CUKUP seraam juga: rata-rata setiap dua hari sekali terjadi
pembunuhan di Jakarta. Tapi gambaran yang terlihat tak
sepenuhnya muram. Terutama bila kita dengar keterangan dr. Abdul
Mun'im Idries, 33 tahun, Sekretaris Bidang Akademis Lembaga
Kriminologi UI (LKUI). Lembaga ini menangani kasus pembunuhan,
atau yang diduga korban pembunuhan, di Jakarta.
Menurut ahli Patologi Forensik ini, jumlah pembunuhan di Jakarta
tidak menunjukkan kenaikan yang berarti. Pertambahannya masih
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Ia menunjuk
angka-angka. Pada 1968-1972, terdapat hampir 600 kasus
pembunuhan dan yang diduga korban pembunuhan. Jumlah penduduk
Jakarta pada 1970 hampir 4,5 juta jiwa. Jadi besarnya angka
kematian akibat pembunuhan adalah 13,35 per 100 ribu penduduk.
Lima tahun berikutnya (1973-1978) terdapat hampir 750 kasus
pembunuhan. Dibanding jumlah penduduk yang mendekati 5,5 juta
(1975), angka kematian akibat pembunuhan adalah 13,56 per 100
ribu orang. "Jadi boleh dibilang perkembangannya biasa-biasa
saja," ujar Mun'im Selama 1980, sampai Juli, tercatat 112
pembunuhan di Jakarta atau alias sekali setiap 2 hari.
Dari kasus yang ditangani LKUI, Mun'im menilai pembunuhan dengan
menggunakan senjata api cenderung menurun. Selama periode
1968-1972 tercatat ada 75 pembunuhan dengan senjata api
(24,67%). Angka ini menurun menjadi 63 (13,70%) pada 1973-1977.
"Justru penggunaan senjata tajam yang meningkat," katanya. Yaitu
dari 118 (38,82%) pada 1968-1972 menjadi 317 (68,91%) pada
1973-1977.
Mengapa meningkat? "Sebab senjata tajam praktis, mudah diperoleh
serta agak leluasa dipergunakan. Tukang buah juga membawa
senjata tajam walaupun bukan untuk kejahatan," kata Mun'im.
Metode pembunuhan lain yang tercatat misalnya menggunakan benda
tumpul, pencekikan, penjeratan dan pembekapan. Juga dipakai cara
menenggelamkan, menyiramkan air panas atau menggunakan racun.
Mun'im melihat ada semacam "musim-musim" dalam pembunuhan, Ada
"musim" ketika yang banyak dibunuh ialah sopir taksi, ada
"musim" main tusuk, dan sebagainya. Juga terlihat semacam pola:
pembunuhan sering terjadi pada triwulan pertama dan keempat,
"Apa sebabnya belum diketahui," ujarnya. Juga: banyak pembunuhan
terjadi pada hari Rabu.
Dalam beberapa kasus, terlihat peningkatan kualitas. Misalnya
kasus pembunuhan Drs. Wibowo. Wibowo dibunuh dengan menggunakan
insektisida. Berarti pembunuhnya mempunyai pengetahuan tentang
racun.
Apa yang mendorong kejahatan ini? Menurut Mun'im umumnya
disebabkan karena sesuap nasi. "Boleh dibilang hampir 90% karena
kebutuhan perut," ujar dokter Mun'im pula. Akibatnya sering
terjadi ketidakseimbangan antara hasil dengan perbuatan.
Misalnya: orang membunuh sopir taksi D untuk memperoleh uang Rp
10.000.
Menurut Mun'im, ini dapat diterangkan dengan teori akumulasi
frustrasi. "Frustrasi sudah menumpuk, hingga sangat sensitif,"
katanya. Misalnya anak mau sekolah, tapi uang sekolah tak ada.
Misal lain meskipun membayar, orang naik bis juga mesti
berdesak-desakan. Frustrasi ini terhimpun. Begitu ada yang
menyulut, biarpun soal kecil, terjadilah tindakan kriminal itu.
Operasi Sapujagat? Menurut Mun'im melihat Laksus yang menangani
kejahatan bersenjata yang ada sekarang, tentunya ada dugaan
meningkatnya kejahatan politik. Ia sendiri, berdasar data
pembunuhan yang ada di LKUI, merasa "tidak ada apa-apa". Tapi
lanjutnya, "saya tidak tahu kasus kejahatan lain yang tidak kami
tangani."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini