Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Aljazair pada Kamis, 18 Oktober 2018, memberlakukan larangan perempuan memakai cadar di tempat kerja. Alasan larangan ini agar mereka mudah dikenali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian besar perempuan Aljazair tidak menggunakan cadar. Masyarakat Al-Jazair menilai cadar adalah sebuah budaya yang berasal negara-negara Arab, seperti Arab Saudi. Kendati begitu, keputusan larangan penggunaan cadar oleh otoritas Al-Jazair ini di kritik oleh komunitas salafi di Aljazair.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelompok salafi di Aljazair mendukung budaya Arab Saudi soal penggunaan cadar dan menentang Islam sufi yang lebih mendominasi di Aljazair serta negara-negara di Afrika Utara.
Dikutip dari Reuters, Jumat, 19 Oktober 2018, Aljazair telah terbelah menjadi negara moderat dan radikal sejak meletupnya perang sipil pada 1992. Perang meletup saat pemerintah Aljazair yang ketika itu didukung militer, membatalkan pemilu sehingga memicu kerusuhan.
Tindak kekerasan di Aljazair telah berkurang secara signifikan sejak perang sipil di negara itu mereda. Akan tetapi, kelompok-kelompok radikal bersenjata atas nama Islam masih terus melancarkan serangan, khususnya di wilayah pinggir Aljazair.
Keputusan otoritas Aljazair atas ini, menambah panjang daftar negara yang memutuskan pelarangan penggunaan cadar. Sebelumnya pada Agustus 2017, Pauline Hanson, politisi asal Australia membuat geger karena mengenakkan burka ke parlemen. Tindakan Hanson itu sebagai bentuk dorongan agar Australia melarang penggunaan cadar atau burka.
Hanson meminta kepada Jaksa Agung, George Brandis, agar memberlakukan larangan penggunaan burka demi keamanan nasional. Namun Brandis menolak mengabulkan permohonan Hanson itu. Burka adalah penutup kepala dan wajah bagi perempuan muslim yang hanya memperlihatkan bagian mata, seperti cadar.