
Hari itu (12 September) lebih dari 100 anggota parlemen
ditangkap. PM Demirel, Ketua RPP Ecevit dan Ketua NSP Necmetin
Erbakan juga ditahan. Sedang Ketua NAP, bekas Kolonel Alpaslan
Turkes, sempat melarikan diri dari rumahnya. Tapi dua hari
kemudian ia menyerahkan diri pada pos militer terdekat.
Dalam pidatonya Jenderal Kenan Evren mengatakan bahwa tindakan
ini diambil demi menyelamatkan Turki dari perang saudara. Ini
kudeta ketiga setelah yang terjadi pada tahun 1960 dan 1971.
Semuanya berjalan tanpa pertumpahan darah. Evren berjanji
penguasa militer tidak akan menghukum para anggota parlemen
karena aktifitas politik. "Kecuali mereka menentang pemerintahan
yang baru ini," kata Evren.
Dengan dibubarkannya parlemen dan kabinet Demirel, kini berkuasa
Dewan Keamanan Nasional yang dipimpin oleh Jenderal Evren. Dewan
ini beranggotakan KSAD Jenderal Nurettin Ersin, KSAU Jenderal
Tahsin Sahinkaya, KSAL Laksamana Nejat Tumer, dan Kepala
Kepolisian Negara Jenderal Sedat Celsun serta Komandan Satuan
Tugas Laut Aegan.
Berapa lama begini? "Militer akan menyerahkan kekuasaan ini
kepada Dewan Menteri yang akan dibentuk secepat mungkin," kata
Jenderal Evren. Apa ya? Menurut pengalaman dari kedua kudeta
sebelumnya, penguasa militer memang tak ingin berkuasa terlalu
lama. Setelah berlangsungnya pemilu Oktober '61, misalnya,
kekuasaan sipil hidup kembali.
Namun kekuasaan militer kali ini sukar ditebak. Karena krisis
politik yang disertai teror belakangan ini memang tergolong luar
biasa. Dalam tahun ini saja ada 5241 korban pembunuhan politik.
Dengan adanya kudeta itu, jelas suasana di Ankara jadi tenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini