BERABAD lampau, rombongan Bani Israel dari Mesir berhenti di Gurun Sinai. Mogok. Padahal, wilayah Palestina, tanah di tepi barat Sungai Yordan yang dijanjikan Ibrahim a.s. bagi keturunan Bani Israel, sudah tampak. Sebenarnya tak jelas, mengapa Ibrahim menjanjikan Tanah Palestina. Sebab, jauh sebelum Ibrahim bermukim di situ, Kabilah Kana'an sudah menguasainya, sampai batas pesisir Laut Tengah, sekitar 3.000 tahun SM. Seribu tahun kemudian, kawasan itu didatangi rombongan kabilah dari Pulau Kreta. Percampuran kedua bangsa ini melahirkan etnis baru: Palestina. Tak seperti Kabilah Kana'an yang pernah dikuasai Mesir, puak Palestina tergolong suku yang tangguh berperang. Mungkin karena ini rombongan Bani Israel mogok di Sinai. Mereka baru meneruskan perjalanan setelah Yoshua, yang menggantikan Musa sebagai pemimpin rombongan, memutuskan masuk lewat sebelah timur laut Sungai Yordan. Sasaran pertama untuk dikuasai adalah Jericho. Secara cerdik, Yoshua menyerbu dan menguasainya. Di kota ini, rombongan Bani Israel yang telah bertahun-tahun terkatung-katung di Gurun Sinai menjadi buas. Gubernur Jericho digantung dan 12 ribu warganya pun tewas disikat dalam waktu singkat. Sukses Yoshua menjadi awal pe- nguasaan bangsa Yahudi di Tanah Palestina. Tapi kemudian, ketidakstabilan politik dalam negeri Israel merangsang bangsa- bangsa di sekitarnya untuk menyerbu. Sejak 608 SM, berturut- turut wilayah Israel dikuasai oleh Mesir, Suriah, Babilonia, Persia, dan Imperium Romawi. Bahkan, kaum Yahudi sempat terusir dari Tanah Palestina ketika Cyrus dari Persia merebut wilayah itu dari Nebukadnezar dari Babilonia. Kekalahan kaum Yahudi di Palestina yang paling telak terjadi setelah imperium Islam mulai menaklukkan seantero Timur Tengah sampai Spanyol. Pasukan Perang Salib dari Eropa memang sempat menguasai Palestina selama 100 tahun. Tapi, sejak tahun 630, tak kurang dari seribu tahun wilayah itu dikuasai pasukan Muslim. Kekaisaran dinasti Utsman (Ottoman) dari Turki memegang rekor paling lama menguasai Palestina: 400 tahun, sejak 1516. Baru sekitar awal abad ke-19 terlihat gelombang kaum Yahudi memasuki lagi Palestina, terutama di kota-kota suci mereka seperti Yerusalem dan Jericho. Proses emigrasi ini mulanya berjalan damai. Kaum Yahudi berbaur dengan bangsa Arab. Apalagi di Yerusalem, yang disucikan oleh Yahudi, Kristen, maupun Islam. Saat itu, di Eropa, gerakan Zionisme (''kembali ke Zion'' alias kembali ke Yerusalem) sedang merebak di kalangan keturunan Yahudi. Theodore Herzl, wartawan Austria keturunan Yahudi, belakangan tak menginginkan Zionisme hanya sekadar gerakan keagamaan. Ia menekankan perlunya bentuk kedaulatan politik bagi bangsa Yahudi di Palestina sebagai wujud Zionisme modern. Pemikiran Herzl ini segera populer di kalangan Yahudi Eropa. Salah satu yang terpengaruh adalah Arthur Balfour. Pada November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris ini mencanangkan deklarasi yang menetapkan dukungan Inggris bagi pembentukan Negara Yahudi di Palestina. Deklarasi Balfour, tak pelak lagi, adalah dasar konflik Palestina-Israel di abad ke-20. Meski dicantumkan juga bahwa hak-hak kaum non-Yahudi dilindungi, toh bagi bangsa Arab di Palestina, deklarasi ini bak tikaman pisau di punggung. Dua tahun sebelumnya, Inggrislah yang membujuk kaum Arab Palestina agar memberontak terhadap kekuasaan Turki. Janjinya, bila sekutu Jerman di Timur Tengah dalam Perang Dunia I itu rontok, Inggris akan memberi mereka kemerdekaan. Agar tambah meyakinkan, dibuatlah Kesepakatan Sykes-Picot: dunia Arab selanjutnya berada dalam kebersamaan imperial Inggris-Prancis. Antara tahun 1919 dan 1936, populasi Yahudi di Palestina melonjak dari 58.000 orang menjadi 348.000, sedangkan populasi Palestina hanya naik setengahnya: dari 642.000 menjadi 978.000 orang. Karena Dana Nasional Yahudi yang dibentuk untuk membeli tanah bagi permukiman Yahudi tak berhasil membeli tanah yang luas, banyak emigran Yahudi yang mencaplok begitu saja tanah-tanah yang dianggap ''kosong''. Banjirnya emigran ini memberi semangat bagi pergerakan bawah tanah Yahudi di Palestina. Sasaran mereka tidak hanya membunuh Arab Palestina, tapi juga Inggris. Merasa tak mampu menangani kekacauan situasi, Inggris lalu menyerahkan kembali mandatnya pada Liga Bangsa-Bangsa, lembaga internasional yang pada tahun 1945 menjadi PBB. Namun, situasi tak kunjung adem. Setelah serangkaian pembantaian kaum Arab Palestina, pada 14 Mei 1948 kaum Yahudi mendadak sontak memproklamasikan berdirinya Negara Israel dengan Ben Gurion sebagai perdana menterinya. Ini kelancangan Yahudi karena pada 29 November 1947 PBB memutuskan membagi Palestina menjadi dua negara: Israel dan Palestina. Sewaktu Negara Israel diproklamasikan, kantong-kantong bangsa Palestina masih cukup luas. Selain di Tepi Barat, juga di bagian barat daya dan di utara, di perbatasan Libanon. Tapi, dengan pertimbangan agar pejuang Palestina bisa leluasa merebut wilayah yang dikuasai Israel, banyak terjadi imigrasi orang Palestina ke negara-negara Arab. Setelah perang enam hari pada tahun 1967, Israel merebut sejumlah wilayah negara Arab, termasuk Sinai, wilayah Mesir. Orang Palestina pun terjepit, dan terusir. Perjuangan makin keras. Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini