DI zaman tak ada lagi Perang Dingin rupanya jargon lama masih diakui kebenarannya. Yakni, bersiaplah berperang jika ingin mempertahankan perdamaian. Ini jika berita yang dikutip oleh Reuters dari televisi Amerika NBC benar. Berita itu mengatakan bahwa Israel kini memiliki 200 senjata nuklir, dan itu merupakan imbalan kesediaannya mengakui PLO sebagai wakil bangsa Palestina. Dan dari 200 senjata gawat itu, 70 di antaranya ditanam di lubang- lubang di perbatasan Dataran Tinggi Golan, siap meledak jika saja ada yang menyelusup dari Suriah. Tentu, kepala dingin akan berkata, jika perdamaian dicapai, buat apa ada penyelusup masuk Israel. Jika ia memang bermaksud jahat, tentu sudah sewajarnya penyelusup itu membayar perilakunya itu. Tapi memang, terbuka kemungkinan, bahkan kecenderungannya begitu, seorang yang bersenjata punya suara lebih. Dalam perundingan mereka bisa menekan pihak lawan yang tak bersenjata, atau yang persenjataannya di bawah milik mereka kedahsyatannya. Dari sudut ini, perilaku Israel bisa dipersoalkan. Itu, sekali lagi, bila berita NBC memang benar. Masalahnya, tampaknya, permusuhan 100 tahun memang tak bisa dilupakan begitu saja. Dendam, kecurigaan, akan tetap melekat. Apalagi sejarah bangsa Yahudi adalah sejarah kamar gas dan penistaan yang menekan. Tak berarti, bangsa lain, bangsa Yahudi misalnya, tak punya sejarah kelam itu dan kekelaman yang diderita Palestina akibat perilaku bangsa Yahudi. Karena itu, dalam peristiwa yang direncanakan Senin pekan ini, gong dari perundingan rahasia PLO-Israel di Oslo, yang bakal menjadi peristiwa sangat bersejarah, tanpa disertai keberanian mengubah sikap dalam melihat sejarah, tampaknya akan berhenti di kertas. Jalan damai yang sudah dibuka gerbangnya, jalan yang sama sekali tidak mulus, akan tinggal berdebu, misterius, dan mungkin akan terlupakan, nanti. Sudut pandang inilah yang kali ini diambil dalam Laporan Utama kedua tentang terobosan perdamaian Palestina-Israel. Dan ini ditempatkan dalam tulisan kedua, setelah bagian pertama melaporkan persiapan Gedung Putih menyambut kehadiran Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin. Dalam bagian pertama pula ditampilkan siapa Johan Jorgen Holst, ''orang di belakang layar'', yang mengubah sejarah itu. Juga disajikan sejarah lama permusuhan Yahudi-Palestina, sejarah yang mesti dilihat dengan sikap baru itu. Dan tentu saja suatu prediksi politik di Timur Tengah disajikan. Ini pada bagian ketiga, terakhir. Asumsinya, setelah perdamaian PLO-Israel dicapai, perdamaian Israel dengan tetangganya yang lain akan menggelinding lebih mudah. Memang kemudian ada yang melihat munculnya konflik baru, yakni kelompok garis keras yang merasa ditinggalkan. Tapi wajar saja, perubahan melahirkan juga masalah baru. Hidup, tak cuma bagi Rabin dan Arafat, adalah menyelesaikan tantangan untuk menghadapi tantangan yang lain. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini