Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada kata yang paling ampuh gaungnya secara politik di Iran selain ucapan sang pemimpin ter-ting-gi, Ayatullah Ali Khamenei. Pada Ahad 4 Juni lalu, Khamenei meng-ancam, jika Amerika Serikat dan se-kutu-nya membuat kesalahan dengan- meng-hukum atau menyerang Iran, pasti- Iran akan mengganggu pangapalan minyak dari wilayah itu.
”Kalian tak akan mampu melindungi pa-sokan energi dari wilayah ini. Kalian tak akan mampu melakukannya,” ujar Khamenei berapi-api lewat pidato yang disiarkan radio pemerintah Iran.
Khamenei memang tak menjelaskan- se-cara detail cara Iran mengacaukan- ekspor minyak negara tetangganya. Ta-pi kapal pengangkut minyak dari sejum-lah negara di kawasan Teluk Persia mes-ti melewati Selat Hormuz menuju ke Samudra Hindia. Lewat selat yang me-mi-sahkan Iran dengan Semenanjung Ara-bia hanya selebar 6,4 kilometer itulah mengalir pasokan 20 persen kebutuh-an minyak dunia.
Khamenei menegaskan, Iran tak akan men-jadi pencetus perang. Tapi ucapannya adalah sabda yang harus diikuti oleh pemerintah Iran. Apalagi pemerintah Iran kini di bawah kendali Presiden Mahmoud Ahmadinejad yang setali tiga uang dengan kelompok ulama garis keras di bawah komando Khamenei. Sejum-lah pejabat Iran sebelumnya sudah menyatakan siap menggunakan senjata minyak jika terpaksa. ”Jika sanksi diterapkan, kami tentu akan mengguna-kan minyak sebagai senjata dan senjata- lainnya,” ujar Menteri Dalam Negeri Mustafa Pourmohammadi.
Pernyataan keras Khamenei ini terjadi sehari sebelum utusan Uni Eropa, Javier Solana, tiba di Teheran, menyampaikan paket insentif yang disetujui oleh enam negara adikuasa untuk membujuk Iran meninggalkan rencana memproduksi bahan bakar nuklir. Akibatnya, sehari kemudian harga minyak dunia mengge-legak panas menjadi US$ 73 per barel.
Sejauh ini Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad akan menggunakan senja-ta minyak yang dihindari pengguna-an-nya oleh negara Eropa. Ia menolak ta-waran Uni Eropa memberikan insentif, termasuk reaktor nuklir air ringan, de-ngan imbalan menghentikan pengaya-an uranium. ”Kalian kira kalian sedang berurusan dengan anak berusia 4 tahun, yang dapat disogok dengan kacang dan cokelat untuk merampas emas dari dia?” ujar bekas Wali Kota Teheran itu.
Setelah berbulan-bulan saling meng-ancam, Washington pekan lalu menya-ta-kan siap bergabung dalam pembicaraan- dengan Iran jika Iran menghentikan peng-ayaan uranium. Sejalan dengan tawar-an Amerika itu, empat anggota te-tap Dewan Keamanan PBB dan Jerman mengajukan paket insentif ekonomi kepada Iran, tapi juga dengan syarat Iran menghentikan pengayaan uranium. Ne-ga-ra Barat khawatir Iran menyembunyikan niatnya mem-produksi senjata nu-klir di balik kebutuhan-ke-butuhan energi nuklir- un-tuk kepentinan sipil. Se-baliknya, ne-gara Barat mengancam, Iran akan menghadapi sanksi jika me-nolak paket itu. Toh Ah-madinejad cuek saja. ”Sa-ya akan mempelajari tawaran itu tapi menolak semua persyaratan,” katanya.
Malah negara Barat kini mulai berbeda sikap tentang nuklir Iran. Jerman cen-derung setuju Iran melanjutkan pe-ng-ayaan uranium di bawah pelototan mata Badan Atom Internasional (IAEA). Sedangkan Amerika, Inggris, dan Prancis ngotot Iran harus menunda program nuklirnya hingga kecurigaan mereka pu-pus. Tentu dua sikap ini sulit diterima Iran, karena tak ada satu pun negara yang membiarkan teknologi nuklirnya dibuka lebar-lebar, dan Iran percaya ini sama saja dengan melarang Iran memiliki teknologi nuklir. Tak mengheran-kan bila Iran tetap memainkan senjata minyaknya.
Tapi benarkah minyak bisa dijadikan- senjata yang efektif untuk melawan Ame-rika dan sekutunya? Beberapa analis yakin, Iran punya kekuatan meng-ubah keseimbangan minyak dunia. Saat ini kapasitas produksi minyak dunia 7 juta barel per hari, sementara Iran menyumbang 2,5 juta barel. Kehilangan eks-por minyak Iran akan menimbulkan- bencana, dengan harga membubung dan terbatasnya suplai minyak. ”Mere-ka (Iran) kini punya senjata minyak. Ini situasi ideal bagi mereka,” ujar Yusuf Ibrahim, konsultan tentang negara penghasil minyak Timur Tengah.
Menurut Yusuf, Iran juga dapat mengacaukan ekspor minyak negara- te-tang-ga-nya di Teluk Persia, dengan me-nem-bakkan rudal atau sabotase seder-hana, bahkan meski hanya menimbulkan ke-rusakan kecil. Tapi melonjaknya premi- asuransi keselamatan kapal akan seca-ra efektif menurunkan banyak ekspor minyak dari kawasan itu. Di luar pasar minyak, Iran juga dapat menyulut kekerasan atau perlawanan di Irak dan Afganistan.
Ancaman Khamenei dan penggunaan senjata minyak cukup ampuh. Amerika Serikat mulai melunakkan sikapnya. Padahal pemerintah Washington selama- ini ogah berunding langsung de-ngan Iran dan membuka pilihan serang-an militer untuk menghentikan ambisi Iran menguasai teknologi nuklir. Kini bahkan Presiden George W. Bush menya-takan tetap menyelesaikan konflik de-ngan Iran lewat jalur diplomasi, tanpa lagi menyinggung penyelesaian lewat serangan militer.
Tampaknya soal ancaman serangan militer Amerika inilah yang membuat kon-flik terus menggelegak. Beberap-a orang- yang akrab dengan Iran perca-ya,- imam konservatif yang berkepala lebih- di-ngin bisa menenangkan situasi.- Sehing-ga Iran tak akan menggunakan- senjata minyak jika Amerika tidak melakukan serangan militer. ”Ketika serangan mencapai sumber penghasilan mereka, mereka akan menjadi sangat konservatif,” ujar Gary Sick, pakar Pentagon urusan negara Teluk pada era 1970.
Minyak adalah jantung ekonomi Iran. Minyak merupakan 85 persen ekspor Iran berdasarkan laporan IMF April la-lu-. Penghasilan dari ekspor itu merupa-kan 65 persen pemasukan pemerintah. Ketegangan antara Iran dan Barat mendongkrak harga minyak diperkirakan US$ 10 hingga US$ 15 per barel. Ini jelas merupakan hadiah bagi Iran, yang Selasa pekan lalu mengumumkan penghasilannya dari minyak tahun ini akan tembus US$ 55 miliar, naik US$ 10 miliar dari tahun sebelumnya. Setiap hari Iran meraup US$ 156 juta dari penjual-an minyak.
Sebaliknya, kekuatan minyak justru- dinilai bisa menjadi senjata makan -tu-an-. Sebab, penghasilan dari ekspor itu merupakan 65 persen pemasukan pe-merintah. Iran menggunakannya untuk meningkatkan gaji di sektor publik dan me-nyubsidi harga minyak dalam negeri, sebagai salah satu cara untuk meredam gejolak politik. Tapi angka penganggur-an yang mencapai 12 persen dan infla-si 13 persen menunjukkan rapuhnya ekonomi Iran. ”Jika Anda berpikir Iran be-nar-benar memotong pasokan mi-nyak, kredibilitas negerinya sebagai patner ekonomi akan terjun bebas,” ujar Gian-domenico Picco, seorang konsultan yang menjadi mediator selama perang Iran-Irak.
Tak mengherankan bila ada analis yang percaya, bagi Iran saat ini minyak lebih menjadi sebagai perisai daripada senjata. Menurut Abdulsamad al-Awadi, bekas kepala operasi Kuwait Petroleum Corp, isu tentang Iran menggunakan minyak sebagai senjata ekonomi terlalu dibesar-besarkan. ”Dari banyak omong-an pejabat Iran, saya tak percaya mere-ka akan menggunakan senjata minyak, kecuali jika mereka diserang,” katanya.
Sebaliknya, Al-Awadi juga ragu kemampuan Amerika meyakinkan negara- lain untuk menerapkan sanksi ekonomi terhadap Iran. ”Iran bukan Korea Utara, yang dapat diisolasi,” ujarnya. Sebab, justru sekutu Amerika semacam Prancis, Italia, Jerman, dan Jepanglah pelahap minyak Iran terbesar. Sehingga, kalaupun Amerika menggenjot cadang-an minyaknya, ia tak akan sepenuhnya mam-pu menutup 20 persen kekosong-an minyak dari Teluk Persia. Sekutu Amerika akan kelimpungan akibat guncangan harga minyak.
Raihul Fadjri (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo