KINI Australia bukan lagi surga buat para imigran. Proses
naturalisasi mulai sulit. Canberra mengubah undang-undang untuk
menetap di Australia. Jika dulu seorang pendatang agak gampang
mengubah statusnya menjadi penetap, sekarang sudah tidak
mungkin. Ia harus mengajukan permohonan itu di tempat tinggal
lamanya. Tidak setelah tiba di Australia.
Penggantian undang-undang menetap di Australia itu jelas
dimaksudkan untuk membendung arus imigran yang makin membengkak
setiap tahun. Saat ini diperkirakan lebih dari 60.000 orang
asing yang masuk di sana secara ilegal. Untuk memberlakukan
undang-undang baru itu, Menteri Imigrasi Ian MacPhee, mulai Juni
lalu melontarkan Regularisation of Status Programme (RSOP)
terhadap para imigran gelap tersebut.
Program itu memberi kemudahan untuk menjadi penetap di Australia
itu, menurut MacPhee, asalkan mereka masuk di sana sebelum 1
Januari 1980. "Walau para imigran itu masuk lewat cara yang
bertentangan dengan hukum Australia," kata MacPhee, "Polisi
tidak menindak mereka." Kelonggaran ini tidak berlaku untuk
mereka yang terlibat urusan kriminal.
Meskipun tawaran pemerintah ini kelihatan menarik dan berlapang
dada, pemerintah cuma menerima 11.000 aplikasi saja. Jumlah itu
diperkirakan hanya memberi peluang bagi 15.000 orang untuk
memperoleh status penetap. Tidak diketahui bagaimana sikap sisa
lainnya yang masih banyak. Padahal amnesti RSOP berakhir Mei
1981.
Robin Osborne, koresponden TEMPO di Australia melaporkan tak
semua imigran gelap yang melapor untuk mendapatkan kemudahan
jadi penetap. Mereka tampaknya meragukan itikad pemerintah.
"Jika melapor sekarang, kami pasti dipulangkan," kata imigran
asal Indonesia yang bermukim di Sydney. "Sebab batas waktu
pengampunan telah berakhir." Mereka ini di antaranya tiga
berasal dari Jawa dan empat lagi dari Sumatera.
Seperti imigran gelap lainnya di Australia, para pendatang dari
Indonesia pun memakai nama palsu dengan harapan polisi imigrasi
akan sukar menemukan jejak mereka. Umumnya mereka bekerja di
pabrik dengan bayaran A$240 (sekitar Rp 150.000) seminggu.
Di negara-bagian New South Wales saja diperkirakan tinggal 5.300
imigran gelap -- 420 orang di antaranya berasal dari Indonesia.
Mereka umumnya masuk dengan visa turis atau pelajar. Dan tetap
tinggal di sana walau visa mereka telah habis waktunya. Di
seluruh Australia, jumlah pendatang dari Indonesia sekitar 1.000
orang.
Dari total imigran gelap di Australia tak ada perincian asal
mereka. Tapi dari mereka yang tercatat di New SouthWales,
sekitar 1/7 berasal dari Inggris. Setelah itu menyusul pendatang
dari Hongkong, Fiji dan Indonesia.
Walau PM Malcolm Fraser menyatakan kebijaksanaan imigrasi
Australia tidak pilih kasih terhadap pendatang, kenyataannya
ternyata tidak demikian. Prosentase imigran kulit putih tetap
lebih besar. Tahun 1980, jumlah mereka tercatat 69% meningkat 6%
dibandingkan tahun sebelumnya. Umumnya mereka datang dari
Inggris, Amerika Serikat, Afrika Selatan, dan Selandia Baru.
Imigran dari negeri 'kulit berwarna' -- seperti dari Timur
Tengah, Afrika dan Asia --jumlahnya menurun. Persyaratannya
lebih berat bagi yang 'non-putih'. Tentu saja dengan
pengecualian orang-orang perahu dari Vietnam yang ditampung di
Australia sebanyak 14.000 jiwa.
Di masa mendatang, para imigran gelap akan dipulangkan
selekasnya, dan ongkosnya dibayar sendiri oleh yang
bersangkutan. Tak jelas alasan kecemasan Australia menerima
imigran. Padahal penduduknya baru berjumlah 14.455. 300 jiwa
untuk luas area 7.686.848 km persegi dibanding dengan Indonesia
-- menurut sensus 1980 berpenghuni 147 juta jiwa di daratan yang
cuma seluas 1.934.198 km persegi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini