Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Gaza-jericho dulu: perdamaian penuh risiko

Inilah jalan yang penuh tantangan, yang penuh masalah yang bisa membuat perdamaian berantakan. sebuah sikap baru diperlukan: memandang sejarah dengan sudut pandang demi perdamaian masa depan.

18 September 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sebuah tembok di wilayah Israel, di perbatasan menuju Jalur Gaza, sebuah tulisan mencolok dengan cat putih terlihat pekan lalu: Imagine. Ini tentu ditulis oleh anak-anak muda penggemar The Beatles, pencipta Imagine. Dan itulah lagu perdamaian. ''Bayangkanlah tak ada negara, karena itu kita tak harus membunuh atau dibunuh. Bayangkanlah semua orang hidup dalam damai. Mungkin kamu bilang aku pemimpi. Tapi aku tak sendiri ....'' Jalan perdamaian antara Palestina dan Israel akhirnya resmi dibuka. Dan bagaikan sebuah nyanyian, lagu itu terbang menyentuh orang-orang. Tapi itulah, tak semuanya bisa terharu. Sejumlah orang Palestina maupun Yahudi seperti tak mendengarkan mereka malah marah, terusik, dan merasa dikhianati oleh Rabin, oleh Peres, oleh Arafat. Seorang lelaki tua yang pada zaman Perang Enam Hari tahun 1967 masih kanak-kanak, yang menyaksikan bagaimana keluarga dan teman-temannya tewas oleh peluru Yahudi, menilai kesepakatan Arafat dan Rabin bukan perdamaian, tapi penghancuran. Ia siap membunuh Arafat. Tak semua orang bisa melihat sejarah dengan sudut pandang baru. Apalagi bagi orang Palestina yang pernah hidup di Tanah Palestina sebelum terjadi imigrasi besar-besaran bangsa Yahudi ke tanah itu. Apalagi bagi mereka yang kemudian menjadi korban politik Zionisme yang merebut Palestina dengan segala cara. Maka, otonomi ''Gaza dan Jericho Dulu'' terasa tak sepadan dengan penderitaan selama ini. Coba pikir, suatu pemerintahan otonom memang bukan sebuah negeri berdaulat. Lagi pula, Jalur Gaza dan Jericho memang bukan tanah air yang luas lebih sempit dari seperlima-puluh luas daratan Israel. Tapi inilah jalan menuju sebuah Palestina merdeka, betapapun tak pastinya perjalanan itu. Sebab, pilihan yang lain adalah pilihan yang mandek: permusuhan terus dilangsungkan, sebagian bangsa Palestina tetap sengsara di wilayah pendudukan, sebagian yang lain terserak di sejumlah negara. Dan kenyataan pahit ini mesti juga dikatakan: perjuangan dengan kekerasan hampir 50 tahun belum juga memperoleh hasil. Dan di pihak Israel pun ini bukan pilihan yang aman. Jalan di depan setelah Gaza-Jericho berotonomi adalah sejumlah masalah. Bagaimana nanti keamanan para imigran Yahudi di Gaza dan Jericho? Bagaimana pula soal Tepi Barat yang imigran Yahudinya lebih padat, dan Yerusalem yang sensitif, diserahkan pada Palestina tanpa menimbulkan huru-hara dari pihak sayap kanan, yakni pendukung Likud? Tapi inilah jalan untuk menenteramkan ibu-ibu Israel yang selalu cemas anak lelakinya terkena wajib militer dan terancam oleh lemparan batu dan tikaman pisau Palestina. Dan ini pula jalan, betapapun penuh ranjau, agar Israel hadir sebagai negara ''normal'' di Timur Tengah dan bertetangga baik dengan negara-negara Arab. Mungkin ini pula jalan bagi Israel untuk mengakhiri ketergantungannya pada Amerika. Tapi, bagaimanapun sulitnya, itu harus diterima oleh bangsa Yahudi, juga Palestina. Para pengamat Timur Tengah tak begitu yakin Yasser Arafat dapat menangani kelompok radikal Palestina seperti Hamas dan Jihad Islamiyah di wilayah pendudukan. Sudah ada rencana, memang, menarik sekitar 5.000 anggota bersenjata PLO dari berbagai negara untuk dijadikan aparat keamanan di Gaza dan Jericho. Yang dicemaskan, justru mereka terpancing bentrok dengan tentara Israel yang ditugasi menjaga permukiman Yahudi. Dan bukankah Hamas maupun Jihad Islamiyah akan memanfaatkan konflik, sekecil apa pun, antara Israel dan Palestina untuk dikobarkan agar perdamaian berantakan? Lalu faksi-faksi radikal PLO di Damaskus yang siap membunuh Arafat. Ancaman ini tak bisa disepelekan mengingat mereka terlatih untuk melakukan hal seperti ini. Apalagi kelompok Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina pimpinan George Habash dan Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina pimpinan Nayef Hawatmeh resmi mengundurkan diri dari PLO, Jumat pekan lalu. Tapi tak semua pengamat memandang hari depan perdamaian ini dengan kelam. Sejumlah diplomat menilai, ancaman membunuh Arafat itu mencerminkan bahwa kelompok radikal Palestina itu sebenarnya terguncang dan khawatir ketinggalan kereta yang mendadak berangkat. Sumber-sumber di kalangan kelompok radikal menjelaskan kepada Reuters bahwa pihaknya khawatir bila Arafat dengan bantuan tentara Israel akan membasmi gerakan intifadah, dan perjuangan bangsa Palestina berhenti di Gaza dan Jericho saja. Langkah Arafat untuk menghentikan intifadah tersirat dalam surat pengakuan kedaulatan Israel yang dikirimkan ke Perdana Menteri Yitzhak Rabin, Kamis pekan lalu. Dalam suratnya itu, Arafat menjelaskan bahwa PLO setuju menyerukan kepada bangsa Palestina agar hidup normal dan bertanggung jawab mencegah segala aksi kekerasan. Padahal, sebelumnya, seorang pejabat PLO menolak tuntutan Rabin itu. ''Semua aksi kekerasan dan pelemparan batu bisa dihentikan bila semua tentara Israel ditarik mundur dari wilayah pendudukan,'' ujar pejabat itu. Tentu saja ini ditolak oleh Israel karena permukiman Yahudi akan tetap dijaga tentara Israel. Di sisi lain lagi, para pengamat melihat, sebenarnya kelompok radikal Palestina di wilayah pendudukan tak lagi sekuat yang diduga. Soalnya, kelompok ini bergantung pada dukungan dari luar, kabarnya dari Iran dan Suriah. Hingga kini, Iran tak mengeluarkan komentar apa pun mengenai perundingan damai PLO- Israel, sedangkan Suriah bersikap hati-hati. Karena itu, naga- naganya, nasib kelompok radikal Palestina bisa mirip nasib Khmer Merah di Kamboja setelah dukungan RRC ditarik, kelompok itu tak lagi sekuat sebelumnya. Demikian pula yang dialami kelompok sayap kanan Israel. Seperti dikatakan Elyakim Haetzni, seorang pemimpin permukiman Yahudi di Gaza, ''Kelompok kanan tak punya strategi jelas, dan kurang terpadu.'' Upayanya mengguncang pemerintahan Rabin, dengan memunculkan isu korupsi Menteri Dalam Negeri Aryeh Deri, ternyata gagal. Salah satu bukti kelompok itu kurang punya strategi adalah aksi-aksi protesnya yang menggerakkan pemblokiran kantor Perdana Menteri Rabin sehari penuh. Ternyata aksi itu hanya berjalan beberapa jam, keburu dihalau pihak keamanan yang mengerahkan mobil penyemprot air. Aksi itu pun hanya didukung 60.000 orang, jauh di bawah sejuta seperti yang diharapkan. Tapi memang ada hal yang bisa sangat menentukan kelangsungan damai ini. Yakni bagaimana ekonomi dibangun di Gaza dan Jericho. Menurut Ephraim Kleiman, profesor ekonomi di Universitas Hebrew di Yerusalem, tanpa pertumbuhan ekonomi, ''Radikalisme dan ketidakstabilan akan marak. Dan ini membahayakan seluruh proses perdamaian.'' Itu memang logis, dan tak hanya bisa terjadi di Palestina maupun Israel, tapi di mana saja. Perlu diketahui, gerakan intifadah dan sejumlah kerusuhan lain di wilayah pendudukan selama ini umumnya dilakukan oleh kelompok muda Palestina yang putus asa dan terimpit ekonomi. Untuk itu, Bank Dunia memperhitungkan, pemerintahan otonomi Palestina membutuhkan dana US$ 3 miliar. Dana bantuan yang direncanakan diberikan secara bertahap selama tiga tahun dan lima tahun itu dibutuhkan untuk membenahi infrastuktur seperti air bersih, pembangunan sekolah, program kesehatan, sarana jalan, selokan, dan penerangan listrik. Menurut Samir Hazboun, Ketua Jurusan Ekonomi di Universitas Bir Zeit di Tepi Barat, masih diperlukan tambahan dana US$ 6 miliar. Ini untuk membangun 50.000 unit rumah bagi 1,7 juta warga Palestina dan membangun industri di kedua wilayah itu. Masalahnya kini, apakah janji negara-negara maju dan Bank Dunia akan dipenuhi, nanti. Sebab, bantuan itu tak seperti pemberian uang dari seseorang kepada orang lain. Dalam hal Bank Dunia, misalnya. Lembaga keuangan internasional ini hanya bisa memberikan pinjaman kepada anggotanya. Pemerintahan di wilayah pendudukan belum menjadi anggota Bank Dunia. Lagi pula, biasanya pihak bank meminta jaminan dari sebuah pemerintahan yang kuat untuk ikut menjamin pinjaman itu. Masalah ini baru akan dibahas dalam Pertemuan Bank Dunia di Washington, pekan depan. Cara melunakkan kelompok radikal, salah satunya, memang dengan pembangunan ekonomi yang hasilnya bisa dirasakan oleh semua lapisan. Dan berkaitan dengan tetangga, dalam hal ini Israel, adalah membangun perekonomian hingga kesenjangan kedua negara dijembatani. Kini pendapatan per kapita di Gaza hanya seperdelapan dari pendapatan per kapita di Israel. Di luar itu, perlu juga dibentuk kerja sama ekonomi antara Palestina dan Israel. Ada yang menyebut, Benelux (Belgia, Nederland, dan Luxemburg) adalah contoh ideal. Ketiga negara ini menjalin kerja sama ekonomi menyeluruh sehingga tarif-tarif di ketiga negara hampir sama. Masalahnya, Benelux tak punya sejarah permusuhan yang mendalam. Itulah soalnya, bisakah Palestina dan Israel melihat sejarah dengan sudut pandang yang baru. Didi Prambadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus