Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kemarahan Global atas Kematian George Floyd

Teknik imobilisasi yang mematikan ini dilakukan oleh polisi di seluruh dunia.

4 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Massa menghadiri demonstrasi untuk mengenang kematian Adama Traore, pria kulit hitam yang tewas di tangan polisi Prancis pada 2016, di Paris, 2 Juni 2020. Insiden ini mengingatkan pada kematian George Floyd di Amerika Serikat. REUTERS/Gonzalo Fuentes

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kasus pembunuhan pria kulit hitam bernama George Floyd oleh polisi Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat, menguak kekerasan terhadap warga keturunan Afrika di berbagai negara.

  • Unjuk rasa anti-rasialisme di banyak negara juga dilakukan untuk mengenang para korban kebrutalan polisi di negara masing-masing.

  • Teknik imobilisasi yang mematikan ini dilakukan oleh polisi di seluruh dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARIS – Kasus pembunuhan pria kulit hitam bernama George Floyd oleh polisi Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat, menguak tindak kekerasan terhadap warga keturunan Afrika di berbagai negara. Unjuk rasa anti-rasialisme yang pecah di banyak negara juga ditujukan untuk mengenang para korban kebrutalan polisi di negara masing-masing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Paris, ribuan orang turun ke jalan pada Selasa lalu waktu setempat. Selain mengenang kematian Floyd, massa memperingati tewasnya Adamo Traore, pria kulit hitam berusia 24 tahun, akibat kebrutalan anggota kepolisian Paris pada 2016. Polisi sebenarnya melarang demonstrasi itu, tapi massa tak peduli. Tak pelak, bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi tak bisa dihindari.

Sementara itu, di Sydney, Australia, ribuan orang berbaris di pusat kota. Para demonstran meneriakkan, “Saya tidak bisa bernapas!”, pernyataan yang berulang kali diucapkan Floyd ketika diborgol dan ditindih hingga tewas oleh Derek Chauvin. Sang polisi kini didakwa dengan pasal pembunuhan tingkat 3 serta pembunuhan disengaja.

Demonstran di Australia juga membandingkan kasus Floyd dengan tewasnya David Dungay, seorang pria Aborigin berusia 26 tahun yang meninggal di penjara Sydney pada 2015. Unjuk rasa juga pecah di Den Haag, Belanda, serta kota besar lain di Selandia Baru dan Israel. Di Israel, massa juga mengaitkan kematian Floyd dengan pembunuhan pria asal Etiopia oleh polisi pada tahun lalu.

Diplomat senior Uni Eropa, Josep Borrell, mengatakan kematian Floyd disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan. “Seperti rakyat Amerika, kami terkejut oleh kematian George Floyd,” kata Borrell kepada wartawan, di Brussels, Belgia.

Para pemimpin Afrika juga mengecam kematian Floyd. Presiden Ghana Nana Akufo Addo menyindir Amerika Serikat sebagai negara demokrasi. “Ada yang tidak benar jika pada abad ke-21 ini, Amerika, yang katanya benteng besar demokrasi, masih terus bergelut dengan masalah rasisme yang sistemik,” tutur dia.

Tiga hari setelah kematian Floyd, seorang pria kulit hitam lainnya mengalami hal serupa di Paris. Teknik imobilisasi di mana petugas memberikan tekanan pada tubuh tersangka dengan lutut rawan digunakan oleh polisi di seluruh dunia dan telah lama menuai kritik.

Salah satu alasan kematian Floyd memicu kemarahan secara global adalah teknik tersebut juga sering mengakibatkan kematian ketika polisi melakukan penangkapan dan kerap melibatkan tersangka non-kulit putih.

“Kami tidak bisa mengatakan bahwa situasi di Amerika asing bagi kami,” kata anggota parlemen Prancis, Francois Ruffin, yang telah mendorong larangan penggunaan teknik imobilisasi oleh polisi, yang banyak menyebabkan kematian di Prancis.

Namun Christophe Rouget, pejabat serikat kepolisian Prancis, mengatakan petugas tidak menggunakan pistol atau stun gun, sehingga melumpuhkan orang dengan menghadap ke bawah adalah pilihan paling aman.

“Kami tidak memiliki 5.000 opsi,” ujar Rouget, yang memberikan penjelasan kepada anggota parlemen dalam pembahasan proposal pelarangan teknik mencekik pada Maret lalu.

“Teknik-teknik ini digunakan oleh semua polisi di dunia karena memiliki paling sedikit bahaya. Satu-satunya hal yang perlu diperhatikan adalah teknik ini harus digunakan dengan baik. Di Amerika Serikat, kami melihat teknik itu tidak digunakan dengan baik karena tekanan diberikan di tempat yang salah dan terlalu lama,” kata dia.

Di Hong Kong, di mana perilaku polisi menjadi masalah besar setelah berbulan-bulan terjadi protes anti-pemerintah, pasukan kota mengatakan sedang menyelidiki kematian seorang pria yang dilumpuhkan saat ditangkap pada Mei lalu. Polisi yang terlibat dalam kasus ini terekam tengah menekan lututnya di bahu, punggung, dan leher korban.

Peraturan dan prosedur tentang penggunaan teknik imobilisasi oleh polisi bervariasi di tiap negara.

Di Belgia, instruktur kepolisian, Stany Durieux, mengatakan pernah menegur peserta pelatihan yang menempatkan lututnya pada tulang belakang tersangka. “Juga dilarang bersandar pada tersangka sepenuhnya karena dapat menghancurkan tulang rusuknya dan mencekiknya.”

Menurut serikat kepolisian GdP Jerman, polisi di negara tersebut diizinkan memberikan tekanan pada sisi kepala tersangka, tapi tidak pada leher.

REUTERS | FRANCE24 | DW | GLOBALNEWS | SITA PLANASARI AQUADINI


Kemarahan Global atas Kematian George Floyd

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus