KETIKA Yitzhak Rabin berpidato di Yerusalem sehabis meneken pengakuan terhadap PLO sebagai wakil bangsa Palestina, Jumat pekan lalu, ia menyebutkan ada seorang wanita yang berperan penting dalam perdamaian PLO-Israel ini. Wanita itu adalah Mariane Heilberg, istri Johan Jorgen Holst, menteri luar negeri Norwegia. Lalu secara khusus, sehabis acara sambutan dari Rabin dan Peres, perdana menteri Israel itu minta wanita tersebut maju ke depan. Rabin, lalu Peres, menyalami wanita yang tampak sederhana ini. Dan tepuk tangan di ruangan itu pun terdengar. Mariane, ibu lima anak dan yang terkecil berumur empat tahun, adalah anggota Institut Norwegia untuk Ilmu Sosial Terapan (FAFO). Institut ini pada tahun 1990-1992 menyelenggarakan survei mengenai kehidupan di daerah pendudukan Tepi Barat. Marianne adalah pemimpin proyek penelitian itu. Dari kegiatan inilah sejarah mahapenting, yang Insya Allah mengakhiri permusuhan dua negara bertetangga, diukir. Awalnya, September 1992, seorang diplomat Norwegia datang ke Israel untuk menanyakan kelanjutan survei tersebut. Salah satu materi sampingan, bukan hal pokok, yang disinggung adalah soal perundingan Palestina-Israel yang macet. Norwegia, yang mempunyai hubungan baik dengan kedua pihak, menawarkan diri menjadi penengah. Singkat kata, perundingan pun bergulir di Oslo, mulai Januari 1993, dan bisa dibilang sukses (lihat TEMPO, 11 September 1993, Laporan Utama). Dan itu semua berkat satu orang, yakni Holst tadi. Dialah yang membuat ''minyak'' dan ''air'' bisa bertemu, antara lain, karena terobosan dan kegesitannya. Pada Rabu pekan lalu ia berada di Paris untuk bertemu dengan delegasi PLO-Israel. Di kota ini, titik temu pendirian kedua pihak tercapai. Menteri luar negeri yang tampak santai itu tak mau kehilangan kesempatan. Ia pun berperan sebagai kurir, tentu saja kurir tingkat tinggi. Kamis hari berikutnya ia langsung terbang ke Tunis, membawa surat yang harus diteken oleh Arafat. Jumatnya ia terbang ke Yerusalem, membawa surat yang harus ditandatangani oleh Rabin. Holst, ketika berbicara pada 30 Agustus lalu, melukiskan peranannya dalam proses ini sebagai ''aktor di belakang layar''. Dan mesti ditambahkan, ia aktor yang pantas mendapatkan ''Oscar''. Resep Holst, sebagai penengah untuk konflik yang sulit ini, sederhana saja: masalah boleh serius, tapi suasana harus tetap santai. Dan salah satu pembawa santai itu adalah David, anak bungsu Holst yang berumur empat tahun, yang sering diajaknya hadir di tengah perundingan wakil-wakil Israel dan PLO di rumah tua miliknya di Oslo. Konon, di Tunis, ketika Holst bertemu Arafat, ketua PLO yang cinta anak-anak itu sempat menimang- nimang David yang juga dibawa ayahnya. Johan Jorgen Holst, kini 56 tahun, tampaknya memang punya bekal menjadi aktor di belakang layar itu. Sarjana politik dari Universitas Oslo ini selama dua kali menduduki jabatan Direktur Lembaga Norwegia untuk urusan internasional, yakni tahun 1969-1976 dan 1981-1986. Selepas dari lembaga itu, ia diangkat sebagai menteri pertahanan (1986-1993). Menteri ini juga fasih berbahasa Rusia, dan pernah menjadi peneliti di Pusat Kajian Internasional Universitas Harvard. Mungkin itu sebabnya bahasa Inggrisnya beraksen Amerika. Ia, selain seorang politikus, memang ilmuwan. Sebagai seorang ilmuwan, Holst berkali-kali tampil dalam seminar internasional. Ia pernah menyatakan, dulu, sebelum perang dingin usai, perlunya Amerika Serikat dan Uni Soviet mempertimbangkan kembali peranannya sebagai dua negara superkuat. Ini mengingat kondisi dunia tidak lagi seperti tahun 1960-an, ketika kekuatan persenjataan dunia memang terkonsentrasi di dua negara superkuat itu. Kini, katanya, di luar AS dan Uni Soviet, banyak negara sudah pula memiliki nuklir. Masih banyak peran lain yang ia pegang. Ia, misalnya, anggota Dewan Politik Luar Negeri Partai Buruh, asisten khusus Ketua Komisi Dunia untuk Pembangunan dan Lingkungan. Ia juga konsultan ilmiah untuk Komisi Palme dalam perlucutan senjata dan isu keamanan. Holst adalah anggota Dewan Penasihat untuk Pengawasan dan Perlucutan Senjata Norwegia sejak 1969, dan baru mengundurkan diri setelah aktif di pemerintahan. Dan selama dua tahun, 1984-1986, dia mengepalai suatu tim pengarah untuk Pendekatan Baru Perluasan Senjata. Jelas, dari riwayat itu Holst banyak terlibat dalam kegiatan yang sifatnya antipeperangan. Ini sesuai dengan garis netral pemerintah Norwegia. Mungkin karena pengalamannya yang begitu banyak itu, Holst bisa dengan cepat memainkan bola. Ia bisa menerobos kemacetan perdamaian PLO-Palestina, yang pembicaraannya disponsori Amerika, dan sudah masuk ke putaran sebelas ini. Majalah The Economist bahkan menilai, terobosan dari negara kecil Norwegia ini mestinya mempermalukan Amerika. Dialah orang di belakang layar yang mengubah sejarah Timur Tengah. Iwan Qodar Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini