Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Denmark dikabarkan telah mengambil langkah diplomatik soal Greenland, dengan mengirimkan pesan pribadi kepada tim Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump.
Dalam pesan tersebut, Denmark menawarkan untuk membahas peningkatan keamanan di Greenland atau memperbesar kehadiran militer AS di wilayah tersebut, tanpa harus mengklaim kedaulatan atas pulau itu. Langkah ini pertama kali dilaporkan oleh media Axios pada Sabtu, 13 Januari 2025, mengutip dari Reuters.
Pada 2019, Donald Trump pernah memicu kontroversi dengan menyatakan ketertarikannya untuk membeli Greenland, wilayah otonom milik Denmark. Ide ini pertama kali dilaporkan oleh Wall Street Journal, yang menyebutkan bahwa Trump membahas rencana tersebut dengan para penasihatnya selama pertemuan dan makan malam di Gedung Putih. Bahkan, Trump meminta timnya untuk meneliti lebih lanjut potensi keuntungan strategis dan ekonomi dari memiliki Greenland.
Langkah Trump tersebut segera memicu reaksi keras dari Denmark dan Greenland. Perdana Menteri Denmark saat itu, Mette Frederiksen, menolak gagasan tersebut dengan menyebutnya sebagai sesuatu yang absurd. "Greenland bukan untuk dijual," kata Frederiksen, sambil menyerukan penghormatan terhadap otonomi wilayah tersebut.
Pernyataan senada juga disampaikan oleh Perdana Menteri Greenland, Kim Kielsen, yang menekankan bahwa setiap kerja sama dengan Greenland harus menghormati kedaulatan wilayahnya.
Tanggapan Frederiksen yang tajam tidak diterima dengan baik oleh Trump. Ia membalas dengan menyebut komentar Frederiksen sebagai "menjijikkan" dan akhirnya membatalkan kunjungan resmi ke Denmark yang telah direncanakan pada 2-3 September 2019.
Ketertarikan Donald Trump pada Greenland didasarkan pada nilai strategis dan ekonominya. Greenland memiliki posisi geografis yang sangat penting di kawasan Arktik, menjadikannya titik kunci dalam pertahanan militer Amerika Serikat. Salah satu aset penting di Greenland adalah Pangkalan Udara Thule, yang dibangun pada tahun 1951 dan menjadi bagian penting dari sistem peringatan dini rudal balistik serta pengawasan ruang angkasa. Lokasi ini memungkinkan AS untuk memantau ancaman rudal balistik antarbenua dan memantau wilayah udara yang luas hingga ke Rusia.
Selain itu, Greenland juga kaya akan sumber daya alam. Pulau ini memiliki cadangan minyak, gas alam, mineral langka, dan uranium yang melimpah. Namun, eksploitasi sumber daya ini menghadapi tantangan besar akibat kurangnya infrastruktur dan tingginya ketergantungan ekonomi Greenland pada subsidi tahunan dari Denmark yang mencapai sekitar USD 700 juta. Dengan populasi kecil sekitar 56.000 orang, Greenland juga menghadapi kesulitan dalam membangun infrastruktur dasar seperti jalan raya dan bandara internasional.
Secara hukum, pembelian Greenland oleh Amerika Serikat akan menghadapi banyak rintangan. Greenland, yang sebelumnya merupakan koloni Denmark, diberikan otonomi pemerintahan pada tahun 1953. Pada tahun 2009, Greenland memperoleh hak untuk mendeklarasikan kemerdekaan dari Denmark jika diinginkan. Setiap upaya untuk menjual Greenland akan memerlukan perubahan besar dalam konstitusi Denmark.
Usulan Trump juga bukan kali pertama Amerika Serikat mencoba membeli Greenland. Pada tahun 1946, di bawah pemerintahan Presiden Harry Truman, AS menawarkan USD 100 juta untuk membeli pulau itu sebagai aset strategis di tengah meningkatnya ketegangan Perang Dingin. Namun, tawaran tersebut ditolak oleh Denmark.
Ketertarikan Trump pada Greenland tidak dapat dilepaskan dari konteks persaingan geopolitik di kawasan Arktik. Rusia dan Cina juga telah menunjukkan minat besar terhadap wilayah ini. Rusia, misalnya, telah meningkatkan kehadiran militernya di Kutub Utara dengan membuka kembali enam pangkalan militer yang sebelumnya ditutup setelah Perang Dingin. Negara itu juga memodernisasi armada utaranya, termasuk menambah kapal perang dan kapal selam nuklir baru.
Cina, di sisi lain, berusaha membangun pengaruh di Greenland melalui investasi infrastruktur dan pengembangan jalur pelayaran baru di kawasan Arktik.
Beijing telah mendorong perusahaan-perusahaan Cina untuk membangun proyek berskala besar di Greenland, termasuk pengembangan bandara yang memungkinkan penerbangan langsung dari Amerika Utara dan Eropa. Namun, kekhawatiran atas keterlibatan Cina mendorong pemerintah Denmark untuk mengambil alih pendanaan proyek tersebut guna membatasi pengaruh asing di Greenland.
Sementara itu, Amerika Serikat telah menunjukkan keinginan untuk meningkatkan kehadiran militernya di Greenland. Pangkalan Udara Thule tetap menjadi pusat utama operasi militer AS di kawasan ini, tetapi jumlah personel militer yang ditempatkan di sana telah berkurang drastis dibandingkan era Perang Dingin. Saat ini, hanya beberapa ratus personel yang bertugas di Thule, jauh lebih sedikit dibandingkan hampir 10.000 personel pada puncak Perang Dingin.
Sita Planasari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: PM Denmark Mette Frederiksen Kirim Pesan Tolak Pencaplokan Greenland untuk Donald Trump
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini