Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Memburu Gas, Memanen Lumpur

Kampung-kampung di Porong, Sidoarjo, diterjang lumpur panas. Ada dugaan, semburan lumpur itu akibat salah prosedur pengeboran.

12 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEROR itu datang pada awal pagi. Ketika itu Renokenongo, desa tak terkenal di Sidoarjo, Jawa Timur, baru saja menggeliat. Orang-orang kampung menyeruput kopi, menghisap rokok sisa kemarin, menyapu halaman. Haji Soleh juga sedang menikmati hawa pagi saat tiba-tiba terdengar, ”Bum...!” Lantai rumahnya meledak. Dari balik retakannya, mengalirlah lumpur panas. Baunya menyengat, bikin mual.

Lelaki itu kaget. Juga puluhan pen-duduk di Renokenongo. Hari itu ada sepuluh rumah yang meleduk di Renokenongo. Semuanya di dekat kediaman Soleh. ”Keluarga langsung saya ungsikan,” ujarnya.

Ledakan pada Jumat pagi dua pekan- lalu itu membuat warga ketar-ketir-. Maklum, empat hari sebelumnya, ledaka-n serupa terjadi di sawah milik Probosutejo. Di tengah persawahan yang adem ayem itu tiba-tiba menyembur lumpur panas setinggi delapan meter. Hawa panas-—suhunya sekitar 50 derajat Celsius, cu-kup- untuk merebus telur—ikut menyebar cepat. Lumpur dan udara panas ini merendam 15 rumah di Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo.

Warga Renokenongo terkesiap. Mereka tak menduga lumpur panas bisa seluas itu. Bahkan kini sudah 12 hektare sawah yang tenggelam dalam lumpur. Sekitar seribu orang mengungsi ke gedung olahraga dan markas kepolisian sektor setempat. Pabrik-pabrik di desa itu terpaksa juga tutup. ”Kami terpaksa membatalkan produksi kursi rotan senilai US$ 10 ribu yang akan diekspor ke Belanda,” kata Dwi Cahyani, Direktur PT Victory Rotanindo.

Jalan tol Gempol-Surabaya pun ikut kena getahnya, karena aliran tanah cair itu sampai ke sana. Pengelola jalan tol pun kelabakan membangun tanggul darurat dengan bertruk-truk tanah. Sampai Sabtu lalu, muncratan lumpur dan gas itu belum ada tanda-tanda berhenti.

Lumpur petaka itu bermula dari sa-wah Probosutejo. Ledakan itu terjadi setelah PT Lapindo Brantas mengebor- sumur minyak Banjar Panji di Porong. Entah mengapa, seperti adegan di film horor, tanah di sawah itu tiba-tiba me-rekah. Bum! Gas putih membubung. Lum-pur mengalir kencang, bergumpalgumpal seperti air yang muncrat dari pipa air minum. Hujan tuduhan pun ja-tuh ke Lapindo. Perusahaan ini dituding biang lahirnya ”mata lumpur”.

General Manager PT Lapindo Brantas-, Imam Agustino, menolak tuduhan itu. Imam hakul yakin, luapan lumpur bukan berasal dari pipa pengeboran yang saat ini mencapai kedalaman hampir 3 kilometer. ”Itu dari retakan tanah akibat gempa Yogyakarta yang terjadi beberapa waktu lalu,” katanya. ”Penge-boran Lapindo sudah dilakukan sesuai dengan standar baku industri migas.”

Lumpur menyembur akibat gempa? Mulyo Guntoro tak sepakat dengan dalih itu. Lelaki ini justru percaya, petaka di Renokenongo itu akibat kesembronoan Lapindo. ”Pengeboran di kedalam-an lebih dari 2 kilometer seharusnya dilakukan miring, bukan lurus seperti yang dilakukan Lapindo saat ini,” kata ahli geologi dari Pusat Studi Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Surabaya.

Guntoro mengaku pernah diajak La-pin-do melakukan pemetaan gas di Si-doarjo. Dia menduga perusahaan ini me-lakukan kesalahan prosedur saat mata bor mencapai lapisan gas. Karena terlambat menyumbat, lumpur yang berada- di lapisan atas ikut tersedot keluar bersama dengan gas. ”Akibatnya, mereka tidak lagi bisa menyuntikkan lumpur untuk menyumbat, karena tekanan di dalam lubang pengeboran pasti sudah sangat besar,” kata dosen UPN itu.

Lapindo dalam catatan Guntoro telah melakukan beberapa kesalahan- dalam pengeboran di Renokenongo. Me-nurut- dia, salah satu keteledoran Lapindo- adalah tidak pernah melakukan pemadat-an tanah di lokasi yang bakal dieksplorasi. Akibatnya, saat ada kebocoran, lumpur segera menyembur keluar. Selain itu, perusahaan itu tidak pernah berusaha menyumbat aliran-aliran kecil patahan tanah yang berada di sekitar lokasi pengeboran. ”Tekanan gas dari dalam tanah pasti akan tinggi naik jika terjadi pengeboran di sekitar-nya,” tutur Guntoro.

Faktor gempa yang dijadikan dalih -La-pindo juga dibantah Guntoro. Menurut dia, retakan tanah baru bisa terjadi jika ada gempa dengan kekuatan le-bih dari 5 pada skala Richter. Padahal gempa yang terjadi di Yogyakarta dan dirasa-kan di Sidoarjo hanya berkekuat-an 2 pada skala Richter. ”Jadi, lucu jika mereka beralasan ada gempa,” ujarnya.

Apa pun alasan Lapindo, kawasan Renokenongo kini merana. Pohon-pohon- meranggas seperti terbakar. Saban hari sekitar 5.000 meter kubik lumpur menyem-bur. Dalam dua pekan, berarti volume lumpur yang mengubur desa itu setara dengan 14 ribu truk kecil. Kendati begitu, Imam menjamin lumpur dan gas yang keluar masih aman bagi kesehatan manusia. ”Dari hasil penelitian, lumpur ini tidak mengandung racun seperti yang ditakutkan,” katanya.

Namun klaim itu ditolak Wahana- Ling-kungan Hidup (Walhi) Jawa Ti-mur-. Dari hasil investigasi, organisasi- pencinta lingkungan itu menemukan sumur-sumur warga yang hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari lokasi pengeboran dalam kondisi tercemar.

Menurut Direktur Eksekutif Walhi Ridho Syaiful, selama tiga bulan berope-rasi, anak perusahaan PT Energi Mega Persada itu tidak pernah melakukan so-sialisasi atau pengumuman terhadap warga terdekat. Padahal, dalam surat edaran Menteri Pertambangan dan Ener-gi, disebutkan kegiatan eksplorasi atau eksploitasi harus diumumkan untuk melindungi kepentingan sosial rakyat.

”Kami tak pernah diajak rembukan, tahu-tahu terkena getahnya,” ujar Imam Sudarti, yang tinggal tak jauh dari lokasi Lapindo.

Walhi mendesak pemerintah daerah dan Polri melakukan tindakan hukum kepada Lapindo Brantas untuk menye-lamatkan lingkungan dan menghindari kerugian masyarakat. Menurut Ridho, pemerintah harus segera mencabut kontrak Lapindo Brantas sebagai bentuk pertanggungjawaban dan menjamin kesehatan serta perbaikan lingkungan.

Soal kerusakan lingkungan, Made Sutarsa, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Timur, menjelaskan bahwa pengeboran yang dilakukan Lapindo sesuai dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang ada. ”Kebocoran itu murni karena gejala alam, gempa,” katanya yakin. Amdal perusahaan itu dikeluarkan Kantor Menteri Lingkungan Hidup pada 1990.

Menurut Manajer Umum Lapindo, Rewindra, dengan analisis dampak lingkungan itu, pihaknya tidak perlu lagi meminta izin warga ketika mau melakukan eksplorasi. ”Yang penting kan sudah sesuai dengan amdal,” katanya. Perusahaan ini diizinkan melakukan eksploitasi dan eksplorasi di Sidoarjo hingga tahun 2020.

Untuk mengatasi banjir lumpur, sejak- awal musibah, Lapindo sebenarnya te-lah menginjeksikan lumpur padat ke retakan tanah. Namun upaya itu gagal sehingga genangan lumpur terus meluas, bahkan sampai ke jalan tol Surabaya-Gempol kilometer 38. Mereka kini ha-nya membuat tanggul agar laju lumpur tidak semakin luas.

Lapindo juga berencana membawa- lum-pur untuk dibuang ke kali mati, be-kas aliran Sungai Brantas di daerah perbatasan Sidoarjo-Pasuruan yang saat ini tidak lagi dialiri air. Upaya ini tinggal menunggu negosiasi antara Lapindo dan pemerintah Sidoarjo dan Pasuruan.

”Kami angkat tangan, tidak bisa meng-hentikan semburan lumpur,” kata Bupati Sidoarjo Win Hendarso. Menurut dia, pemerintah daerah dan Lapindo telah mengirim surat permohonan bantuan kepada Wakil Presiden, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Menteri Negara Perencanaan Pemba-ngunan Nasional.

Sucahyono, Kepala Divisi Operasional Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) menjelaskan bahwa diperlukan waktu minimal 30 hari untuk menghentikan muncratan lumpur. Kasus di Porong ini, ujarnya, pernah terjadi di Riau, dan aliran lumpur baru bisa dihentikan setelah dibuat pengeboran sumur terarah secara mi-ring dari tempat lain. ”Tujuannya mencari titik pusat aliran lumpur dan memompakan bahan penyumbat,” katanya.

Untung Widyanto, Rohman Taufiq, Kukuh S Wibowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus