MUNGKIN ini akan menjadi pertemuan terbesar abad ini. Direncanakan, Senin pekan ini, di Gedung Putih, Washington, Yasser Arafat duduk semeja dengan Yitzhak Rabin dua seteru besar, dari dua bangsa yang sudah bermusuhan sejak 100 tahun lalu. Tapi tak ada yang tak berubah di dunia ini, maka keduanya bertemu. Bahkan tak sekadar bersalaman, tapi juga menandatangani Deklarasi Prinsip yang menandai berakhirnya permusuhan, dan mulai berdirinya pemerintahan otonomi Palestina di Jalur Gaza dan Kota Jericho. Mestinya, di antara seribu undangan untuk menyaksikan hari bersejarah itu, hadir bekas Presiden George Bush, Ronald Reagan, dan bekas presiden Jimmy Carter yang berperan dalam persetujuan Camp David, 1978. Di sisi lain tampak bekas Menteri Luar Negeri James A. Baker, tokoh yang bisa dikatakan pelopor perdamaian di Timur Tengah. Lalu delegasi Suriah, Libanon, dan Yordania, yang baru saja mengakhiri Konferensi Damai Timur Tengah putaran ke-11 di Washington, diminta menunda kepulangannya agar bisa menyaksikan upacara bersejarah ini. Banyak yang pesimistis bahwa Palestian dan Israel bisa menemukan formula damai. Tapi sejarah memang sering dimulai dari peristiwa kecil yang tak menarik perhatian. Dan ketika politik macet, ilmu dan seni menawarkan terobosan besar untuk melakukan perubahan. Perundinagn di Oslo, sebagaimana semua orang kini maklum, dimulai oleh sebuah tim riset yang meneliti kondisi hidup di Gaza dan Tepi Barat. Bila gongnya kemudian terjadi di Washington, tampaknya Amerika, yang pertama kali memelopori bertemunya tokoh Israel dan Yahudi secara resmi di meja perundingan, bahkan di zaman pemerintahan Likud yang keras, tak ingin kehilangan peran dalam sejarah ini. Menurut sementara orang, Presiden Bill Clinton buru-buru melakukan kontak dengan PLO begitu ''Setelah PLO mengakui Israel'', Jumat pekan lalu Menurut kantor berita Reuters, itulah kontak resmi pertama Washington dengan pihak PLO. Itulah, atas perintah Clinton, kepala perwakilan AS, Carol Stocker, di Tunis bertemu dengan Duta Besar PLO Hakam Balawi. Stocker menyampaikan undangan agar wakil-wakil PLO bisa hadir di Gedung Putih. Berdasarkan undangan inilah Yasser Arafat menyatakan bersedia terbang ke Washington, untuk meneken deklarasi yang semula akan dilakukan oleh Menteri Luar Negeri PLO, Farouk Khadoumi, yang ternyata mengundurkan diri, karena tak setuju dengan perjanjian damai itu. Awal pekan lalu, orang masih bertanya-tanya, adakah langkah besar Arafat dan Rabin terus ke depan atau terantuk batu dan mereka jatuh. Ya, di pihak masing-masing masih ada ganjalan. Misalnya, pihak Israel masih ngotot dan belum bersedia mengakui keberadaan PLO sebagai wakil bangsa Palestina. Itu jika PLO tidak menghapuskan salah satu pasal dalam konstitusinya yang menyatakan akan membersihkan Palestina dari unsur Zionisme. Tuntutan ini mustahil dipenuhi karena itu menyangkut persetujuan Dewan Nasional Palestina, parlemen Palestina di pengasingan, yang beranggotakan 600 orang dan tersebar di berbagai negara. Akhirnya, konon atas bujukan Holst, Rabin setuju bahwa pengakuan itu hanya dilakukan melalui Sidang Komite Eksekutif PLO, yang berjumlah 18 orang. Ini senada dengan pendapat Hanan Ashrawi, juru bicara delegasi Palestina untuk Konferensi Damai Timur Tengah, apakah bukan sekadar deklarasi yang dituntut Rabin itu. Dalam pemungutan suara di Komite Eksekutif untuk menghapuskan satu pasal dalam konstitusi PLO itulah Arafat memenangkan 16 dari 18 suara. Dua anggota menolak berpendapat, dan mengundurkan diri. ''Organisasi ini sudah tamat, kembali ke Gaza-Jericho atau tidak,'' ujar Mahmoud Darwis, salah seorang anggota yang mengundurkan diri dari komite itu. Di pihak Israel, Rabin tak banyak menemui kesulitan untuk mendapatkan persetujuan Knesset (parlemen Israel), untuk memberikan pengakuan pada PLO sebagai wakil bangsa Palestina. Koalisi Partai Buruh menduduki 65 dari 120 kursi di Knesset. Setelah kedua pihak memberikan isyarat setuju, barulah Menteri Luar Negeri Holst terbang ke Tunis, Kamis pekan lalu, untuk mengambil surat pengakuan kedaulatan Israel yang diteken oleh Pemimpin PLO Yasser Arafat. Dan keesokan harinya, ia terbang ke Yerusalem, untuk mengambil surat pengakuan PLO sebagai wakil bangsa Palestina dalam proses perundingan damai Timur Tengah selanjutnya yang diteken Yitzhak Rabin. Kabarnya, konsep saling mengakui itu digodok oleh wakil masing-masing yang selama ini melakukan perundingan rahasia di Oslo di Paris. Tentu, Holst tetap pegang peranan penting. Tak seperti di Tunis yang berlangsung secara tertutup, penandatanganan pengakuan terhadap PLO oleh Rabin bisa disaksikan di seluruh dunia melalui siaran langsung yang dipancarkan stasiun televisi berita CNN. Dalam peristiwa yang berlangsung di kantor Perdana Menteri dan terkesan kaku itu, Rabin membaca dengan seksama dan teliti, empat lembar surat dari Yasser Arafat yang disodorkan Menteri Luar Negeri Holst, disaksikan sejumlah wartawan, perwira tentara berpakaian preman, dan pejabat tinggi Israel. Pelan-pelan suasana yang kaku itu berubah mengharukan. Di ruang itu suatu perubahan penting disetujui. ''Ini merupakan saat paling bersejarah, yang diharapkan akan mengakhiri 100 tahun pertumpahan darah, serta kesengsaraan antara warga Palestina dan warga Yahudi dan Israel,'' ujar Rabin dalam sambutannya, di tengah suara-suara ''mati untuk Arafat'' yang diteriakkan demonstran kelompok kanan Israel, yang berkumpul di depan kantornya. Demonstran yang menuduh Rabin dan Peres sebagai pengkhianat bangsa. Adapun Deklarasi Prinsip yang diteken di Washington diharapkan bisa menjadi mesin pemacu penyelesaian damai Israel dengan pihak Arab yang lain: Libanon, Suriah, dan Yordania. Dan tanda-tanda kemajuan sudah mulai tampak. ''Perdamaian antara Yordania dan Israel segera terwujud dalam waktu dekat ini,'' kata Raja Hussein dari Yordania. Kritik dan kecaman memang terus bermunculan. Salah seorang pemimpin Hamas, gerakan militan Islam di Gaza dan Teapi Barat, Abdulaziz Rantisi, kepada kantor berita AP menjelaskan bahwa mereka tak akan melakukan serangan terhadap orang-orang PLO, melainkan terhadap para tentara Israel di kawasan pendudukan, apa pun yang terjadi. Sedangkan dari Teheran, seorang pemimpin agama terkemuka, Ayatullah Mohammad Yazdi, menyebut Deklarasi Oslo tak ubahnya sebuah ''plot'' yang diatur Israel, persis seperti yang dilakukannya dalam Perjanjian Camp David dulu. Waktu itu, Presiden Jimmy Carter, Presiden Anwar Sadat, dan Perdana Menteri Menahem Begin menandatangani ''Kerangka Perdamaian Timur Tengah megenai masa depan daerah Tepi Barat dan Jalur Gaza''. Isi perjanjian itu, antara lain, pemberian otonomi kepada penduduk Palestina. Juga, satuan militer Israel secara bertahap ditarik mundur dari sejumlah tempat di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Tapi, 15 tahun berjalan dan kedua wilayah itu tetap saja berada di bawah kekuasaan Israel. Tak apa pun terjadi di kedua wilayah pendudukan itu sebagai akibat Perjanjian Camp David. Kalau begitu, akankah Deklarasi Oslo ini bernasib sama dengan Kerangka Perdamaian Timur Tengah yang diatur dalam Perjanjian Camp David itu? Sulit ditebak, mengingat sejumlah faktor pendukung antara dulu dan sekarang lain sama sekali. Sewaktu Perjanjian Camp David diteken, polarisasi dunia Arab semakin tajam. Kelompok keras cenderung condong ke pihak Uni Soviet yang waktu itu ikut menentang Perjanjian Camp David. Israel, yang dianggap sekutu Amerika Serikat, membuat Uni Soviet tanpa memperhitungkan apa pun lalu berpihak pada negara- negara Arab, termasuk berpihak pada PLO. Ini menutup kemungkinan perdamaian. Dua negara superkuat cukup kuat berperan di Timur Tengah, hingga negara-negara di Timur Tengah sendiri ikut terseret dalam permusuhan dua kubu Timur-Barat waktu itu. Kini, dunia berubah sudah. Satu negara superkuat hancur. Deklarasi Oslo diharapkan bernasib lebih baik. Faktor kedua adalah munculnya generasi baru di Israel yang memperjuangkan perdamaian. Kelompok-kelompok lembaga swadaya masyarakat Israel tak melihat perlunya permusuhan diteruskan, dan mendukung pengembalian Gaza dan Tepi Barat ke Palestina. Faktor ketiga, mungkin, pihak Israel pun sudah capek untuk terus mewaspadai orang-orang Palestina di wilayah pendudukan. Hal yang tak saja menghabiskan tenaga dan dana, tapi juga nyawa. Sedangkan di pihak Palestina, sebenarnya semangat mencanangkan damai sudah terlebih dulu ada. Bahkan Yasser Arafat sendiri, dalam pidatonya di PBB, 13 November 1974, sudah mengatakan terbukanya kemungkinan damai itu. Arafat melontarkan gagasan hidup berdampingan secara damai. Dan jika saja Israel setuju, katanya, ia membuka pintu untuk merundingkannya. Dilihat dari sudut ini tampaknya Deklarasi Oslo akan berjalan, meski di jalan yang penuh ranjau. Apalagi, bila perdamaian Israel dengan Libanon, Suriah, dan Yordania tercapai dalam waktu dekat, hal ini akan memperkukuh pelaksanaan Deklarasi Oslo, yang merinci perjalanan menuju sebuah Negara Palestina merdeka, berwilayah Gaza dan Tepi Barat, lima tahun lagi. Memang, ada gunung besar di depan jalan itu. Itulah masalah Yerusalem. Orang Palestina bilang, Palestina tanpa Yerusalem itu tak ada artinya. Orang Israel bilang Yerusalem adalah milik orang Yahudi karena di situ ada Dinding Ratapan. Tapi sebuah langkah sulit sudah dilakukan, dan langkah sulit yang lain tampaknya diyakini bakal bisa juga dijalankan. Bukannya tanpa halangan justru halangan akan menyatukan orang-orang yang memimpikan damai di Timur Tengah, dari pihak mana pun. Insya Allah. Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini