Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jose Alexandre ”Kai Rala Xanana” Gusmao menangis. Air mata-nya menggenang saat menerima kunjungan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer, dua pekan silam. Pria 60 tahun yang selama dua dekade bergerilya di hutan melawan Indonesia dan tujuh tahun mendekam di penjara Cipinang, Jakarta Timur, itu sedih melihat kerusuhan tak kunjung enyah dari negaranya.
Dalam wawancaranya dengan Tempo awal tahun ini, Presiden itu mengakui: membangun negara jauh lebih sulit ke-timbang saat memperjuangkan kemer-dekaan. Tapi, penulis puisi ini tentu- saja tidak mengira, belum lima tahun merdeka, kerusuhan yang melibatkan etnis barat (Loromonu) dengan timur (Lorosae) menjadi seperti ini. Dalam tiga ming-gu, lebih dari 60 ribu mengungsi, lebih dari 30 orang meninggal, tak terhitung rumah dan gedung yang dibakar dan dijarah.
Tapi, Xanana lebih banyak diam. Setelah mengambil alih tanggung jawab keamanan dari tangan Perdana Menteri Mari Alkatiri, dua pekan silam, nyaris tak ada pernyataan publik dikeluarkannya. Padahal, warga termasuk dari gereja Katolik dan tentara pemberontak berharap dia berperan besar menyelesaikan bencana politik di Timor Leste. Bahkan tentara pemberontak yang di-pimpin Mayor Alfredo Reinado memberi waktu 48 jam kepadanya untuk membubarkan parlemen dengan tenggat Jumat pekan lalu. Pria kelahiran Manatuto itu seperti menahan diri.
Di sisi lain, Mari bin Amude Alkatiri lebih banyak bicara. Berbagai pernyataan dia lontarkan, termasuk sikap tak akan mundur sebelum masa jabatannya habis, 2007 nanti. Alkatiri tampaknya memang harus bicara, karena selain sebagai kepala pemerintahan, pria 57 tahun ini adalah orang yang paling banyak- dituduh bertanggung jawab atas semua kekacauan.
Memang, belum ada kabar baik dari negara yang baru merdeka empat tahun itu. Hingga Jumat pekan silam, penjarahan dan pembakaran masih terjadi. Bahkan kerusuhan menjalar ke luar wilayah Dili. Kantor Fretilin di Ermera dibakar massa, Kamis pekan lalu.
Yang lebih parah, pasukan asing yang sudah datang sejak dua pekan silam belum mampu mengendalikan keadaan. Malahan antara sesama tentara perdamaian tidak kompak. Serdadu Malaysia dan Portugal menolak berada di bawah komando pasukan Australia. Belum ada pembagian wilayah pengawasan yang jelas di antara kelompok-kelompok pasukan asing tersebut. Akibatnya, beberapa kali terjadi benturan. Rabu pekan silam, tentara Portugal menangkap beberapa perusuh. Tapi ketika mereka- akan dijebloskan ke penjara dalam Beroka, pasukan Australia melarang. Portugal harus mencari penjara sendiri.
Amburadulnya koordinasi antarpa-sukan, ditambah keadaan yang tidak kun-jung membaik, membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa harus mengambil peran lebih besar dalam penyelesaian masalah di ”negara yang dibidani PBB” itu. Yang pasti, PBB akan memperpanjang tugas kantor di Timor Leste (UNOTIL) yang seharusnya berakhir 20 Mei lalu. Dan pasukan perdamaian mesti bertahan hingga pemilihan umum 2007.
Keterlibatan PBB memang sangat signifikan mengingat baik Alkatiri, sang kepala pemerintahan, maupun Xana-na, belum membuat kemajuan berarti dalam penyelesaian kekisruhan. Ketua- parlemen Francisco Guterres Luolo meng-ultimatum tentara pemberontak supaya menyerahkan senjata dalam waktu 48 jam. Tapi pemberontak membalas: agar Xanana membubarkan parlemen dalam waktu 48 jam. ”Saya akan minta kepada masyarakat agar menurunkan paksa dia dari kursi perdana menteri,” tukas Mayor Reinado, jika Alkatiri menolak turun.
Antara Alkatiri dan Xanana memang tidak pernah saling menyalahkan secara terbuka atas kekacauan di Timor Leste, meskipun mereka tidak cocok. Bagaimanapun, harus diakui, penyelesaian persoalan, mau tak mau, sangat tergantung pada keduanya.
Bibit ketidaksesuaian antara dua tokoh Fretilin ini sudah terjadi sejak 1989. Ketika itu Xanana mereorgani-sa-si ge-rakan perlawanan rakyat Timor Leste terhadap Indonesia dengan menem-patkan sayap militer Falintil sebagai pimpin-an. Xanana juga keluar dari Fretilin dan membentuk Dewan Perlawanan Rakyat Maubere (CNRM).
Lalu, ketika Dewan Perlawanan Nasi-o-nal Rakyat Timor Leste (CNRT) ber-kong-res pada 2000, pimpinan Fretilin tidak masuk dalam jajaran kepemimpinan. Padahal, CNRT berperan vital dalam persiapan kemerdekaan Timor Leste, seperti mewakili rakyat Timor Leste berurusan dengan negara lain, lembaga internasional dan pihak donor. Fretilin pun keluar dari CNRT.
Setelah itu, beberapa friksi terus terjadi antara Xanana dan Alkatiri—atau Fretilin—di masa persiapan kemer-de-kaan Timor Leste. Hingga saat pemilih-an presiden, Fretilin sama sekali tidak mendukung Xanana. Hanya partai-partai kecil yang mendukungnya. Orang lebih suka berada dalam satu kubu de-ngan pemimpin kharismatik yang terus berjuang melawan pendudukan Indonesia. Falintil kemudian banyak yang diserap ke dalam tentara nasional Timor Leste (FFDTL), tapi partai-partai kecil dan gereja mendukung Xanana.
Sedangkan Alkatiri harus berusaha lebih keras meraih dan membentuk kesetiaan. Fretilin sebagai partai terbesar yang menguasai parlemen adalah kendaraan utama memperbanyak dukung-an. Selain itu, Alkatiri juga mencoba mendekatkan diri dengan tentara, salah satunya- de-ngan mengangkat istri Panglima FFDTL Taur Matan Ruak sebagai penasihat perdana menteri. Dia juga membuat angkatan kepolisian yang kuat di bawah orang kepercayaannya, Menteri Dalam Negeri Rogerio Lobato, tapi jabatannya sudah dicopot dua pekan lalu.
Kelompok Alkatiri sendiri dikenal sebagai Klik Mozambik. Dia dekat dengan beberapa orang yang sama-sama pernah kuliah di Mozambik dan kini menduduki posisi kunci. Ana Pessoa menjadi Menteri Urusan Pemerintahan Dalam Negeri, Madalena Boavida kini Menteri Keuangan, Rogerio Lobato bekas Menteri Dalam Negeri, dan Gregorio Sousa kini Sekretaris Negara Urusan Dewan Menteri.
Tapi ”pengkubuan” tidak menjadi persoalan jika tidak ada pembiaran masalah dan konflik terbuka. Nah, petisi untuk menyelesaikan diskriminasi di dalam FFDTL yang diajukan Letnan Gastao Salsinha dan hampir 600 tentara bisa dikatakan sebagai ”arena baru” perselisihan antara Xanana dan Alkatiri. Xanana memerintahkan mereka kembali ke markas dan membentuk komisi investigasi untuk membuktikan keluhan mereka. Tapi, Brigadir Jenderal Taur Matan Ruak—dengan persetujuan Mari Alkatiri, tanpa konsultasi dengan Xanana—justru memecat kelompok itu. Pada saat keadaan mulai memanas, akhir April lalu, Menteri Pertahanan Keamanan Roque Rodrigues, yang diberhentikan dua pekan lalu, dan Matan Ruak malah menghadiri pamer-an per-alatan pertahanan di Malaysia dan baru kembali awal Juni.
Sampai di sini, pihak yang mendukung Alkatiri maupun Xanana tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda bertemu dan berkompromi. Untuk itu, Julio Tomas Pinto, pengamat politik dari Da Paz Timor Leste, menyarankan agar masing-masing pihak yang bertikai melakukan Nahe Biti Bo’o. Itu adalah cara penyelesaian tradisional masyarakat Timor Leste. Kelompok yang berseteru dikumpulkan untuk berbicara dari hati ke hati hingga tercapai kata sepakat. Kemudian mereka bersumpah dan melakukan jamuan minum darah. ”Ini jauh lebih efektif dan diingat hingga ke anak cucu,” kata Pinto. Itu lebih baik daripada darah yang terus-menerus tertumpah.
Bina Bektiati, Salvador Ximenes Soares dan Jems Fortuna (Dili)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo